Saturday, July 01, 2006

Tidak Bisa Memaksa


Manusia punya banyak sekali keinginan. Punya banyak impian. Punya banyak nafsu. Kita pikir...terkadang, kita selalu bisa menggapai itu semua. Gue seringkali melakukan itu. Karena Tuhan sayang banget sama gue, Tuhan memberi banyak untuk gue. Tuhan mengabulkan hampir semua keinginan gue. Karena Tuhan tau gue berusaha keras untuk mewujudkan itu semua.
Tapi ada juga hal yang tidak bisa dipaksakan. Ini terkait dengan hubungan sesama manusia. Kalau keinginan itu cuma berurusan dengan diri kita sendiri dan cita-cita, itu 99% bisa berhasil kalau kita berusaha maksimal. Tapi keinginan yang juga melibatkan manusia lain di dalamnya ngga bisa begitu.
Manusia itu unik. Manusia itu kompleks. Kita cuma bisa menebak kareakter orang lain, hanya jika kita benar-benar mengenal orang itu. Berapa lama mengenalnya? Itu sangat relatif, karena setiap manusia itu berbeda.
Gue pernah dihadapkan pada situasi dimana tidak bisa memaksa. Sering malah. Dan karena gue orang yang tidak suka dipaksa, maka gue tidak mau memaksa orang lain. Jadi yang bisa gue lakukan adalah menghargai pilihan setiap orang.
Tapi ngga semua orang berpikiran seperti gue. Terkadang ada orang yang berpikir mereka bisa mengubah segala sesuatu dengan terus berusaha. Mungkin itu pemikiran yang benar. Tapi ngga sepenuhnya benar menurut gue.
Ketika kita berhubungan dengan manusia lain, itu adalah tiada lain selain menghargai. Menghargai beda jauh dengan mencintai. Gue menemukan banyak orang yang cuma bisa mencintai, tapi ngga bisa menghargai.
Ketika orang lain lain berbicara, kita harus belajar untuk mendengarkan. Berbicara itu bukan sekedar bunyi tanpa arti. Berbicara bukan hanya perbedaan lafal tanpa makna.
Ketika kita sudah bisa mendengar orang lain, maka kita juga akan bisa menghargai orang lain. Menghargai keputusan mereka dan membiarkan mereka melakukan yang mereka suka.
Gue juga pengen begitu. Gue pengen didenger. Gue pengen keputusan gue dihargai. Dan gue ngga suka dipaksa. Jangan paksa gue. Ada hal-hal yang tidak bisa dirubah. Mungkin mereka mengerti kalau mengenal gue.

Sunday, June 25, 2006

Ada Apa dengan Rok dan Warna Pink?


Gue abis ngobrolin masalah kefeminiman dan profesi wartawan sama temen gue. Dan gue jadi inget beberapa hal. Dan gue berpikir beberapa hal.

Lebih dari setahun yang lalu, gue pernah magang di Majalah Gatra. Ketika magang selesai, gue ikut jadi Liaison Officer buat wartawan asing di Asian African Summit 2005. Pada waktu yang ditentukan, diadakanlah konferensi pers sekaligus pengarahan acara itu.

Gue dateng ke acara pengarahan itu. Bukan sebagai wartawan Gatra (karena masa magang gue juga udah abis). Tapi sebagai panitia Asian African Summit 2005. Datenglah gue dengan memakai rok selutut.

Sampe di tempat acara, gue ketemu sama seorang temen gue yang wartawan. Dengan cueknya dia bilang, “Tus, ngpain lo pake rok? Biar diliat sama cowo-cowo ya?”

Hmmm…apa hubungannya pake rok sama diliat cowo-cowo ya? Mungkin temen gue ini nyangka gue dateng sebagai wartawan Gatra, bukan sebagai panitia. Tapi kalupun gue dateng sebagai wartawan, apa salahnya wartawan make rok? Selama ngga mengganggu orang lain kan ngga pa-pa.

Lagian gue make rok selutut karena gue suka sama kaki gue. Ngga ada hubungan dengan cowo-cowo. Gue make baju yang pantas. Ngga terlalu seksi sampe menarik perhatian orang. Apa salah gue kalo kaki gue bagus dan gue bangga sama kaki gue?

Cerita kedua…

Ini cerita waktu gue udah di Jurnal Nasional. Suatu hari, gue liputan dengan memakai baju pink renda-renda. Di lapangan, gue ketemu sama temen gue yang wartawan juga. Dia bilang, “Duh, centil banget niy pake baju pink.”

Hmmm…

Ada apa dengan rok dan warna pink? Apa wartawan ngga boleh pake rok dan baju pink? Apa ada keharusan wartawan itu adalah memakai backpack besar, topi kucel dan bawa-bawa kamera?

Gue pernah baca MTV Trax yang ada tulisan tentang Riyanni Djangkaru. Riyanni bilang, “Pink itu warna pemberontakan gue.”. Gue mengalami apa yang dialami Riyanni. Apa hubungannya warna pink dengan profesi kita?

Apa pink itu symbol dari kefeminiman yang menyiratkan kelemahan? Apa ngga boleh kalo wartawan terlihat sedikit rapi dan manis? Apa wartawan harus selalu terlihat gahar dan kucel? Picik sekali kalo berpikiran seperti itu…make baju pink bukan berarti gue ngga tough. Make rok bukan berarti gue klamar klemer…

Kita emang hidup di dunia symbol. Tapi salah kalau mengartikan symbol dengan begitu sempit…