Monday, July 23, 2007

Ketika Panglima TNI Menunjukkan Taringnya

Berita tentang alotnya perjanjian pertahanan dan ektradisi, mungkin telah banyak ditulis di hampir semua media massa saat ini. Tapi ada sebuah cerita kecil yang ingin saya ceritakan.

Ketika saya menuliskannya di media saya, pisau editing telah melenyapkannya. Jadi saya pikir, ini tulisan yang hanya cocok untuk dikonsumsi para blogger. Bukan cerita besar. Tapi saya senang menceritakannya, sama senangnya ketika para ‘jurnalis kacang goreng’ saling bercerita tentang hal ini usai liputan. Jadi, inilah ceritanya.

Suatu pagi, aku terbangun di tempat tidur. Hari ini belum ada agenda apapun untuk diliput. Itu biasa untuk wartawan polkam dan TNI. Wilayah liputan kami seringkali kering agenda. Kami tak bisa terus menerus menunggu berita datang dari langit.

Aku sudah pasrah jika berita agenda sepi. Akupun sudah menyiapkan feature untuk diliput, jika memang berita ‘keras’ sedang sepi. Pukul 10.00 pagi, telepon genggamku berbunyi. Sebuah SMS dari Amril Sindo. Isinya begini,

“Ada info kalau Panglima Singapura sedang ada di Dephan. Bener ga siy?”

Adrenalinku bergejolak. Hal ini selalu terasa jika ada berita besar di depan mata. Macetnya perjanjian pertahanan dan perjanjian ekstradisi membuat hubungan kedua negara sedikit panas.
Aku segera meluncur ke kantor. Kuhubungi Humas Dephan. Ia menyatakan bahwa hari ini Menhan Juwono Sudarsono sedang tidak punya agenda apapun. Berita menjadi simpang siur. Beberapa teman yang sudah berada di Dephan juga mengatakan ‘masih sepi-sepi aja’. Aku mengurungkan niatku ke Dephan.

Meskipun Panglima Singapura memang ada di Dephan, tapi tidak ingin bertemu wartawan, percuma mengejarnya. Sederet pengamanan di Dephan akan siap menghadang ‘jurnalis kacang goreng’. Daripada mengejar sesuatu yang samar, lebih baik mengerjakan hal lain yang lebih pasti.

Tapi, ketika jarum jam bergerak ke angka 13.30, sebuah sms masuk ke telepon genggamku. Dari Dewo Kompas.

“Panglima Singapura mau didorstop di Dephan jam 14.30,” katanya.

Tak lama kemudian, humas Dephan meneleponku. Memberi tahu hal serupa. Memang dunia kadang membingungkan. Beberapa menit yang lalu, aku baru saja menelepon orang yang sama. Ia mengatakan Pak Menteri tidak punya agenda apa-apa hari ini. pernyataannya bisa berubah 180 derajat dalam tempo beberapa menit saja.

Lalu aku segera meluncur ke Dephan. Di ruang pers, semua media Indonesia telah berkumpul. Ughhh…I hate this…kalau banyak wartawan TV, berarti kami harus siap berdesakan dengan kameraman mereka yang besar-besar dan selalu ingin di depan. Aku yang kecil biasanya akan menitipkan recorder pada teman yang ‘mendapatkan posisi bagus’. Jika ada yang ingin ditanyakan, aku akan berteriak dari belakang.

Cara wawancara yang tidak menyenangkan.

Hampir satu jam menunggu, akhirnya kami dipersilakan untuk menghampiri Panglima TNI dan Panglima Singapura. ketika itu, Panglima TNI sedang mengantarkan Panglima Singapura yang akan pulang. Saat itu, kami bertanya pada Panglima TNI dulu.

Salah satu wartawan langsung bertanya soal kelanjutan perjanjian pertahanan. Marsekal Djoko Suyanto menjawab dengan tenang.

”Kedatangan Panglima Singapura adalah kunjungan perdananya sebagai Panglima dan perkenalan dalam kapasitas Panglima baru. Selain itu, ada pertemuan rutin tahunan antara TNI dan Angkatan Bersenjata Singapura.”

“Dalam pertemuan ini, dibicarakan tentang joint inteligent exchange (kerjasama pertukaran intelijen), joint coordinating committee (komite kerjasama bersama), joint training commitee (komite latihan bersama) dan joint logistik committee (komite logistic bersama). KAMI TIDAK MEMBICARAKAN SOAL PERJANJIAN PERTAHANAN.”

Tidak puas dengan pernyataannya, para wartawan kemudian bertanya pada Panglima Singapore Letjen Desmond Kuek. Setali tiga uang, ia menjawab sama dengan yang dikatakan oleh Panglima TNI.

Seorang teman saya, namanya Rahmad dari Republika tampaknya gemas dengan jawaban yang datar-datar saya. Tiba-tiba dia bertanya pada Kuek.

”Mr. Juwono Said that Singapore Proposal in Bravo Area is quite crazy. What do you think about that?”

Mendengar pertanyaan ini, Kuek tampak hampir menjawab, kalau saja Panglima TNI tidak memotong ucapannya.

“No! We dont have to comment. Saya boleh mendikte dia! (dia yang dimaksud adalah Panglima Singapura),” kata Djoko Suyanto.

Usai mendengar jawaban Panglima TNI, Panglima Singapura akhirnya diam-diam saja. Barangkali dia kaget dengan ulah wartawan Indonesia yang bertanya dengan sangat gamblang. Hahahaha…

Saya dan teman saya sibuk menahan tertawa. Wah, asik ya melihat Panglima TNI bisa mendikte Panglima Singapura! Walaupun hanya sebatas apa yang boleh dia ucapkan dan apa yang tidak boleh diucapkan.

3 comments:

doddi Ahmad Fauji said...

Kalau saja dikirim ke tabloid minggu jurnas, tulisan seperti ini lebih pas untuk dimuat, ketimbang fitur yang berjarak. Mengatakan misalnya, ia mengatakan kepada Jurnal Nasional. Kenapa Jurnal Nasional, tulis saja, ia mengatakan kepada saya....

Tussie Ayu said...

wah, emangnya cerita printilan begini bisa naik yah di koran kita? kayanya ngga bisa deh, walau di mingguan sekalipun. kabarnya temanku anak Rakyat Merdeka mau nulis ini. Dia mau bikin judulnya "Panglima TNI Dikte Panglima Singapura".

Tapi ngga tau deh, apa dia jadi bikin judul itu atau tidak? Ada banyak hal yang tidak bisa ditulis di media massa. Cerita printilan seperti ini hanya menjadi bisikan di kalangan wartawan saja..hehehe..

Padahal, menurutku berita seperti ini bisa menaikkan citra TNI. Selama ini, TNI, Dephan, Deplu dianggap lemah dalam berdiplomasi. Sikap Panglima TNI dalam kejadian ini, menyiratkan bahwa Indonesia tidak selemah itu!

Trian Hendro A. said...

bagus, renyah.. justru asyik kalo bisa melihat 'behind story' seperti ini.

btw,
Comment moderation has been enabled. All comments must be approved by the blog author.


kenapa harus moderasi?? saya ga suka moderasi, itu pemasungan! atau memang mbak ayu suka? :D