Thursday, October 18, 2007

Mesjid Lautze, Penyambung Ukhuwah Bumiputera dan Tionghoa (Bagian I)


“Meski kerap disebut sebagai mesjid dzuhur-ashar, Mesjid Lautze tetap kukuh memperjuangkan pembauran.”

Kawasan Pasar Baru, Jakarta Pusat, sejak dulu telah menjadi jantung perdagangan di Batavia. Hingga kini, denyut itu masih berdegup. Aliran uang dipompa masuk dan keluar dalam arteri dan vena berbentuk jalan serta gang yang melewatinya.

Seperti kebanyakan pusat perdagangan di Indonesia dan negara-negara kawasan Asia lainnya, etnis Tionghoa memengang peranan penting dalam aktivitas ekonomi. Begitu pula dengan Pasar Baru. Kulit kuning, mata sipit dan rambut lurus kaku bertebaran di sekitarnya.

Pasar Baru bukanlah tempat plesir yang nyaman. Bising kendaraan memenuhi liang telinga. Debu berhembus bersama angin, kemudian hinggap pada jendela, pintu, pertokoan dan jalan yang dilewatinya. Selanjutnya, debu itu bersemayam hingga ada tangan-tangan yang mau menghalaunya pergi.

Di tempat ini, Mesjid Lautze didirikan. Bukanlah pilar kokoh, lantai pualam, atau lampu kristal yang akan menyambut kita. Hanya bangunan yang berbentuk ruko, bercat hitam kusam dan empat buah pintu berwarna merah yang menyapa.

Ada tulisan besar di depannya yang menunjukkan identitas bangunan ini. Selain tulisan Mesjid Lautze, juga ada sebuah plang besar yang tertulis “Yayasan Haji Karim Oei, Informasi Islam untuk WNI”.

Namun ketika kita memasukinya, suasana berbeda langsung menyambut. Di lantai dasar, yang berukuran sekitar 10x20 meter, ruangan ditata cukup rapi dan bersih. Lantainya hanya keramik biasa berwarna putih. Namun di sekitar mimbarnya, ada beberapa kaligrafi yang cukup menyita pandangan; percampuran seni antara Arab dan Tionghoa.

Kaligrafi gaya Tionghoa ini tidak menonjolkan banyak detail dan variasi seperti halnya kaligrafi Arab. Hanya sapuan kuas di atas kertas putih yang ditonjolkan. Makna kalimat yang dituliskan dalam aksara Hijaiyah itu lebih penting daripada sekadar ornamen penghiasnya.Masjid ini berawal dari pemikiran untuk mendirikan yayasan bagi kalangan keturunan Tionghoa. Menurut HM. Ali Karim Oei, pimpinan Yayasan Haji Karim Oei dan Mesjid Lautze, nama yayasan diambil dari seorang tokoh muslim keturunan Tionghoa, Abdulkarim Oei Tjeng Hien (1905-1988), yang dikenal dengan sebutan Bapak Oei (baca: U-i).

Namun mesjid dan yayasan ini berdiri setelah Karim Oei wafat, tepatnya pada tahun 1991. Pemrakarsa pembangunannya tak lain adalah Junus Jahja, tokoh Tionghoa yang getol berjuang demi pembauran etnis.

Sedangkan nama Lautze yang diabadikan menjadi nama mesjid, tak lain karena letaknya yang berada di Jalan Lautze No. 89, Jakarta Pusat. Selain itu, menurut Humas Yayasan Haji Karim Oei, Yusman Iriansyah, dalam bahasa China, lautze berarti guru atau orang yang dihormati. “Jadi namanya memang pas sekali,” kata Yusman.

Tulisan ini sudah dipublikasikan di Jurnal Nasional, Sabtu, 22 Sepetember 2007

No comments: