Thursday, December 13, 2007

Kamasan, Lukisan Klasik Sarat Filosofis


Perang Bharatayudha memang bukan perang sembarang tarung. Bahkan Arjuna yang dianggap ksatria terbaik oleh Drona, guru para Pandawa, harus melakukan tapa yoga sebelum berperang. Dalam pertapaan, ia digoda para bidadari. Namun ia akhirnya mampu melewati godaan makhluk-makhuk rupawan itu, dan para Pandawa memenangkan pertempuran akbar di Kurukshetra.

Kisah Arjuna yang tengah digoda bidadari ini, kerap diabadikan dalam lukisan kamasan. Kamasan sebenarnya adalah nama sebuah desa yang berada di Kabupaten Klungkung, Bali. Karena sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai pelukis tradisional Bali, maka lukisan itu dikenal dengan nama lukisan kamasan.

Desa ini dikenal sebagai gudangnya seni lukis wayang klasik. Corak lukisan Bali klasik dalam lukisan kamasan sangat mudah dikenali. Warna dasarnya cokelat muda. Cokelat muda ini diambil dari batu gamping yang dicelup dalam air.

Untuk warna hitam pada setiap garis yang ditorehkan, pada zaman dulu digunakan jelaga. Namun saat ini, pelukis sudah menggunakan tinta lukis modern untuk mendapatkan torehan hitam. Sedangkan warna-warna lain, pelukis menggunakan cat air agar lukisan lebih semarak.

Selain unik karena coraknya yang klasik, keunikan lain dari lukisan ini adalah filosofi yang terkandung di dalamnya. Contohnya, pada lukisan Arjuna yang tengah digoda bidadari. Lukisan ini mengandung makna, jika seseorang ingin menuntut ilmu, maka harus sungguh-sungguh dan tahan godaan.

“Biasanya lukisan kamasan bercerita tentang masalah kehidupan dan catur asrama, yaitu empat perjalanan kehidupan yang harus dilalui dalam ajaran Hindu,” kata Wayan Sukarta, seorang pelukis kamasan.

Dalam ajaran Hindu, catur asrama adalah Brahmacari Asrama, Grhasta Asrama, Wanaprastha Asrama dan Sanyasin Asrama (bhiksuka). Brahmacari Asrama adalah masa menuntut ilmu. Grhasta Asrama adalah tahap berumahtangga.

Wanaprastha Asrama adalah kewajiban untuk menjauhkan diri dari nafsu dunia dan mengabdikan pada pengamalan ajaran Dharma. Dan Sanyasin Asrama (bhiksuka) adalah melepaskan diri pada nafsu dunia, di mana seluruh sisa hidup hanya diserahkan kepada Sang Pencipta untuk mencapai Moksa.Selain menggambarkan kehidupan sehari-hari, lukisan ini juga menggambar ramalan kehidupan seseorang berdasarkan hari lahir. “Ini seperti primbon di orang Jawa,” jelas Wayan.

Saya yang lahir pada hari Rabu, tergelitik untuk bertanya tentang ramalan hidup saya.Menurut Wayan, orang yang lahir pada hari Rabu, berada di bawah lindungan Dewa Indra. Dalam kisah Mahabharata, Arjuna dikisahkan sebagai penjelmaan dari Dewa Indra.

Dalam kepercayaan Hindu, Dewa Indra diberi gelar dewa petir, dewa hujan, dewa perang, raja surga, pemimpin para dewa, dan banyak lagi sebutan untuk Dewa Indra sesuai dengan karakter yang dimilikinya. Ia mewariskan kemampuan memanah pada Arjuna. Kemampuan Arjuna inilah yang membuatnya menjadi tumpuan para Pandawa untuk memenangkan perang Bharatayudha melawan Kurawa.
”Dari segi sifat, orang yang berada di bawah naungan Dewa Indra adalah orang yang tenang dan tidak mempedulikan omongan orang lain. Ia memiliki sifat seperti api. Meskipun tenang, jika disakiti akan meledak,” jelas Wayan.
Saat ini, corak lukisan klasik ini tidak hanya dijual dalam bentuk lukisan. Ada juga lukisan bermedia topi caping dan peralatan lain yang berfungsi sebagai pajangan. Harga lukisan pun tidak dipatok terlalu tinggi. Untuk yang berukuran 2x1 meter, biasanya dijual seharga Rp 750 ribu untuk orang asing. “Untuk orang Indonesia, harga bisa setengah dari harga orang asing,” katanya.

Tidak terlalu mahal, bukan? Selain sebagai fungsi dekorasi, Anda juga bisa meramal diri sendiri atau sifat orang lain menurut kelahirannya. Dewa apakah yang menaungi Anda? Apa sifat yang dititiskan Sang Dewa kepada Anda?

Tussie Ayu Riekasapti


(Jurnal Nasional, 13 Desember 2007)

Friday, November 30, 2007

Go Round Captain!

7 Maret 2007, pukul 06.00 WIB. Matari baru saja beranjak dari timur. Sebanyak 126 orang penumpang bergegas memasuki perut pesawat Boeing 737-400 berstempel Garuda Indonesia, bernomor penerbangan GA 200. Tujuh orang awaknya sudah bersedia mengantarkan penumpang dari Bandara Soekarno Hatta Jakarta, menuju Bandara Adi Sucipto Yogyakarta.

Sebagian penumpang adalah tokoh-tokoh masyarakat. Diantaranya adalah Ketua Muhammadiyah Dien Syamsuddin, Kriminolog Adrianus Meliala, juru bicara Kedutaan Besar Australia Elizabeth O’Neill dan mantan Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Dr Koesnadi Harjosoemantri.

Angkasa biru dan awan berarak seadanya. Pertanda langit sedang bersahabat. Pilot yang bertugas kala itu adalah Marwoto Komar, pilot senior yang telah 20 tahun mengabdi pada Garuda Indonesia. Semua terlihat baik-baik saja. Siapa sangka, satu jam kemudian, malaikat maut sudah menanti.

Penerbangan tidak mengalami hambatan yang berarti, hingga saat pendaratan tiba. Berdasarkan analisa yang dikumpulkan dari KNKT dan Kepolisian, pengamat penerbangan Captain Pilot Rendy Sasmita Adji Wibowo mengatakan, pesawat yang dikemudikan Marwoto ini terlalu cepat mengarah pada landasan.

“Pesawat GA 200 terbangnya masih terlalu tinggi. Waktu turun seharusnya dia mengikuti sudut tertentu, namun dia melewatinya. Seharusnya ketinggian di bawah 10.000 kaki dan kecepatannya 250 knot, tetapi dia 60 persen lebih dari itu,” kata Rendy kepada Jurnal Nasional beberapa waktu lalu.

Co-pilot Gagam Saman Rahmana ketika itu telah menyadari, telah terjadi kesalahan pendaratan. Ia berteriak-teriak, “Go round, Captain! Go round, Captain!Maksud Gagam, ia meminta captain pilot untuk terbang kembali dan mengulangi pendaratan.

Tak hanya Gagam, sistem pesawat pun tak kalah meraung. “Dalam posisi seperti ini, komputer di pesawat akan teriak ‘Too low…flaps’ (terlalu rendah, buka sirip pesawat). Jika didiamkan, maka suaranya akan lebih kencang ‘Whoop…whoop…pull up!’ (naik lagi). Tetapi hal itu diacuhkan oleh pilot,” jelas Rendy.

Hal terburuk pun terjadi. Ketika mendarat, burung besi itu menukik kencang dengan roda depan yang pertama kali menghunus landasan. Menurut Rendy, hal ini karena hidung pesawat mendarat dalam posisi 3 derajat. Akibatnya pesawat mental ke atas dan sekali lagi pilotnya menyerukan kepada pilot “Go round, Captain!”.

Saran co-pilot tetap tidak diindahkan. Pilot kembali memaksa pesawat untuk mendarat. Pesawat semakin tidak terkontrol karena hidrolik pesawat sudah bocor. Pesawat yang terpental meninggalkan landasan dengan kecepatannya di atas 200 knot.

Pagar berduri yang menjadi pembatas akhir landasan dilompati pesawat ini, tanpa ada bekas bahwa pagar roboh. Akhirnya pesawat ini berhenti untuk terakhir kalinya. Kepulan asap hitam memenuhi Bandara Adi Sucipto, tujuan akhir si burung raksasa. Api berkobar melahap bagian ekornya.

Dalam kabin pesawat, gelap gulita menyergap. Lampu emergency tidak menyala. Menurut saksi mata hanya kepala pramugari dan pramugara yang melakukan penyelamatan terhadap penumpang hingga akhirnya dia sendiri meninggal dunia.

“Saya tidak mau berpolemik. Tapi gambar di televisi saat itu memperlihatkan pesawat masih berkobar-kobar dilalap api, penumpang masih berlarian keluar, tetapi pramugarinya sudah di luar,” kata Rendy.

Co-pilot Gagam Saman Rahmana juga sudah keluar dari lambung pesawan naas itu. Dia membantu evakuasi dari luar pesawat tanpa alat evakuasi yang memadai. Penumpang berloncatan bagai ikan yang diangkat dari kolam dan berlomba mencari air.

Dengan ketinggian kabin pesawat dua meter dari tanah, semua berusaha menyelamatkan diri. Para manula menjadi martir, kondisi fisik mereka tidak memungkinkan untuk melakukan lompatan penyelamatan diri.

Mantan Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Dr Koesnadi Harjosoemantri yang berusia 80 tahun, adalah salah satunya. Ia akhirnya menghembuskan napas terakhir dalam pesawat yang membawanya terbang pada Sang Pemilik Jagad. Bersama Profesor Koesnadi, 21 orang lainnya juga tewas, termasuk juru bicara Kedutaan Besar Australia Elizabeth O’Neill.

Lantas bagaimana dengan Captain Pilot Marwoto Komar? Saat itu, dia sudah lari dengan taksi menuju rumah sakit. Ia kemudian dirawat di Rumah Sakit TNI AU Yogyakarta. Go Round, Captain!

Tussie Ayu Riekasapti / Wahyu Utomo

(Jurnal Nasional, 27 Nopember 2007)


Pilot Bukan Penyebab Tunggal

Awal Nopember lalu, Kepolisian RI (Polri) telah menetapkan Marwoto Komar, pilot pesawat Garuda Indonesia Boeing 737-400, sebagai tersangka dalam kasus kecelakaan pesawat di Yogyakarta, 7 Maret 2007 lalu. Sedangkan co-pilot Gagam Saman Rahman hingga kini masih terus menjalani penyidikan oleh Polda DIY.

Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen (Pol.) Sisno Adiwinoto, mengungkapkan, pilot Garuda, Marwoto Komar, kemungkinan besar bisa dipidanakan karena telah memenuhi unsur melakukan kelalaian (human error) yang menyebabkan hilangnya nyawa orang lain (Jurnal Nasional, 3 Nopember 2007)

"Sesuai KUHP sudah terpenuhi adanya unsur kelalaian yang menyebabkan nyawa orang lain, namun secara materiil, kan untuk memproses hukum seseorang harus memiliki bukti dan saksi yang kuat, rekomendasi KNKT bisa dijadikan tambahan (penyelidikan)," ujar Sisno ketika itu.

Pengamat penerbangan yang juga pilot senior di Garuda Indonesia, Captain Pilot Rendy Sasmita Adji Wibowo berpendapat, memang terjadi human error dalam kasus ini. namun demikian, menurutnya kesalahan tidak bisa dilimpahkan pada pilot dan co-pilot semata.

“Yang menarik dari GA 200, sebetulnya ada beberapa jaring yang terlewati. Dalam bahasa penerbangan sering disebut keju Swiss. Dimana potensi kecelakaan itu berupa anak panah melewati lubang-lubang seperti keju Swiss,” katanya kepada Jurnal Nasional beberapa waktu lalu.

Ia menjelaskan, kemungkinan pertama yang terlewati adalah lubang visi dari manajemen perusahaan. Visi manajemen yang pertama, menurutnya adalah keselamatan. “Garuda harus belajar dari Lufthansa yang memiliki teknisi jago-jago dan memang hebat. Kalau service diutamakan mengalahkan safety jadinya seperti di Garuda,” ujarnya.

Selain itu, direksi saat ini, menurutnya melewatkan sebuah investasi penting, yaitu pendidikan dan maintenance (pemeliharaan). Dari kasus GA 200, menurutnya terlihat sekali ada komunikasi tidak benar antara captain pilot dan co-pilot.

Padahal, menurut dia, pilot di era manapun diajari yang namanya Crew Resource Management (CRM). “Jadi dalam dunia penerbangan ada aturan yang mengacu pada International Civil Aviation Organization (ICAO ), bahwa semua penerbang harus mengikuti CRM, dimana kerjanya pilot berinteraksi dengan co-pilot dan teknisi pesawat. Ketiga orang ini dalam emergency tahu apa yang harus dikerjakan” jelasnya.

Menurut Rendy, di Garuda sebenarnya juga diajarkan CRM, namun implementasinya tidak berjalan dengan baik, sampai-sampai antara captain pilot dan co-pilot terjadi komunikasi yang tidak tuntas. “Ada satu training yang tidak dilakukan oleh Garuda,” katanya.

Training yang sudah dilakukan Garuda, kelupaan mengajarkan co-pilot untuk merebut kendali ketika pilot bermasalah. “Padahal efeknya akan sangat fatal. Landasan di Yogya itu agak sedikit bergelombang bentuknya agak parabolic sehingga ada kesulitan sendiri bagi pilot untuk mendarat di Yogya. Jadi kalau kecepatannya tidak tepat maka akan keluar landasan,” jelasnya.

Ia melanjutkan, jika pilot tidak melakukan tindakan apa-apa saja padahal pesawat dalam keadaan bahaya, maka dia co-pilot harus mengambil tindakan. “Saya tidak mengerti dengan manajemen Garuda, sebenarnya training itu ada. Hanya saja, co-pilot di Indonesia terpengaruh dengan budaya, karena dia masih muda dan belum banyak pengalaman, sehingga tidak dianggap oleh pilot. Dalam kondisi tertentu dimana co-pilot harus mengambil alih maka harus diambil alih,” ujarnya.

Rendy melihat, kelalaian pilot bukanlah penyebab tunggal kecelakaan ini. “Pilot dalam hal ini adalah jaring terakhir. Marwoto Komar sedang dalam misi menjalankan tugas dari Garuda. Kasus GA 200 memperlihatkan manajemen mencoba untuk cuci tangan,” katanya.

Padahal menurut Rendy, dalam kasus ini sebenarnya Perusahaan wajib membela karyawannya. “Penyebab kecelakaan ini tidak bisa dilimpahkan pada pilot saja. Tapi juga harus ditarik mata rantai ke belakang. Manajemen juga turut bersalah,” tandasnya.

Wahyu Utomo/Tussie Ayu Riekasapti

(Jurnal Nasional, 27 Nopember 2007)


Thursday, November 08, 2007

Terima Kasih

Hari ini ada sesuatu yang terjadi. Tapi aku senang sekali, karena teman-temanku selalu ada di sekelilingku.

Ikot mengatakan : “Dia itu ngga bgt deh. ***** banget!”
Meita mengatakan : “Gamparin aja Tus! Dia **** banget!”
RJ mengatakan : “Kok kamu bisa sabar ya? Aku aja jadi panas!”
Dodi mengatakan : “Kok dia bisa begitu ya?”
Agus mengatakan : “Sabar aja ya Tuss”
Turyanto mengatakan : “Siap-siap terbang, Tuss!”

Hihihihi…lucu-lucu temanku ini

Tapi ada satu kalimat yang diucapkan Bonnie Triyana, dan ini yang paling aku sukai.

Bonnie mengatakan:

“Pohon kelapa (kalau) semakin tinggi, banyak diterpa angin. Kalau takut jadi pohon kelapa, jadi rumput saja. Tidak diterpa angin dan disambar petir, tapi diinjak-injak kerbau!”

Aaawww…mas Bonnie, hmmm…mungkin ini kalimat yang aku ingat sepanjang hidupku.

Tapi ada lagi satu orang yang begitu berarti. Dia mengatakan,

“Tussie, kamu harus berani! Kamu jangan takut!”

Dulu, orang ini pernah membelai kepalaku sambil mengatakan, “Tussie, kamu tahu?...Suatu hari nanti, kamu akan menjadi orang hebat!”

Dan butiran air-air yang hangat membasahi pipiku ketika itu. “Terima kasih,” jawabku.

Terima kasih teman-teman.

Thursday, October 18, 2007

Mesjid Lautze, Penyambung Ukhuwah Bumiputera dan Tionghoa (Bagian I)


“Meski kerap disebut sebagai mesjid dzuhur-ashar, Mesjid Lautze tetap kukuh memperjuangkan pembauran.”

Kawasan Pasar Baru, Jakarta Pusat, sejak dulu telah menjadi jantung perdagangan di Batavia. Hingga kini, denyut itu masih berdegup. Aliran uang dipompa masuk dan keluar dalam arteri dan vena berbentuk jalan serta gang yang melewatinya.

Seperti kebanyakan pusat perdagangan di Indonesia dan negara-negara kawasan Asia lainnya, etnis Tionghoa memengang peranan penting dalam aktivitas ekonomi. Begitu pula dengan Pasar Baru. Kulit kuning, mata sipit dan rambut lurus kaku bertebaran di sekitarnya.

Pasar Baru bukanlah tempat plesir yang nyaman. Bising kendaraan memenuhi liang telinga. Debu berhembus bersama angin, kemudian hinggap pada jendela, pintu, pertokoan dan jalan yang dilewatinya. Selanjutnya, debu itu bersemayam hingga ada tangan-tangan yang mau menghalaunya pergi.

Di tempat ini, Mesjid Lautze didirikan. Bukanlah pilar kokoh, lantai pualam, atau lampu kristal yang akan menyambut kita. Hanya bangunan yang berbentuk ruko, bercat hitam kusam dan empat buah pintu berwarna merah yang menyapa.

Ada tulisan besar di depannya yang menunjukkan identitas bangunan ini. Selain tulisan Mesjid Lautze, juga ada sebuah plang besar yang tertulis “Yayasan Haji Karim Oei, Informasi Islam untuk WNI”.

Namun ketika kita memasukinya, suasana berbeda langsung menyambut. Di lantai dasar, yang berukuran sekitar 10x20 meter, ruangan ditata cukup rapi dan bersih. Lantainya hanya keramik biasa berwarna putih. Namun di sekitar mimbarnya, ada beberapa kaligrafi yang cukup menyita pandangan; percampuran seni antara Arab dan Tionghoa.

Kaligrafi gaya Tionghoa ini tidak menonjolkan banyak detail dan variasi seperti halnya kaligrafi Arab. Hanya sapuan kuas di atas kertas putih yang ditonjolkan. Makna kalimat yang dituliskan dalam aksara Hijaiyah itu lebih penting daripada sekadar ornamen penghiasnya.Masjid ini berawal dari pemikiran untuk mendirikan yayasan bagi kalangan keturunan Tionghoa. Menurut HM. Ali Karim Oei, pimpinan Yayasan Haji Karim Oei dan Mesjid Lautze, nama yayasan diambil dari seorang tokoh muslim keturunan Tionghoa, Abdulkarim Oei Tjeng Hien (1905-1988), yang dikenal dengan sebutan Bapak Oei (baca: U-i).

Namun mesjid dan yayasan ini berdiri setelah Karim Oei wafat, tepatnya pada tahun 1991. Pemrakarsa pembangunannya tak lain adalah Junus Jahja, tokoh Tionghoa yang getol berjuang demi pembauran etnis.

Sedangkan nama Lautze yang diabadikan menjadi nama mesjid, tak lain karena letaknya yang berada di Jalan Lautze No. 89, Jakarta Pusat. Selain itu, menurut Humas Yayasan Haji Karim Oei, Yusman Iriansyah, dalam bahasa China, lautze berarti guru atau orang yang dihormati. “Jadi namanya memang pas sekali,” kata Yusman.

Tulisan ini sudah dipublikasikan di Jurnal Nasional, Sabtu, 22 Sepetember 2007

Mesjid Lautze, Penyambung Ukhuwah Bumiputera dan Tionghoa (Bagian II)

Seluruh bangunan Mesjid Lautze terdiri dari empat lantai. Lantai pertama dan kedua untuk kegiatan keagamaan, lantai ketiga sebagai kantor yayasan, dan lantai keempat adalah ruang serbaguna. Ruang serbaguna biasanya dipakai untuk buka puasa bersama dan bisa juga dipinjamkan bagi jamaah yang menikah.

Tujuan didirikannya mesjid dan yayasan ini, menurut HM. Ali Karim Oei adalah memberi pandangan positif tentang Islam di kalangan masyarakat Tionghoa. Ia berpendapat, citra Islam di mata masyarakat Tionghoa tidak terlalu manis. Banyak terjadi perpecahan keluarga jika salah satu anggotanya memutuskan untuk memeluk Islam.

“Kalau di dalam keluarga itu ada campuran pemeluk agama Kristen Protestan, Katolik atau Budha, tidak menjadi masalah. Namun kalau ada satu orang yang memeluk Islam, maka akan menjadi masalah,” kata HM. Ali Karim Oei. Karena itu, Yayasan Haji Karim Oei dibentuk untuk meluruskan pandangan yang salah tentang ajaran Islam, terutama di kalangan etnis Tionghoa.

Untuk membuat mesjid ini lebih karib dengan jamaahnya yang mayoritas etnis Tionghoa, pihak yayasan telah memikirkan tentang lokasi dan jenis bangunan. Menurut Ali, Mesjid Lautze sengaja dibangun di kawasan perdagangan dan berbentuk ruko. “Mesjid juga dihiasi dengan ornamen merah. Ini bertujuan agar orang Tionghoa merasa berada di rumah sendiri ketika ada di mesjid ini,” ujar putera ketiga dari Karim Oei ini.

Pria kelahiran 11 Juli 1956 ini berkisah, awalnya mesjid didirikan dengan modal nekad. Karena minim biaya, akhirnya dengan bermodalkan dua ruko sewaan, Mesjid Lautze berdiri. Hingga kini, tanah dan bangunan belum menjadi milik Yayasan Haji Karim Oei. “Satu ruko milik Yayasan Abdi Bangsa. Satu ruko lagi milik Yayasan Bina Pembangunan,” katanya.

Ada satu hal lagi yang menjadi keunikan mesjid yang diresmikan oleh BJ Habibie ini. Tak seperti mesjid pada umumnya yang selalu buka 24 jam, Mesjid Lautze hanya ‘beroperasi’ pada jam kerja.

Ada beberapa pertimbangan yang akhirnya memutuskan jam operasi mesjid ini yang hanya pada jam dan hari kerja. “Kasihan penjaga mesjid ini kalau harus buka 24 jam. Selain itu, faktor keamanan juga kami pertimbangkan. Dengan jam buka seperti ini saja, sudah banyak peralatan yang hilang, seperti komputer,” jelas Ali.

Karena itu, praktis Mesjid Lautze hanya ‘melayani’ jamaah yang menunaikan shalat dzuhur dan ashar saja. Karena itu, mesjid ini kerap disebut mesjid dzuhur-ashar. Hari Sabtu, Minggu dan hari libur nasional mesjid ini ditutup. Namun dalam bulan Ramadhan, setiap hari Minggu diadakan buka puasa bersama. Selain itu, dalam bulan puasa juga diadakan pelatihan tajwid, sarasehan, tarawih dan tauhsyiah.

Keterbatasan waktu tidak membuat mereka kecil hati. Karena sejak didirikan, selalu ada jamaah Tionghoa yang loyal untuk menyemarakkan mesjid. “Kalau dihitung sejak pertama kali berdiri, di mesjid ini telah lebih dari 1000 orang menjadi muallaf. Tapi yang aktif di mesjid hanya sekitar 100 orang,” kata Yusman.

Saat ini, Mesjid Lautze sudah memiliki beberapa cabang. Ada Mesjid Lautze 2 yang terletak di Jalan Tamblong, Bandung, dan ada Mesjid Lautze 3 yang ada di Gading Serpong, Tangerang. Selain itu, ada juga mesjid-mesjid Tionghoa lain yang masih berafiliasi dengan mesjid Lautze pusat. Mesjid-mesjid itu berada di Cirebon, Cilacap dan Yogyakarta.

Seperti kebanyakan lembaga keagamaan lain, Mesjid Lautze hidup dari kedermawanan masyarakat. Meski sederhana, selalu ada sumbangan dari masyarakat yang bersimpati akan keberadaannya.

Pembauran etnis Tionghoa dan bumiputera bagaikan suhuf-suhuf tua yang menyimpan sejarah panjang. Hingga kini, sejarah itu belum selesai dituliskan. Mesjid Lautze, adalah salah satu bab yang ditulis dengan tinta emas. Di ruang-ruang sempitnya, tepekur tubuh yang berserah dan tangan yang menengadah. Peranan Mesjid Lautze yang tak tergantikan adalah menciptakan ukhuwah antara bumiputera dan Tionghoa.

***

Tulisan ini sudah dipublikasikan di Jurnal Nasional, Sabtu, 22 September 2007

Friday, September 07, 2007

Aku Memang Pecundang, So What?

*Untuk orang-orang yang senang menghujat kekalahan


Malam ini, adalah malam yang bersejarah. Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku akan menonton secara langsung pertadingan olahraga di Senayan. Yipeee! Ah…norak sekali, tapi hal baru selalu membuat darahku tersirap. Melakukan hal di luar rutinitas adalah sebuah bentuk kemewahan bagiku saat ini.


Sejak pertandingan sepakbola Piala Asia dihelat, aku sudah ingin sekali ikut menonton langsung di Senayan. Melebur bersama ribuan orang lain yang memakai baju berwarna merah, dan meneriakkan “Ini kandang kita, Indonesia!” kalah atau menang tidak masalah. Yang terpenting adalah, bagaimana merasakan semangat menjadi orang Indonesia sampai ke dalam sum-sum.


Tapi keinginan itu tak pernah terlaksana. Pekerjaan tidak pernah ada habisnya. Akhinya aku harus puas menonton kekalahan demi kekalahan melalui layar monitor yang ada di kantor. Ya sudahlah. Ini nasib menjadi budak pekerjaan.


Tapi malam ini, persetan dengan semua pekerjaan. Aku melarikan diri dari kepenatan itu, dan meluncur ke Senayan! Malam ini ada pertandingan voli Asia antara Indonesia dan Jepang. Aku menontonnya bersama RJ, Tono dan ratusan pendukung Indonesia. Tak banyak memang penontonnya, jika dibandingkan penonton sepakbola. Tapi itu tidak masalah, aku hanya ingin merasakan semangat itu saja.


Pertandingan baru akan dimulai. Pemain Indonesia dan Jepang melakukan pemanasan. Wow! Ternyata yang diceritakan RJ sebelumnnya memang benar. Pemain-pemain Jepang itu tinggi-tinggi! Seorang pemain terlihat lebih besar daripada yang lainnya. Aku lupa namanya. Tingginya barangkali mencapai 2 meter.


Tidak hanya tinggi, dia juga besar. Dan tampaknya, karena badannya yang raksasa itu, dia jadi malas bergerak. Mungkin karena harus pemanasan, maka ia dan teman-temannya harus berlari kecil. Alih-alih berlari, ia hanya megal megol di pinggir lapangan.


Gerakannya lebih mirip ulat raksasa yang menggeliat-geliat daripada berlari. Belum lagi wajahnya. Dia selalu nyengir, tapi terlihat seperti menyeringai. Hidungnya seperti hidung bagong. Wahhh…tampangnya lucu sekali…besar tapi dongo. Hihihihi…


Pemain Indonesia saat ini posturnya sudah lumayan. Beberapa dari mereka memang tinggi. Tapi seharusnya mereka lebih banyak diberi makan. Karena badan yang menjulang itu, tidak cukup diisi daging atau otot. Mereka kerempeng-kerempeng, terlihat seperti belalang sembah yang sedang hinggap di atas rumput.


Lalu pertandingan dimulai. Pertama kali yang melakukan serve adalah Jepang. Segala teriakan “Huuuuuuuuuuu” ditujukan pada sang pemukul serve. Toh akhirnya dia tetap bisa melakukan dengan sempurna.

Lain waktu, berbagai celotehan yang berbau mengejek pun dialamatkan pada tim Negara sakura ini.


“Woiii…gantian kerja rodi! Elo aja yang sekarang jadi romusha!” begitu RJ berteriak.

Aku terpingkal-pingkal mendengarnya. Seandainya saja mereka mengerti bahasa Indonesia, mungkin mereka sudah menghampiri RJ dan menampar mulutnya.


Tono tak mau kalah memciutkan nyali lawan, tiap kali Jepang melakukan serve, dia sibuk berteriak-teriak sendiri. “Tai kotok lo!” Hahahha…kasihan sekali pemain-pemain Jepang ini. Apa salah dan dosa mereka? Mengapa mereka disamakan dengan tai kotok?

Penonton yang duduk di belakang kami pun berteriak teriak dengan logat Jawa medok. “Yang nomer 7 kunyuuuuuuuuukkkk” lalu isterinya pun ikut menyahut, “Indonesia Bangkit!” dengan logat Jawa yang tak kalah kental.


Sebaliknya, jika tim Indonesia melakukan serve, teriakan-teriakan memberi semangat membahana. “Indo-ne-sia…tok tok tok tok tok (ada yang bertepuk tangan, ada juga yang memukul drum, ada juga yang memukul dua balon hijau panjang)”


Nama-nama atlet Indonesia dielu-elukan. Ketika Jepang melakukan kesalahan yang menyebabkan bertambahnya angka untuk Indonesia, teriakan mengejek pun dilontarkan pada lawan. “Bagus, bagus, bagus, ulangi lagi ya!” teriak RJ.


Ketika wasit merugikan Indonesia, lain lagi teriakannya. Sebuah koor membahana, “Wasit goblog, wasit goblog, wasit goblog!” tentu saja si wasit tidak peduli. Toh dia berasal dari Arab, yang tidak mengerti apa itu wasit goblog? Ibu Jawa yang duduk di belakangku berteriak, “Jangan bilang wasit goblog, dia ngga ngerti. Bilang aja wasit stupid!” katanya, masih dengan logat Jawa.


Pertandingan sebenarnya berlangsung tidak terlalu seru. Tim Indonesia sejak babak pertama selalu tertinggal dengan tim Jepang. Tapi kekompakan tim, bolehlah dicontoh. Ketika seorang anggota tim melakukan kesalahan, temannya tidak menghujat. Temannya malah memberi tos sebagai tanda pemberi semangat. Walaupun tak terucap, komunikasi nonverbal itu seperti mengatakan, “It’s okay. Cuma kesalahan kecil, nanti kita perbaiki lagi bersama,”


Ahhh…menyenangkan jika semangat olahraga bisa aku dapatkan di lingkungan pekerjaan. Jika salah seorang teman mengalami kesulitan atau kesalahan, bukanlah hujatan yang ditujukan padanya. Melainkan saling menguatkan dan mengatakan, “Hey, hari ini memang kita gagal, tapi kita masih bisa memperbaikinya.”


Namun tampaknya itu sulit sekali terlaksana. Jika ada kesalahan kecil, meskipun masih bisa diperbaiki, yang mendarat biasanya malahan hujatan yang membuat kuping panas. Tak adakan cara bekerja yang lebih sehat?

Hari itu, Kamis 6 September 2007, tim Indonesia dipercundangi dengan telak oleh Jepang. Tidak satu set pun bisa direbut tim merak putih. Jepang melumat habis Indonesia tiga set langsung. But it’s okay. Besok masih ada pertandingan melawan Australia dan Korea Selatan. Masih bisa diperbaiki, toh? Masih ada pintu yang terbuka menuju Olimpiade Beijing.


Tidak mudah menjadi pecundang yang tetap bisa menegadahkan kepala. Toh kekalahan bukan akhir dari segalanya. Dalam hidup, tidak seterusnya kita bisa menang. Apa sulitnya menjadi seorang pemenang? Justru hidup jauh lebih menantang dan bermakna, jika sesekali menjadi pecundang yang masih bisa tertawa.


Aku memang pecundang, lalu kenapa? Tidak selamanya aku menjadi pecundang. Ada kalanya aku yang akan menjadi pemenang, dan Anda yang menjadi pecundang. Biarkan semua orang yang memandang kita sebagai pecundang merasa jengah sendiri.


“Aku adalah pecundang yang masih bisa menengadahkan kepala! Dan aku akan menang karena kekalahan ini!”

Friday, August 17, 2007

17 Agustus




The Country Celebrate Our Day

Tuesday, August 14, 2007

Ilyas Karim, Sang Pengibar Bendera Pusaka

17 Agustus 1945, di Jl. Pegangsaan Timur 56, Cikini. Proklamasi kemerdekaan RI dibacakan. Semua orang larut dalam kebanggaan. Mengelu-elukan Bung Karno dan Bung Hatta.

Tapi siapakah yang memperhatikan pemuda bercelana pendek itu? Ia masih sangat muda, 18 tahun ketika itu. Membawa bendera pusaka jahitan Ibu Fatmawati, dengan tangannya sendiri. Diiringi lagu Indonesia Raya, mengerek hingga sang saka berada di puncak tiang.

Tak banyak orang yang tahu keberadaannya. Ia adalah Ilyas Karim. 31 Desember mendatang, usianya genap 80 tahun. Badannya gempal, uban memenuhi kepalanya. Kini, Si Mbah ini tinggal di salah satu rumah yang berbaris rapat di pinggir rel kereta api dekat Kalibata Mall.

Rumahnya bercat biru kusam. Barangkali tetangga sebelah rumahnya tidak tahu, bahwa dialah yang mengibarkan bendera kebanggaan Indonesia, ketika proklamasi kemerdekaan. Tidak sulit menemukan rumah itu. Tanya saja pada tetangga sekitar atau tukang ojek, pasti mereka tahu rumah Pak Ilyas Karim.

Obrolan kami pagi itu ditemani secangkir teh manis dan pisang goreng. “Pisang goreng ini dimasak isteri saya. Dari pohon yang tumbuh di belakang rumah,” katanya. Pembicaraan kami sesekali disela oleh suara kereta api yang melintas di belakang rumahnya.

“Rumah ini berdiri di atas tanah PJKA. Sewaktu-waktu jika diusir, saya harus pindah,” katanya. Ketika saya bertanya, akan pindah kemana ia jika diusir? Ia menjawab dengan santai. “Saya juga punya rumah di Cakung. Dari hasil kerja dan sumbangan anak-anak saya. Saya akan pindah kesana. Tapi di sana macet, sulit kalau mau pergi-pergi. Saya lebih senang tinggal di sini,” katanya.

Ingatan ayah dari 15 anak ini masih kuat. Ia masih bisa mengingat dengan rinci perjuangan yang pernah menempanya sebagai prajurit TNI Angkatan Darat. Lahir di Padang, Sumatera Barat. Pada usia 9 tahun, tepatnya tahun 1936, ayahnya pindah ke Jakarta dengan membawa seluruh anggota keluarga.

Ia berkisah, tahun 1940 pesawat Jepang sudah mulai membentangkan sayap di langit ibu pertiwi. Dan tahun 1942, tentara bermata sipit ini mendarat di Jakarta. Di tahun yang sama dengan pendaratannya, Jepang mulai menancapkan kukunya di Nusantara. Hal ini ditandai dengan diculiknya tokoh-tokoh yang berseberangan dengan ideologi mereka.

Ayah Ilyas adalah seorang di antaranya. Pekerjaannya sebagai demang Belanda dianggap membahayakan kedudukan pemerintah Jepang. Suatu hari, ayahnya diculik dari rumah. Selama tiga bulan disekap, dan akhirnya dibunuh di Tegal.

Sementara itu, Ilyas yang beranjak remaja tengah aktif di organisasi Islam. Lalu ia memutuskan untuk bergabung dengan Angkatan Pemuda Islam (API) yang bermarkas di Menteng 31. Organisasi ini juga yang akhirnya mengantarkannya untuk mengibarkan bendera RI di detik proklamasi. Bersama prajurit PETA Sudancok Singgih, ia ditunjuk untuk mengibarkan bendera.

“Saat itu dari AMI ada 50 pemuda, saya juga tidak mengerti mengapa pada akhirnya saya yang dipilih untuk mengibarkan bendera. Barangkali ini hanya keberuntungan saya,” katanya sambil terkekeh.

Setelah proklamasi kemerdekaan, rasa nasionalisme Ilyas muda semakin membuncah. Ia memutuskan untuk bergabung dengan tentara yang saat itu masih bernama Badan Keamanan Rakyat (BKR). Selama tergabung di BKR, ia juga turut berperan dalam peristiwa-peristiwa penting. Salah satunya adalah pembentukan Divisi Siliwangi yang saat ini bernama Kodam Siliwangi.

20 Mei 1946, diadakan pertemuan dengan AH Nasution dan Kawilarang di Buah Batu, Bandung. Saat itu, Nasution meminta saran untuk pembentukan divisi baru. “Saya berkata pada Pak Nasution untuk memberikan kami waktu guna berdiskusi dengan tokoh masyarakat setempat,” katanya.

Maka keesokan harinya, ia mendatangi tokoh-tokoh masyarakat Jawa Barat. Berdasarkan perbincangan dengan mereka, didapatkan keterangan bahwa masyarakat Jawa Barat adalah keturunan Prabu Siliwangi. Maka nama ini yang diusulkan untuk diabadikan menjadi nama Divisi. Usulan ini disampaikan pada Nasution, dan ayah dari Ade Irma Suryani ini langsung menyetujuinya.



Sebagian besar karir ketentaraan Ilyas dihabiskan di Divisi Siliwangi. Ketika batalyon 328 dibentuk, ia pun bergabung di batalyon legendaris ini. Beberapa pertempuran seperti penumpasan Darul Islam di Jawa Barat dan Aceh, penumpasan PRRI di Pekan Baru, dan operasi Seroja di Timor Timur telah disambanginya. Untuk misi perdamaian bersama PBB, ia juga telah melanglangbuana ke Kongo, Vietnam dan Lebanon.

Dari semua pertempuran, yang berkesan baginya adalah pertempuran PRRI di Pekanbaru dan operasi perdamaian di Kongo. Di Pekanbaru, ia turut turut berdialog dengan masyarakat agar tak terjadi pertumpahan darah. “Kami mengatakan pada masyarakat untuk ikut pada NKRI. Tapi kalu mau memberontak, silakan pergi ke hutan, jangan di kota. Saya katakan pada mereka, kemerdekaan NKRI telah diperjuangkan. Untuk apa ingin merdeka sendiri?” jelas kakek dari 25 cucu ini.

Tahun 1980, ia pensiun dari dinas militer dengan pangkat terakhir sebagai Letkol. Atas jasa baktinya pada negara, gelar veteran pejuang kemerdekaan golongan A telah disandangnya.

Ia menunjukkan surat yang ditandatangi Panglima TNI Laksamana Soedomo pada 26 Juni 1982 itu. Sebagai veteran, ia berhak menerima uang tunjangan sebesar Rp 500 ribu per bulan. Dan sebagai pensiunan TNI AD, ia menerima Rp 1,5 juta per bulan.

Namun menurutnya, peraturan pemerintah saat ini tidak memperbolehkan para veteran untuk mengambil tunjangan sekaligus dengan uang pensiun. “Kami disuruh memilih, mau mengambil tunjangan veteran atau uang pensiun TNI AD. Saya memilih mengambil uang pensiunan saja,” tambah Ilyas.

Kini, ia aktif dalam Yayasan Pejuang Siliwangi-Indonesia (YAPSI). Di YAPSI, ia telah dua periode terpilih menjadi Ketua Umum. Dari organisasi ini, ia telah beberapa kali bertemu dengan Presiden SBY. “Kemarin saya juga bertemu dengan Panglima TNI untuk bertukar pikiran di Bandung,” katanya.

Mengetahui jumlah anaknya yang demikian banyak, saya iseng menanyakan. "Menikah dengan Ibu tahun berapa pak?" tanya saya. "Tahun 1981." jawabnya.

Saya hampir tak mempercayai pendengaran ini. Bagaimana mungkin 15 anak dan 25 cucu diproduksi dalam waktu yang begitu singkat? pikir saya. Untunglah dia langsung mengerti kebingungan saya.

"Ibu yang sekarang adalah isteri ketiga saya," katanya.

Saya kembali berpikir. Poligami? Bukankan anggota TNI tak boleh berpoligami?

Aha, dia juga tahu pikiran saya.

"Saya tidak pernah poligami. Isteri pertama saya orang Ambon. Saya nikahi ketika bertugas ke sana. Ia meninggal setelah melahirkan anak pertama kami. Lalu saya menikah lagi dengan orang Riau. Kami mendapatkan 8 orang anak lagi, tapi dia meninggal juga. Baru saya menikah dengan Ibu yang sekarang ini, dan kami memiliki 6 orang anak,"

Ow...ternyata kisah cintanya begitu panjang...

Seperti kebanyakan kakek-kakek, ia senang sekali bicara tentang perjuangan di masa lalu. Aku tidak pernah merasakan memiliki kakek kandung. Tapi aku mengenal seseorang yang kuanggap kakek sendiri, yang juga seperti Pak Ilyas.

Ilyas juga bercerita, pejuang veteran Belanda juga pernah mengundangnya ke Den Haag. “Dulu mereka musuh kami, sekarang kami bersahabat,” ujarnya tertawa.

Di hari tuanya, ia berkata, tak mau berdiam diri. Selain berorganisasi, ia juga aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial. “Meskipun uang pensiun habis untuk membayar telepon, listrik dan air, tapi saya masih bersyukur. Setidaknya saya sudah naik haji pada tahun 1999 lalu,” katanya sambil tersenyum.

Orang Indonesia memang selalu bersyukur. Tetaplah demikian.

Tussie Ayu Riekasapti

versi ringkasnya diterbitkan di Jurnal Nasional, 17 Agustus 2007

Wednesday, August 08, 2007

Kemewahan

8 Agustus 2007. Hari ini akan tercatat sebagai sejarah baru Jakarta. Untuk pertama kalinya, warga Jakarta berpesta demokrasi.

***

Tadi malam, aku sedang duduk-duduk di ruang tamu bersama pacarku. Kami terbiasa ngobrol ngalor ngidul. Maka aku bercerita tentang obrolanku bersama Pak Suhaelly, ajudan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono beberapa hari lalu.

Kami, para wartawan sedang menunggu Menteri Pertahanan. Namun, beberapa Humas Departemen Pertahanan sudah mengultimatum, “Jangan bertanya tentang DCA (Defense Cooperation Aggrement),” kata mereka.

Kami pun berceloteh pada Pak Suhaelly, “Pak, mengapa kami ngga boleh bertanya tentang DCA?”

Ia menjawab, “Apa lagi yang mau ditanya tentang DCA? Toh ngga ada yang baru. Masih begitu-begitu saja,”

Maksud Pak Suhaelly dengan begitu-begitu saja adalah masih belum ada perkembangan. Masih macet! Belum ada kesepakatan baru.

Lalu aku menyambung, “Pak, PM Senior Singapora Lee Kuan Yew kan baru datang. Memangnya Pak Juwono ngobrol apa dengan Lee?”

Pak Suhaelly pun berkisah. Pak Juwono memang sempat bertemu dengan Pak Lee di sebuah hotel (saya lupa di hotel apa?). Katanya, PM Lee yang meminta untuk bertemu dengan Pak Juwono.

Saat itu, Pak Juwono mengatakan, “Ada apa lagi ini? Pak Lee mengajak saya bertemu. Kita lihat sampai sejauh mana Pak Lee ini. Saya layani sampai manapun,” begitu kira-kira kata pak Juwono.

Setelah itu, pembicaraan mereka masih belum menghasilkan kesepakatan apapun. Pak Juwono bersikeras pada pendiriannya. Jika Singapura ingin mendapatkan tempat latihan di Indonesia, mereka harus mengembalikan uang dan buronan Indonesia selama tahun 1997-2001. Barter antara perjanjian pertahanan dan ekstradisi.

Konon Lee keberatan dengan permintaan itu. Dengan mengembalikan uang dan burunan Indonesia, maka secara tidak langsung mereka mengakui telah bermain dengan uang haram. Namun dalam pertemuan itu, Lee berharap Pak Juwono tidak berbicara kepada media sesuatu yang akan membuat situasi panas lagi.

***
Pacarku mendengarkan ceritaku. Lalu dia berkisah, betapa Singapura adalah negara yang demokrasinya payah sekali. Situasinya mirip orde baru di Indonesia. Negara seiprit ini memiliki beberapa partai, namun hanya ada satu partai besar, yaitu People Action Party (PAP).

Partai oposisi dibungkam habis-habisan. Kedudukan mereka di parlemen hanya sebagai penggembira. Pemilu hanya formalitas, karena mereka tahu. Pada akhirnya yang menang pastilah PAP.

Media massa adalah milik pemerintah. Hanya menyiarkan kabar sesuai keinginan penguasa. Dan yang paling konyol menurutku adalah, ketika akhirnya Lee Hsien Loong, anak kandung dari Lee Kuan Yew diangkat menjadi Perdana Menteri menggantikan ayahnya. Sedangkan ayahnya, diangkat menjadi Senior Prime Minister.

Senior Prime Minister? Sungguh jabatan yang diada-adakan. Di benakku, ini seperti si anak papa yang belum disapih, masih ingin menyusu pada orang tuanya. Namanya Republik Singapura, ngakunya negara demokrasi, sistemnya parlementer…ealah…kok sistem pergantian kekuasaannya seperti monarchy hihihihi…

Namun menurut pacarku, rakyat Singapura tidak terlalu peduli dengan situasi politik negerinya. “Karena kesejahteraan mereka sudah terjamin. Yang penting kan itu. Apapun yang terjadi pada politik, yang penting rakyat sejahtera,” katanya.

***

Indonesia memang negeri besar yang menyedihkan. Negeri yang melarat. Untuk diperhatikan kesejahteraannya saja, rakyat sibuk berkoar-koar dan merancang separatisme yang nanggung. Bupati-bupati di daerah berteriak agar daerahnya diperhatikan. “Ini karena kesejahteraan mereka belum mencukupi,” kata Pak Juwono beberapa bulan lalu.

Berbeda jauh dengan Singapura, negeri kecil yang makmur. Rakyatnya dimanjakan dengan kemewahan sejak 20 tahun lalu, yang bahkan belum dimiliki Indonesia hingga kini.

Bagi Indonesia, demokrasi adalah kemewahan. Di Negara melarat ini, kebebasan berekspresi, kebebasan berpendapat, dan memilih sendiri pemimpinnya adalah berkah hasil perjuangan.

Indonesia kaya dengan caranya sendiri. Pada akhirnya pemikiran yang terbuka adalah panglima.

Tuesday, July 24, 2007

Menguak Misteri Pembunuhan Tan Malaka


Awal tahun 1949, markas Tan Malaka di Pace, Jawa Timur disergap oleh tentara. Namun karena ada serangan Belanda dari utara, pasukan TNI ditarik untuk menghalau Belanda. Maka dibebaskanlah Tan Malaka dan 60 orang pengikutnya.

Tokoh kontroversial ini bersama pengikutnya melarikan diri ke selatan Jawa Timur. Dalam perjalanan, mereka ditembaki. Kemudian mereka membagi rombongan menjadi empat bagian. Tan Malaka dan empat orang pengikutnya pergi ke Tulung Agung, mengharapkan masih ada batalyon tentara di sana yang masih bersimpati pada mereka.

Untuk menuju Tulung Agung, bukanlah rute yang mudah. Mereka harus melewati lereng Gunung Wilis yang masih berupa hutan rimba. Setelah dua hari berjalan, mereka disergap di suatu desa kecil bernama Selo Panggung. Penyergapnya adalah sebuah satuan kecil yang terdiri dari lima orang. Pemimpinnya hanya seorang berpangkat letnan dua.

Si letnan dua kemudian memerintahkan bawahannya untuk menembak mati Tan Malaka. Pada hari itu, 21 Februari 1949, Tan Malaka gugur. Jasadnya dibenamkan di hutan dalam sebuah desa bernama Selo Panggung. Kini, daerah ini telah menjadi area persawahan. Bahkan ada perumahan juga dekat peristirahatan terakhirnya yang hilang.

Teori kematian Tan Malaka ini diungkapkan oleh Harry A. Poeze. Dalam kunjungannya ke Jurnal Nasional, Selasa (24/7) lalu, ia menguak dengan gamblang peristiwa pembunuhan yang hingga kini masih samar.

Poeze menulis buku berjudul “Verguisd en Vergeten, Tan Malaka, de linkse beweging en de Indonesiche Revolutie, 1945 – 1949” setebal 2200 halaman, dalam tiga jilid. Dalam bahasa Indonesia, ini berarti Dihujat dan Dilupakan, Tan Malaka Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia 1945 – 1949.

“Saya yakin 99 persen bahwa versi ini adalah benar,” katanya dalam bahasa Indonesia. Menurutnya, ia telah berkeliling ke empat benua untuk mengumpulkan data dalam buku ini. Sejumlah tokoh partai Murba seperti Bambang Singgih telah diwawancarainya. Ia juga mewawancarai dua orang pengikut Tan Malaka yang mengantarnya hingga menjemput ajal.

Lalu siapakah Letnan Dua yang memerintahkan penembakan itu? Menurut Poeze, ia adalah Letnan Dua Soekotjo. Pangkat terakhirnya sebelum pensiun dari keanggotaan TNI adalah Brigadir Jenderal. Soekotjo pernah menjabat sebagai Walikota Surabaya. Ia meninggal dunia pada tahun 1980-an.

Namun sayang, buku yang akan diluncurkan pada 30 Juli mendatang ini masih ditulis dalam bahasa Belanda. Bagi yang tidak bisa berbahasa Belanda, harus menunggu hingga dua tahun lagi untuk membacanya dalam bahasa Indonesia.

Tussie Ayu Riekasapti

Monday, July 23, 2007

Ketika Panglima TNI Menunjukkan Taringnya

Berita tentang alotnya perjanjian pertahanan dan ektradisi, mungkin telah banyak ditulis di hampir semua media massa saat ini. Tapi ada sebuah cerita kecil yang ingin saya ceritakan.

Ketika saya menuliskannya di media saya, pisau editing telah melenyapkannya. Jadi saya pikir, ini tulisan yang hanya cocok untuk dikonsumsi para blogger. Bukan cerita besar. Tapi saya senang menceritakannya, sama senangnya ketika para ‘jurnalis kacang goreng’ saling bercerita tentang hal ini usai liputan. Jadi, inilah ceritanya.

Suatu pagi, aku terbangun di tempat tidur. Hari ini belum ada agenda apapun untuk diliput. Itu biasa untuk wartawan polkam dan TNI. Wilayah liputan kami seringkali kering agenda. Kami tak bisa terus menerus menunggu berita datang dari langit.

Aku sudah pasrah jika berita agenda sepi. Akupun sudah menyiapkan feature untuk diliput, jika memang berita ‘keras’ sedang sepi. Pukul 10.00 pagi, telepon genggamku berbunyi. Sebuah SMS dari Amril Sindo. Isinya begini,

“Ada info kalau Panglima Singapura sedang ada di Dephan. Bener ga siy?”

Adrenalinku bergejolak. Hal ini selalu terasa jika ada berita besar di depan mata. Macetnya perjanjian pertahanan dan perjanjian ekstradisi membuat hubungan kedua negara sedikit panas.
Aku segera meluncur ke kantor. Kuhubungi Humas Dephan. Ia menyatakan bahwa hari ini Menhan Juwono Sudarsono sedang tidak punya agenda apapun. Berita menjadi simpang siur. Beberapa teman yang sudah berada di Dephan juga mengatakan ‘masih sepi-sepi aja’. Aku mengurungkan niatku ke Dephan.

Meskipun Panglima Singapura memang ada di Dephan, tapi tidak ingin bertemu wartawan, percuma mengejarnya. Sederet pengamanan di Dephan akan siap menghadang ‘jurnalis kacang goreng’. Daripada mengejar sesuatu yang samar, lebih baik mengerjakan hal lain yang lebih pasti.

Tapi, ketika jarum jam bergerak ke angka 13.30, sebuah sms masuk ke telepon genggamku. Dari Dewo Kompas.

“Panglima Singapura mau didorstop di Dephan jam 14.30,” katanya.

Tak lama kemudian, humas Dephan meneleponku. Memberi tahu hal serupa. Memang dunia kadang membingungkan. Beberapa menit yang lalu, aku baru saja menelepon orang yang sama. Ia mengatakan Pak Menteri tidak punya agenda apa-apa hari ini. pernyataannya bisa berubah 180 derajat dalam tempo beberapa menit saja.

Lalu aku segera meluncur ke Dephan. Di ruang pers, semua media Indonesia telah berkumpul. Ughhh…I hate this…kalau banyak wartawan TV, berarti kami harus siap berdesakan dengan kameraman mereka yang besar-besar dan selalu ingin di depan. Aku yang kecil biasanya akan menitipkan recorder pada teman yang ‘mendapatkan posisi bagus’. Jika ada yang ingin ditanyakan, aku akan berteriak dari belakang.

Cara wawancara yang tidak menyenangkan.

Hampir satu jam menunggu, akhirnya kami dipersilakan untuk menghampiri Panglima TNI dan Panglima Singapura. ketika itu, Panglima TNI sedang mengantarkan Panglima Singapura yang akan pulang. Saat itu, kami bertanya pada Panglima TNI dulu.

Salah satu wartawan langsung bertanya soal kelanjutan perjanjian pertahanan. Marsekal Djoko Suyanto menjawab dengan tenang.

”Kedatangan Panglima Singapura adalah kunjungan perdananya sebagai Panglima dan perkenalan dalam kapasitas Panglima baru. Selain itu, ada pertemuan rutin tahunan antara TNI dan Angkatan Bersenjata Singapura.”

“Dalam pertemuan ini, dibicarakan tentang joint inteligent exchange (kerjasama pertukaran intelijen), joint coordinating committee (komite kerjasama bersama), joint training commitee (komite latihan bersama) dan joint logistik committee (komite logistic bersama). KAMI TIDAK MEMBICARAKAN SOAL PERJANJIAN PERTAHANAN.”

Tidak puas dengan pernyataannya, para wartawan kemudian bertanya pada Panglima Singapore Letjen Desmond Kuek. Setali tiga uang, ia menjawab sama dengan yang dikatakan oleh Panglima TNI.

Seorang teman saya, namanya Rahmad dari Republika tampaknya gemas dengan jawaban yang datar-datar saya. Tiba-tiba dia bertanya pada Kuek.

”Mr. Juwono Said that Singapore Proposal in Bravo Area is quite crazy. What do you think about that?”

Mendengar pertanyaan ini, Kuek tampak hampir menjawab, kalau saja Panglima TNI tidak memotong ucapannya.

“No! We dont have to comment. Saya boleh mendikte dia! (dia yang dimaksud adalah Panglima Singapura),” kata Djoko Suyanto.

Usai mendengar jawaban Panglima TNI, Panglima Singapura akhirnya diam-diam saja. Barangkali dia kaget dengan ulah wartawan Indonesia yang bertanya dengan sangat gamblang. Hahahaha…

Saya dan teman saya sibuk menahan tertawa. Wah, asik ya melihat Panglima TNI bisa mendikte Panglima Singapura! Walaupun hanya sebatas apa yang boleh dia ucapkan dan apa yang tidak boleh diucapkan.

Friday, July 06, 2007

Menggapai Atap Dunia



Mentari sembunyi petang itu. Langit menggambarkan semburat awan hitam, pertanda badai siap menghadang. Terlebih, ini bukanlah langit biasa. Ini adalah tempat dimana langit terdekat menyentuh bumi. Manusia menamakannya Puncak Everest.

Hari itu, 26 April 1997. Tak banyak yang masih tersisa dari ekspedisi Kopassus kali ini. Tim Indonesia yang beranggotakan 45 orang, satu per satu mulai berguguran. Menjelang 50 meter mencapai puncak, hanya tiga orang yang masih bertahan.

Suhu menunjukkan angka -45 derajat celcius. Karena kurangnya oksigen, aktivitas apapun menjadi sulit. Lettu Misirin gelap mata. Ia pingsan di tengah tumpukan salju, padahal puncak dunia tinggal selemparan batu lagi. Dari belakangnya, Sertu Asmujiono berlari terengah-engah dan melewati Misirin yang terkapar lemah.

Dengan gagah, ditancapkannya sang merah putih untuk pertama kali di dataran tertinggi di muka bumi itu. Kemudian untuk merayakan kemenangan, serta merta ia melepaskan masker oksigen yang dikenakan.

Tak lupa baret merah kebanggan Kopassus disematkan di kepala. “Saya merasakan kebesaran Tuhan saat mencapai puncak. Saya tidak bisa mengucap apapun kecuali Allahu Akbar,” kata Asmujiono.

Kini, ia telah berpangkat Serka. Sepuluh tahun sudah berlalu sejak saat itu. Namun pengalaman ini takkan dilupakannya seumur hidup. Asmujiono tidak mengerti, kekuatan apa yang merasukinya hingga mampu berlari menuju Puncak Everest. “Padahal jangankan berlari, berjalan satu langkah saja, membutuhkan dua sampai tiga napas,” ujarnya.

“Banyak yang menyangsikan keberhasilan tim Indonesia. Karena itu, saya membuka masker,” kata pria kurus ini. Padahal menurutnya, jangankan membuka masker. Jika kita membuka kacamata, hanya hitungan menit mata akan buta karena pantulan ultraviolet yang sangat tajam.

Namun Asmujiono tetap sehat dan bisa mengenangnya hingga kini. Dalam pembukaan Pekan Olahraga TNI AD (PORAD) V minggu lalu, ia diberi kehormatan untuk mengibarkan berdera PORAD.

Kebanggaan yang pantas diberikan untuk manusia ini. Karena dia yang pertama kali membawa Indonesia ke tempat terdekat dengan Tuhan, bila Tuhan memang ada di langit.

Tussie Ayu Riekasapti

Wednesday, July 04, 2007

Total Diplomacy Layaknya Total Football


Tiga paket perjanjian telah ditandatangani RI-Singapura pada April lalu. Paket itu berisi Perjanjian ekstradisi, perjanjian pertahanan dan peraturan pelaksanaan (implementing arrangement dari perjanjian pertahanan. Namun hingga saat ini, pelaksanaannya urung berjalan, karena masih ada ketidaksesuaian antara kedua belak pihak.

“Deplu yang mengetuai perundingan. Kami melaksanakan total diplomacy seperti orang Belanda melakukan total football. Setiap orang bisa main di tiap posisi secara berputar-putar. Hal ini dilakukan agar lawan tidak tahu persis di mana kita memulai politik, ekonomi, keuangan dan ekstradisi. Kami laksanakan dengan tepat agar tidak dikadalin Singapura,” kata Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, Selasa (3/7) lalu di Lembaga Ketahanan Nasional.

Juwono yang pagi itu berbicara di hadapan peserta Program Pendidikan Reguler Angkatan 40 Lemhannas mengungkapkan, Singapura sengaja meminta hal yang tidak masuk akal dalam perjanjian pertahanan.

“Mereka meminta latihan selama 15 hari setiap bulan. Kan gila itu! Kami mau hanya empat sampai enam kali setahun. Hal ini atas pertimbangan lingkungan, nafkah untuk nelayan dan keamanan bersama,” katanya. Menurutnya, Singapura sengaja meminta hal ini agar perundingan menjadi macet.

Macetnya perundingan, kata Juwono, dilakukan agar mereka tidak harus mengakui telah menampung buronan dan aset Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) selama tahun 1997 sampai 2001. “Inilah pertautan antara politik, ekonomi dan keamanan,” tambahnya.

Untuk itu, menurutnya Indonesia melakukan pertaruhan otak dan otot. “Kami coba melaksanakan diplomasi terpadu antara Departemen Luar Negeri, Dephan, Mabes TNI, juga melibatkan Kementrian ESDM, Kementerian Lingkungan Hidup dan Departemen Kehutanan,” jelasnya.

Ia menceritakan, perjanjian ini berawal pada Oktober 2005. Ketika itu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ditantang oleh PM Lee Hsien Liong untuk membuat perjanjian ekstradisi dan pertahanan secara paralel. Menurutnya, ketika itu pemerintah sepakat untuk menerima tantangan ini.

Ketiga perjanjian yang akhirnya ditandatangani pada April 2007 ini saling berkaitan. “Deal dari awal sudah jelas. You give me money, and I will give you space,” ujarnya. Setelah uang dan buronan Indonesia didapatkan, baru Singapura diberikan tempat latihan.

“Jika Singapura mengembalikan satu orang buronan Indonesia beserta uang US$ 200 juta, baru Indonesia akan meminjamkan satu daerah untuk latihan tentara. Kita ini sama-sama licik,” kata mantan duta besar Indonesia untuk Inggris ini.

Ia menambahkan bahwa pemerintah tidak pernah berilusi bahwa perjanjian akan berjalan mulus, walaupun telah ditandatangani. “Singapura harus mengakui mereka telah menampung uang panas dari Indonesia,” katanya.

Berdasarkan sala satu lembaga riset keuangan internasional, menurut Juwono ada 18 ribu orang Indonesia yang memiliki jaringan di Singapura. “Total uang sebanyak US$ 87 Milyar berpangkal di Singapura. dari jumlah itu, tidak semuanya ilegal, dan tidak semuanya buron BLBI. Tapi yang kami minta, adalah buron antara tahun 1997 sampai 2001,” katanya.

Untuk persoalan serumit ini, pantas jika pemerintah melakukan total diplomacy layaknya total football. Seperti juga pertandingan sepak bola, tentu sportivitas harus diutamakan. Jangan sampai kena kartu merah, Pak Menteri!

Tussie Ayu Riekasapti

Friday, June 22, 2007

Roketku Meluncur Sampai Jauh


Lima buah roket berwarna biru tua tertancap di lapangan rumput luas. Berat roket itu hanya 4,5 kilo gram. Panjangnya hanya satu meter lebih sedikit. Roket-roket mini ini tengah menunggu diluncurkan.

Tak lama kemudian, dua orang remaja lelaki dan seorang lelaki dewasa berlarian menghampiri roket itu. Kedua remaja lelaki itu berpakaian seragam SMA, dan lelaki dewasa itu mengenakan baju dan celana putih berlogo Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN).

Dengan cekatan, mereka memeriksa kesiapan roket untuk meluncur. Tahap pertama, dua roket dulu yang akan dibumbungkan ke langit. Setelah dirasa siap, mereka berlari kecil menjauh. Di jarak sekitar lima meter dari roket, dua orang remaja puteri, yang juga berseragam SMU siap menekan tombol.

Kemudian, sirine dibunyikan, dan tombol ditekan. Wuzzz!!! Kedua roket meluncur membelah lagit. Asapnya disisakan di darat untuk penonton. Sedangkan payload yang berada di ujungnya menyemburkan parasut mini. Parasut berwarna oranye cerah itu perlahan-lahan menyentuh tanah.

Hadirin bertepuk riuh. Tapi belum puas, karena masih ada tiga roket lagi yang menunggu giliran untuk diluncurkan. Maka kedua remaja lelaki berseragam SMA tadi, kembali mempersiapkan ketiga roket yang tersisa. Mereka masih dibimbing oleh pria dewasa yang sama.

Ketika sedang serius menyiapkan roket ketiga, tiba-tiba…dorrr!!! Terdengar bunyi menggelegar. Serta merta ketiga orang ini tiarap sambil memegang kepala. Roket yang satu ini ternyata sedikit ‘nakal’. Ia telah meledak sebelum diinstruksikan. Sesaat hadirin yang menyaksikan terdiam.

Namun, ketika melihat mereka kemudian bangun dan cengengesan, para hadirin pun tertawa. “Mungkin roketnya grogi karena dilihat Kepala LAPAN dan Kepala Staf Angkatan Laut,” kata pemandu acara.

Sisa roket yang masih ada, kemudian diluncurkan. Namun sayang, perjalanan terbangnya kali ini tidak seindah yang pertama. Alih-alih menusuk angkasa dengan kecepatan tinggi, ia malah terbang ndut-ndutan. Asap yang ditinggalkan di darat pun cukup banyak dan baunya menusuk hidung. Tapi ini malah menjadi tontonan yang mengasyikkan. Para penonton pun tertawa melihat polah si roket mini.

Itulah aksi dari pelajar SMA yang juga bisa membuat roket mini. Roket ini, dinamakan Roket Dextrose seri RDX-70. Nama bekennya adalah roket gula, karena memang bahan bakarnya adalah gula.

Atraksi peluncuran roket ini, dilakukan di Pameungpeuk, Garut, Selasa (19/6) lalu. Dalam acara yang sama, LAPAN meluncurkan roket buatan sendiri yang diharapkan menjadi cikal bakal kemandirian industri pertahanan dalam negeri. Kepala LAPAN Adi Sadewo Salatun dan Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana Slamet Soebijanto turut menyaksikan para calon ilmuan Indonesia ini meluncurkan roket buatan mereka.

LAPAN dan Pusat Peragaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (PPIPTEK) selama tiga bulan terakhir, memang mengajarkan beberapa siswa SMA untuk membuat roket. Siswa-siswa yang diajarkan adalah siswa SMA di sekitar lingkungan LAPAN di Rumpin, Bogor.

Ide pengajaran roket untuk siswa SMA ini, menurut Koordinator Sosialisasi Roket Dextrose Atik Bintoro, muncul karena siswa kelas 2 SMA telah diajarkan teori roket dalam pelajaran fisika. “Kalau hanya belajar teori kan tidak seru. Tapi kalau langsung dipraktikkan, akan menarik untuk siswa,” katanya.

Namun demikian, menurut Atik, tidak semua materi pembuatan roket diberikan pada siswa SMA. “Kalau semua diberikan, kami takut malah digunakan untuk hal yang lain. Misalkan untuk tawuran,” katanya.

Untuk pengetahuan bahan bakar, hanya garis besarnya yang diberikan pada siswa SMU. Sedangkan untuk hitung-hitungan rumus fisika dan kimia pada roket, diajarkan pada mereka. “Siswa juga bisa mengkreasikan campuran bahan bakar. Tidak harus gula. Mereka juga bisa menghitung dan mengkreasikan tabung dan sirip roket,” ujar Atik.

Ia melanjutkan, hal ini dapat merangsang kreativitas siswa. Karena mereka bisa mengisi bahan bakar sesuai kreasi. “Payload roket bisa diisi macam-macam. Sirip roket juga bisa dikreasikan bermacam bentuk,” tambahnya.

Selain untuk siswa SMA, pendidikan roket juga telah diberikan pada siswa SMP. Menurut Atik, bagi siswa SMP diberikan pendidikan membuat roket air. Pada dasarnya, cara kerja roket gula sama dengan roket air. Namun seperti namanya, roket air menggunakan bahan bakar air.

Untuk satu roket gula, menurut Atik bisa menghabiskan biaya sebesar Rp 150 ribu – Rp 200 ribu. Meskipun cukup mahal, namun pengetahuan ini layak dicoba bagi siswa. Apalagi saat ini kurikulum Departemen Pendidikan Nasional adalah kurikulum berbasis kompetensi. Kurikulum ini mengutamakan kemampuan siswa, yang sejalan dengan pola belajar membuat roket.

Setelah teori membuat roket dipelajari, layaknya juga praktik membuat roket dilakukan. Dua puluh tahun mendatang, niscaya Indonesia akan kaya dengan ilmuan-ilmuan yang siap mendukung industri pertahanan dalam negeri. Semoga!

Monday, June 11, 2007

Tutup Mulut


Malam sudah tiba. Sekarang aku tinggal sendiri saja. Tinggal jemari yang lincah menekan tuts computer. Aku dulu bisa bermain piano. Chopin, Beyer, Heller, tapi tidak Beethoven…partiturnya terlalu sulit bagi jemari kecilku saat itu.

Karena tak pernah latihan, sudah kaku sekarang jemariku. Piano adalah alat musik yang dibelikan ayahku, karena aku merengek-rengek. Tapi aku sekarang sudah bosan dengan piano klasik itu. Buku partitur itu biarkan saja lapuk di bawah kursi piano. Bahkan pemanas kayu agar pianoku tidak lembab, ternyata sudah patah. Sudah tidak bisa digunakan lagi.

Kini, aku sudah punya alat musik baru. Keyboard computer tempat jemariku menari. Dunia adalah partiturnya. Laguku tidak hanya mengalun di rumahku. Bukan hanya ayah dan ibuku saja penikmatnya. Kini laguku bisa didengarkan banyak orang.

Ada sebuah lagu sunyi yang kumainkan lamat-lamat. Sssttt…lagu ini tidak untuk didengar banyak orang. Sebuah Serenade de Schubert, seperti lagu yang sering kau dengarkan dalam kotak musik. Hanya terdengar bila kotaknya dibuka. Dan tidak banyak yang bisa mendengar, paling-paling hanya didengar si pembuka kotak dan orang-orang dekatnya.

Namun ada yang meminjam kotak musikku. Dia membukanya. Aku tidak keberatan bila ia hanya membuka dan mendengarkan musiknya diam-diam. Tapi yang ia lakukan adalah menyodorkan microfon pada kotak musik mungil itu. Sehingga banyak orang yang bisa mendengarnya, termasuk orang yang tak kuinginkan untuk mendengar lagu itu.

Kini lagu itu tak lagi indah. Terlalu besar, sember dan cempreng. Karena emang lagu itu tidak dibuat untuk diperdengarkan sekeras itu. Itu adalah lagu sunyi. Yang hanya indah bila sayup-sayup terdengar.

Tapi apa dayaku? Semua orang boleh mendengarkan lagu indah dari Schubert, salah satu composer besar sepanjang sejarah. Aku tak punya hak untuk menyimpannya sendiri. Bila tak mau dicuri, lebih baik aku tidak punya kotak musik.

Apa tidak boleh memiliki kotak kecil, yang menyanyikan Serenade de Schubert pelan-pelan saja? Aku ingin sunyi. Aku ingin mendengarkannya bersama teman-temanku saja. Kemudian kami mencaci atau memuji lagu itu. Terserah kau! Kau boleh mencacinya. Tapi hanya padaku…tidak usahlah microfon itu.

Tuesday, May 22, 2007

Kidung Mesra Untuk Indonesia


Aku bosan malu menjadi orang Indonesia. Leherku pegal karena selalu menuduk. Tidak bisakah aku mendongak lagi, seperti cerita yang aku baca di buku sejarah...50 tahun lalu, kita bisa mendongak.

Aku memang pemegang paspor hijau itu. Ada apa denganku? Apakah karena bangsaku? Aku tidak suka bila kau berkata demikian. Salah satu temanku malu menggunakan sarung paspor berwarna hijau. Ia memilih menggantinya jadi bersampul biru, demi tidak disepelekan.

Aku melihat bagaimana pahlawan kita disepelekan. Sang pahlawan devisa, tidak satupun dari perbuatannya dianggap benar. Bahkan ketika mengantri pemeriksaan paspor di bandara. Seandainya sampul paspor mereka bukan hijau, mungkin mereka akan memperlakukan pahlawan kita dengan lebih baik.

Pemerintahku memang tidak selalu benar. Tapi aku juga tidak selalu setuju dengan temen-teman persku yang selalu mendampratnya. Kebusukan memang harus diungkap. Tapi apa benar semua yang ada pada bangsaku selalu busuk? Tak bisakah kita sekali saja bercerita sesuatu yang indah tentang Indonesia? Kita nyanyikan kidung mesra untuk Indonesia?

Beberapa hari lalu, Aku membaca "Berita Harian", salah satu surat kabar terkemuka di Malaysia. Tajuknya mengambil berita dari The Jakarta Post, bahwa di Jawa Tengah tingkat bunuh diri meningkat karena kesengsaraan.

Telingaku sakit. Mataku perih. Kita punya banyak kebanggaan. Mengapa harus sesuatu yang buruk yang selalu ditulis. Kita tidak punya muka manakala berhadapan dengan orang asing. Bagaikan meludah ke langit, akhirnya malah terkena muka sendiri.

Sekali saja, aku ingin mendengar kidung merdu itu. Seperti ketika salah seorang Melayu di Malaysia yang kutemui, ia membaca "Keluarga Gerilya" karya Pramoedya Ananta Toer, dan begitu terkesima karenanya. Tak bisakah kita berkarya, dengan mendongakkan kepala sendiri.

Ulang tahunku memang 17 Agustus, sama dengan ulang tahun Indonesia. Namun itu tidak berarti aku memiliki nasionalisme setinggi langit. Aku selalu malu menjadi orang Indonesia. Namun, baru kali ini...aku ingin...sekali saja mendongak.

Jika pemerintah busuk itu tidak bisa mengerjakan tugasnya dengan baik, biarkan sajalah. Aku -toh tidak bisa berbuat apa-apa. Tapi aku sendiri, aku akan melaksanakan tugasku dengan baik. Karena aku sungguh ingin mendengar kidung mesra itu.

Tuesday, April 03, 2007

Tua, Jangan Sentuh Mamaku

Jakarta, 11 February 2007

Malam ini, ketika sedang makan malam dengan pacarku, tiba-tiba saja kami membicarakan tentang usia ibu kami. Mamaku, lahir tahun 1951.

Perempuan dalam keluarga kami selalu lahir pada hari bersejarah. Mamaku lahir pada 21 April, hari kartini. Karena itu ia bernama Harini, kependekan dari Hari Kartini. Sedangkan aku, lahir pada 17 Agustus 1983. Kesamaan kami sejak lahir adalah muncul di dunia pada hari bersejarah.

Lalu aku mulai menghitung. Tahun ini, mamaku akan berusia 56 tahun. Empat tahun lagi, ia akan berusia 60 tahun. 60 tahun bukan usia yang muda, sama sekali bukan muda. Dan aku sendiri tersentak ketika sadar. Aku baru menyadari, mamaku sudah menjelang 60 tahun.

Selama ini, aku selalu ingat ulang tahun mamaku. Tapi aku tidak pernah mempermasalahkan usianya. Karena di mataku, mamaku selalu terlihat cantik. Dan ini bukan pendapatku seorang karena aku anaknya. Mamaku terlihat 10 tahun lebih muda dari usia sesungguhnya. Banyak yang mengatakan demikian.

Badannya masih langsing, hanya perutnya saja yang sedikit buncit. Rambutnya masih indah. Tidak seperti aku yang berambut super lurus sejak lahir, mamaku berambut ikal. Rambutnya luar biasa hitam, dan lebat. Di usianya yang sekarang ini, rambutnya juga tetap legam.

Hingga pagi tadi…


***

Mamaku selalu mengantar aku pergi ke kantor. Ia selalu membantu aku membawa barang-barang yang kuperlukan. Aku menciumnya, dan berpamitan pergi kerja. Sekelebat, aku melihat sehelai rambut putih tersembul di sela-sela rambut hitamnya. Entah mengapa, ada rasa perih yang menjalar di dadaku.

Aku masuk ke dalam mobil. Dari kaca jendela mobil, aku melihat dan melambai kepadanya. Guratan-guratan itu terlihat jelas di wajahnya. Orang menyebutnya keriput. Tapi aku tidak mau menyebut keriput di wajah mamaku. Aku terlalu takut menyadari bahwa ia semakin tua.

Selama ini aku mengakui, bahwa beranjak tua itu ada. Tapi kupikir, itu tidak berlaku buat mamaku. Aku menganggap semua orang bisa tua, kecuali mamaku. Mamaku tidak boleh bertambah tua. Tidak boleh.

Tapi hari ini aku tau, bahwa beranjak tua juga terjadi pada mamaku. Walaupun teman-temanku mengatakan mamaku terlihat lebih muda dari usianya, tapi aku tahu. Dulu guratan itu tidak sejelas itu. Mamaku punya tulang pipi yang bagus sekali. Wajahnya tirus, karena tulang pipi yang tinggi. Tidak seperti pipiku yang tembem, seperti papaku.

Tapi tulang pipi itu sudah mulai tersamar, karena guratan itu. Adakah yang bisa menghentikannya? Tolong hentikan itu untuk mamaku. Hanya untuk mamaku. Aku tidak bisa menerima bahwa ia bertambah tua.

Sejak dulu, cuma mamaku yang paling bisa membuatku menangis. Katanya, semakin kita mencintai seseorang, orang itu semakin mudah membuat kita menangis. Dan aku tidak ragu lagi, mamaku adalah orang yang paling aku cintai di seluruh dunia ini. Dia yang paling bisa membuat aku menangis.

Sejak dulu, aku dekat sekali dengannya. Aku suka menciumnya, aku suka memeluknya. Dan aku suka melihatnya tertawa. Tapi aku kurang sekali menunjukkan bahwa aku sayang padanya. Aku terlalu sibuk dengan duniaku, sampai terkadang aku lupa, bahwa aku sayang sekali padanya.

Ia sering protes kepadaku,”Tussie ngga sayang Mama,” katanya. Karena aku jarang sekali meneleponnya. Dia yang lebih sering menelepon aku. Terakhir kali aku merasa benar-benar kangen padanya mungkin waktu aku kelas 2 SMA. Waktu kita tinggal di kota berbeda, dan berbulan-bulan tidak bertemu.

Tapi saat ini, aku kangen sekali padanya. Padahal pagi ini aku bertemu dengannya. Mama, nanti aku belikan kosmetik termahal. Aku tidak suka guratan itu, aku mau menghalaunya pergi. Aku tidak suka rambut putih itu. Aku mau mencabutnya, agar rambutmu tetap hitam semua.

Perempuan-Perempuan Pramoedya







Jakarta Jurnal Nasional

“Kami, angkatan muda, dengan segenap-genap kepercayaan di hati sebagai kekuatan yang menggerakkan, bangkit menjadi pemutar baling-baling sejarah masa depan. Sebab semua percuma kalau toh harus diperintah angkatan tua yang bodoh dan korup tapi berkuasa, dan harus ikut serta jadi bodoh dan korup demi mempertahankan kekuasaan,” (Pramoedya Ananta Toer).

Perlawanan. Satu kata yang terlihat jelas dalam hampir semua roman karya Pramoedya Ananta Toer. Tetralogi Pulau Buru, Midah Si Manis Bergigi Emas, Mereka Yang Dilumpuhkan, Gadis Pantai, atau Di Tepi Kali Bekasi.

Tetralogi Pulau Buru sendiri terdiri dari empat buku: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca. Semangat untuk melawan juga dititipkan pada epos mahadahsyat ini. Namun tidak hanya itu. Dalam Bumi Manusia, sekelompok manusia yang tergabung dalam The Nyai Ontosoroh Project melihat sisi feminis yang ingin ditampilkan Pramoedya.

Sisi feminis itu ditonjolkan dalam sudut pandang Nyai Ontosoroh sendiri, yang dalam cerita itu, bukanlah nyai biasa. Bukanlah gundik biasa. Nyai Ontosoroh terlahir dengan nama Sanikem. Seorang anak juru tulis pribumi bernama Sastrotomo. Sanikem dijual orang tuanya kepada seorang Belanda bernama Herman Mellema.

Oleh Mellema , ia diajari baca tulis, juga bahasa Belanda. Hingga ketika mendekati akhir hidupnya, Mellema menjadi pecundang besar. Ia sibuk bermabukan dan bermain-main di rumah bordil. Sebaliknya, Sanikem telah bermetamorfosis menjadi Nyai Ontosoroh.

Tidak hanya bisa baca tulis dan berbahasa Belanda tanpa cela, ia bahkan memimpin perusahaan keluarga. Menjadi ibu tunggal bagi Robert dan Annelies Mellema. Juga bisa bersolek dengan necis layaknya priyayi, meski darah biru tak pernah mengalir dalam tubuhnya.

Nyai Ontosoroh berperan besar bagi Minke, tokoh utama dalam Tetralogi Pulau Buru. Minke adalah menantu Nyai Ontosoroh, ia menikahi Annelies. Ketika akan mendirikan Medan , surat kabar pribumi pertama di Indonesia, Nyai Ontosoroh yang memberikan dorongan padanya.

“Kau nak, paling sedikit harus bisa berteriak. Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi sampai jauh, jauh di kemudian hari,” kata Nyai Ontosoroh kepada Minke, dalam Anak Semua Bangsa.

Tidak salah apabila The Nyai Ontosoroh Project memilih tokoh ini untuk dipentaskan dalam teater. The Nyai Ontosoroh Project terdiri dari Perguruan Rakyat Merdeka, Jaringan Nasional Perempuan Mahardhika, Elsam, LBH Apik Jakarta, Kalyanamitra, SP, KPI, Pramoedya Institut, Perkumpulan Seni Indonesia, LSPP, JARI, Pantau, Institut Ungu, Perkumpulan Praxis, ICW dan Yappika.

Rencananya, teater yang diproduseri oleh Faiza Mardzoeki ini akan ditampilkan pada 21,22 dan 23 April 2007, di Taman Ismail Marzuki. Sebelum pementasan, panitia menyelenggarakan diskusi seputar Nyai Ontosoroh. Diskusi pertama telah dilaksanakan di Goethe Institute pada 7 Desember 2006 lalu. Ketika itu, diskusi mengambil tema “Relevansi Figur Nyai Ontosoroh dalam Konteks Gerakan Perempuan”.

Sedangkan diskusi kedua dilakukan di Galeri Cipta III Taman Ismail Marzuki, Jumat (16/2) lalu. Tema yang diangkat adalah "Perempuan Dalam Roman Karya Pramoedya Ananta Toer". Hadir sebagai pembicara adalah aktivis Dita Indah Sari dan Rieke Dyah Pitaloka, serta penulis Eka Kurniawan.

“Karya Pram adalah simbol. Sebagai bentuk keberpihakan dan upaya untuk membela perempuan dalam budaya feodalisme dan patriarki,” kata Dita dalam diskusi malam itu. Menurutnya, tokoh perempuan dalam karya Pram bukan hanya sebagai pelengkap, apalagi sebagai pemanis. Perempuan, dihidupkan oleh Pram sebagai apresiasi.

Perempuan bisa mengungkapkan pemikirannya dan punya independensi, meski berlawanan dengan tradisi di zaman mereka hidup. “Ini terlihat dari tokoh Nyai Ontosoroh, Ang San Mei, Kartini dan Dewi Sartika dalam Tetralogi Pulau Buru,” tambahnya.

Rieke Dyah Pitaloka malam itu terlihat cantik mengenakan kaos hitam bertuliskan “Kebenaran tak turun dari langit. Dia harus diperjuangkan.” Rieke mengaku, perkenalan pertamanya dengan feminisme, didapat dari karya Pram yang berjudul Mereka yang Dilumpuhkan.

Isteri dari Donny Gahral Adian ini berpendapat, tokoh perempuan dalam roman Pram tidak semuanya diciptakan kuat. Ada juga yang diciptakan lemah seperti Annelies Mellema. Namun menurutnya, kelemahan dalam tokoh itu karena dibentuk oleh konstruksi sosial yang ada.
Annelies menjadi lemah karena perilaku incest yang dilakukan kakaknya, Robert Mellema.

“Karya Pram adalah tiruan dari realitas yang memang ada di masyarakat,” tambahnya.
Sedangkan menurut Eka, sebenarnya yang menjadi fokus dari cerita dalam karya Pram bukanlah tokoh tertentu seperti perempuan. “Yang menjadi fokus adalah relasi sosial antar tokoh,” katanya.

Di sela-sela diskusi, Dita juga sempat mengatakan, bagaimanapun tokoh perempuan dan lelaki dalam karya Pram digambarkan sebagai sosok yang kuat, namun pada akhir cerita mereka selalu kalah. “Tapi yang coba digambarkan Pram adalah bagaimana proses perjuangan mereka,” katanya.

Hal ini dibenarkan oleh Rieke. Namun walaupun kalah, menurutnya mereka kalah dengan terhormat. Seperti yang dikatakan Nyai Ontosoroh pada Minke, ketika Annelies dibawa pergi dengan paksa ke Belanda.

"Kita kalah, Ma," bisik Minke.
"Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya," jawab Nyai Ontosoroh.

Tussie Ayu Riekasapti

Silakan...


Anda datang pada kami, saat kami merasa cukup
Lalu anda tinggalkan, saat kami haus

Tidak ada yang mengundang Anda,
Karena itu, Anda bisa pergi kapan saja

Tapi...Anda telah renggut rasa terindah itu
Sesungguhnya, hanya kami yang mengetahui
Bahwa apa yang Anda lakukan, akan terus membekas

Talk Tonight


I wanna talk tonight
until the morning light
about how you saved my life...

kita ngobrol tentang apapun, seperti malam itu...waktu aku nungguin kamu...nungguin kepastian buat besok, dan ternyata hasilnya sangat menyebalkan dan menggelikan.

lalu kita naik mobil aku, sepanjang jalan kita mengutuki perusahaan yang sama-sama mempekerjakan kita... kita begitu banyak bicara (mungkin lebih tepatnya aku), sampe ngga tau lagi harus menyalahkan siapa. karena semua sudah cukup untuk disalahkan.

kamu malah cuma mendengarkan aku. aku ngga tau apa yang kamu pikirin. mungkin kamu sependapat sama aku, mungkin kamu berpikir tentang hal lain.

tapi yang aku tau, waktu kita berhenti di gondangdia, satu-satunya tempat makan yang masih buka pada pukul 11.00 malam itu. aku meluk kamu...ada hormon oxytocin yang menjalar ke tiap sel di rongga tubuhku.

katanya hormon itu menekan hormon cortisol dan norepinephrine. norepinephrine konon adalah hormon pemicu strees. dengan adanya oxytocin, maka stress itu akan menguap begitu saja. dan itu terjadi ketika aku memeluk kamu.

karena itu, cepet pulang ya...kalo otak bisa di fast forward, pasti aku udah mem-fast forward sampe ke tanggal 17 nanti...

Monday, April 02, 2007

Kangen


Malam sudah sangat larut. Aku bahkan hanya diterangi cahaya lap top saja. Lampu rumahku hampir semuanya sudah padam, tanda hampir seluruh penghuninya sudah tidur, kecuali aku.

Aku pun sebenarnya sudah mengantuk. Tetapi ketika papaku membangunkanku yang tertidur di sofa depan tv, aku pun terbangun seraya berpindah dengan malas dari sofa menuju kamar.
Aku belum solat isya, belum sikat gigi. Tapi bukannya berwudhu atau sikat gigi, aku malah mengambil lap top, benda kesayanganku selama sebulan terakhir ini. Kamu belum melihatnya ya? Lap top aku bagus…aku sayang banget ama lap top ini…lap top yang emang udah lama aku pengen banget. Emang ini bukan lap top yang paling bagus atau paling mahal, tapi lap top ini bisa memenuhi semua kebutuhan aku.

Banyak banget yang mau aku ceritain ke kamu. Banyak banget yang udah kamu lewatin. Hari ini, entah kenapa…aku inget ama kamu. Mungkin karena mimpi tadi malam? Atau mungkin juga karena bulan yang berbetuk terompet malam ini. Mungkin kamu ngga percaya…bulan berbentuk terompet? aku juga hampir ngga mempercayai penglihatanku.

Tapi itu bener!!!tadi waktu aku nyetir sendiri dari rumah Galuh…tiba-tiba aku melihat bulan yang berbentuk terompet. Sebenarnya hanya bulan purnama biasa…tapi awan yang membentuknya seperti terompet…persis seperti perasaanku hari ini. Mungkin ini hanya rasa kangen biasa…tapi aku saja yang membuatnya jadi luar biasa. Aku berdoa, semoga kamu juga melihat bulan yang berbentuk terompet itu, jadi kamu juga bisa merasakan apa yang aku rasakan. Seperti doaku tadi pagi ketika terjaga dari tidur…agar kamu juga memimpikan mimpi indah yang aku mimpikan…

Kamu tau kan…kalo menurut aku…menulis itu enak banget…amat sangat terasa enak. Menulis adalah pelarian aku dari semua masalah. Dan menulis itu membuat semua persoalan yang aku hadapi seperti tertinggal pada kertas (atau computer) saja.

Karena itu, hari ini…dengan kangen yang teramat sangat…aku menuliskannya disini. Aku berharap rasa kangen itu akan tertinggal saja disini. Karena aku sudah tidak kuat menanggungnya sendiri…

Udah malem, aku mau tidur dulu ah…lagipula kaki aku udah digigitin nyamuk niy…emang nyamuk sekarang udah ngga tau sopan santun…mudah-mudahan kangen itu tertinggal di lap top ini…dan tidak terbawa lagi dalam mimpiku…tolong pergi dari kepalaku…

Maut Cuma Berbatas Sehelai Rambut


Siapa yang pernah menyangka bahwa kematian cuma berbatas tipis dengan hidup. Kita berpikir bahwa kita bisa hidup hingga 1000 tahun lagi…

Kemarin…
Pak Suwardi pagi-pagi datang ke kantor seperti biasa. Siangnya rapat bersama redaktur-redaktur lain…just like another ordinary day…

Beberapa saat setelah rapat beliau mengaku ngga enak badan. Lalu dia muntah-muntah. Semua orang menyangka, “Ah, cuma masuk angin. Sebentar juga sembuh.” Kemudian Pak Suwardi ke rumah sakit bersama supir. Bahkan dia masih jalan sendiri ke rumah sakit.

Tidak ada yang menyangka, Rumah Sakit Harapan Jayakarta adalah tempat terakhir yang dikunjunginya.

Dia masih memakai kemeja biru kotak-kotak itu. Kemeja yang sering dia pakai ke kantor. Kemeja itu juga yang menemaninya menjumpai izrail.

Dengan kemeja itu juga, dia ada di halaman 1 Jurnal Nasional hari ini. Sebuah obituary untuknya.

Pak Suwardi ngga pernah marah dan ngga pernah merepotkan…
Pak Suwardi yang biasanya mengisi dua halaman sekaligus…tidak mengeluh…

Nothin’ more I could say…
cuma tenggorokan yang tercekat
mata yang menahan air

ketika melihatnya masih memakai kemeja kota-kotak biru itu
just like another ordinary day…
tapi dia ada di atas keranda itu…