Tuesday, April 03, 2007

Tua, Jangan Sentuh Mamaku

Jakarta, 11 February 2007

Malam ini, ketika sedang makan malam dengan pacarku, tiba-tiba saja kami membicarakan tentang usia ibu kami. Mamaku, lahir tahun 1951.

Perempuan dalam keluarga kami selalu lahir pada hari bersejarah. Mamaku lahir pada 21 April, hari kartini. Karena itu ia bernama Harini, kependekan dari Hari Kartini. Sedangkan aku, lahir pada 17 Agustus 1983. Kesamaan kami sejak lahir adalah muncul di dunia pada hari bersejarah.

Lalu aku mulai menghitung. Tahun ini, mamaku akan berusia 56 tahun. Empat tahun lagi, ia akan berusia 60 tahun. 60 tahun bukan usia yang muda, sama sekali bukan muda. Dan aku sendiri tersentak ketika sadar. Aku baru menyadari, mamaku sudah menjelang 60 tahun.

Selama ini, aku selalu ingat ulang tahun mamaku. Tapi aku tidak pernah mempermasalahkan usianya. Karena di mataku, mamaku selalu terlihat cantik. Dan ini bukan pendapatku seorang karena aku anaknya. Mamaku terlihat 10 tahun lebih muda dari usia sesungguhnya. Banyak yang mengatakan demikian.

Badannya masih langsing, hanya perutnya saja yang sedikit buncit. Rambutnya masih indah. Tidak seperti aku yang berambut super lurus sejak lahir, mamaku berambut ikal. Rambutnya luar biasa hitam, dan lebat. Di usianya yang sekarang ini, rambutnya juga tetap legam.

Hingga pagi tadi…


***

Mamaku selalu mengantar aku pergi ke kantor. Ia selalu membantu aku membawa barang-barang yang kuperlukan. Aku menciumnya, dan berpamitan pergi kerja. Sekelebat, aku melihat sehelai rambut putih tersembul di sela-sela rambut hitamnya. Entah mengapa, ada rasa perih yang menjalar di dadaku.

Aku masuk ke dalam mobil. Dari kaca jendela mobil, aku melihat dan melambai kepadanya. Guratan-guratan itu terlihat jelas di wajahnya. Orang menyebutnya keriput. Tapi aku tidak mau menyebut keriput di wajah mamaku. Aku terlalu takut menyadari bahwa ia semakin tua.

Selama ini aku mengakui, bahwa beranjak tua itu ada. Tapi kupikir, itu tidak berlaku buat mamaku. Aku menganggap semua orang bisa tua, kecuali mamaku. Mamaku tidak boleh bertambah tua. Tidak boleh.

Tapi hari ini aku tau, bahwa beranjak tua juga terjadi pada mamaku. Walaupun teman-temanku mengatakan mamaku terlihat lebih muda dari usianya, tapi aku tahu. Dulu guratan itu tidak sejelas itu. Mamaku punya tulang pipi yang bagus sekali. Wajahnya tirus, karena tulang pipi yang tinggi. Tidak seperti pipiku yang tembem, seperti papaku.

Tapi tulang pipi itu sudah mulai tersamar, karena guratan itu. Adakah yang bisa menghentikannya? Tolong hentikan itu untuk mamaku. Hanya untuk mamaku. Aku tidak bisa menerima bahwa ia bertambah tua.

Sejak dulu, cuma mamaku yang paling bisa membuatku menangis. Katanya, semakin kita mencintai seseorang, orang itu semakin mudah membuat kita menangis. Dan aku tidak ragu lagi, mamaku adalah orang yang paling aku cintai di seluruh dunia ini. Dia yang paling bisa membuat aku menangis.

Sejak dulu, aku dekat sekali dengannya. Aku suka menciumnya, aku suka memeluknya. Dan aku suka melihatnya tertawa. Tapi aku kurang sekali menunjukkan bahwa aku sayang padanya. Aku terlalu sibuk dengan duniaku, sampai terkadang aku lupa, bahwa aku sayang sekali padanya.

Ia sering protes kepadaku,”Tussie ngga sayang Mama,” katanya. Karena aku jarang sekali meneleponnya. Dia yang lebih sering menelepon aku. Terakhir kali aku merasa benar-benar kangen padanya mungkin waktu aku kelas 2 SMA. Waktu kita tinggal di kota berbeda, dan berbulan-bulan tidak bertemu.

Tapi saat ini, aku kangen sekali padanya. Padahal pagi ini aku bertemu dengannya. Mama, nanti aku belikan kosmetik termahal. Aku tidak suka guratan itu, aku mau menghalaunya pergi. Aku tidak suka rambut putih itu. Aku mau mencabutnya, agar rambutmu tetap hitam semua.

Perempuan-Perempuan Pramoedya







Jakarta Jurnal Nasional

“Kami, angkatan muda, dengan segenap-genap kepercayaan di hati sebagai kekuatan yang menggerakkan, bangkit menjadi pemutar baling-baling sejarah masa depan. Sebab semua percuma kalau toh harus diperintah angkatan tua yang bodoh dan korup tapi berkuasa, dan harus ikut serta jadi bodoh dan korup demi mempertahankan kekuasaan,” (Pramoedya Ananta Toer).

Perlawanan. Satu kata yang terlihat jelas dalam hampir semua roman karya Pramoedya Ananta Toer. Tetralogi Pulau Buru, Midah Si Manis Bergigi Emas, Mereka Yang Dilumpuhkan, Gadis Pantai, atau Di Tepi Kali Bekasi.

Tetralogi Pulau Buru sendiri terdiri dari empat buku: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca. Semangat untuk melawan juga dititipkan pada epos mahadahsyat ini. Namun tidak hanya itu. Dalam Bumi Manusia, sekelompok manusia yang tergabung dalam The Nyai Ontosoroh Project melihat sisi feminis yang ingin ditampilkan Pramoedya.

Sisi feminis itu ditonjolkan dalam sudut pandang Nyai Ontosoroh sendiri, yang dalam cerita itu, bukanlah nyai biasa. Bukanlah gundik biasa. Nyai Ontosoroh terlahir dengan nama Sanikem. Seorang anak juru tulis pribumi bernama Sastrotomo. Sanikem dijual orang tuanya kepada seorang Belanda bernama Herman Mellema.

Oleh Mellema , ia diajari baca tulis, juga bahasa Belanda. Hingga ketika mendekati akhir hidupnya, Mellema menjadi pecundang besar. Ia sibuk bermabukan dan bermain-main di rumah bordil. Sebaliknya, Sanikem telah bermetamorfosis menjadi Nyai Ontosoroh.

Tidak hanya bisa baca tulis dan berbahasa Belanda tanpa cela, ia bahkan memimpin perusahaan keluarga. Menjadi ibu tunggal bagi Robert dan Annelies Mellema. Juga bisa bersolek dengan necis layaknya priyayi, meski darah biru tak pernah mengalir dalam tubuhnya.

Nyai Ontosoroh berperan besar bagi Minke, tokoh utama dalam Tetralogi Pulau Buru. Minke adalah menantu Nyai Ontosoroh, ia menikahi Annelies. Ketika akan mendirikan Medan , surat kabar pribumi pertama di Indonesia, Nyai Ontosoroh yang memberikan dorongan padanya.

“Kau nak, paling sedikit harus bisa berteriak. Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi sampai jauh, jauh di kemudian hari,” kata Nyai Ontosoroh kepada Minke, dalam Anak Semua Bangsa.

Tidak salah apabila The Nyai Ontosoroh Project memilih tokoh ini untuk dipentaskan dalam teater. The Nyai Ontosoroh Project terdiri dari Perguruan Rakyat Merdeka, Jaringan Nasional Perempuan Mahardhika, Elsam, LBH Apik Jakarta, Kalyanamitra, SP, KPI, Pramoedya Institut, Perkumpulan Seni Indonesia, LSPP, JARI, Pantau, Institut Ungu, Perkumpulan Praxis, ICW dan Yappika.

Rencananya, teater yang diproduseri oleh Faiza Mardzoeki ini akan ditampilkan pada 21,22 dan 23 April 2007, di Taman Ismail Marzuki. Sebelum pementasan, panitia menyelenggarakan diskusi seputar Nyai Ontosoroh. Diskusi pertama telah dilaksanakan di Goethe Institute pada 7 Desember 2006 lalu. Ketika itu, diskusi mengambil tema “Relevansi Figur Nyai Ontosoroh dalam Konteks Gerakan Perempuan”.

Sedangkan diskusi kedua dilakukan di Galeri Cipta III Taman Ismail Marzuki, Jumat (16/2) lalu. Tema yang diangkat adalah "Perempuan Dalam Roman Karya Pramoedya Ananta Toer". Hadir sebagai pembicara adalah aktivis Dita Indah Sari dan Rieke Dyah Pitaloka, serta penulis Eka Kurniawan.

“Karya Pram adalah simbol. Sebagai bentuk keberpihakan dan upaya untuk membela perempuan dalam budaya feodalisme dan patriarki,” kata Dita dalam diskusi malam itu. Menurutnya, tokoh perempuan dalam karya Pram bukan hanya sebagai pelengkap, apalagi sebagai pemanis. Perempuan, dihidupkan oleh Pram sebagai apresiasi.

Perempuan bisa mengungkapkan pemikirannya dan punya independensi, meski berlawanan dengan tradisi di zaman mereka hidup. “Ini terlihat dari tokoh Nyai Ontosoroh, Ang San Mei, Kartini dan Dewi Sartika dalam Tetralogi Pulau Buru,” tambahnya.

Rieke Dyah Pitaloka malam itu terlihat cantik mengenakan kaos hitam bertuliskan “Kebenaran tak turun dari langit. Dia harus diperjuangkan.” Rieke mengaku, perkenalan pertamanya dengan feminisme, didapat dari karya Pram yang berjudul Mereka yang Dilumpuhkan.

Isteri dari Donny Gahral Adian ini berpendapat, tokoh perempuan dalam roman Pram tidak semuanya diciptakan kuat. Ada juga yang diciptakan lemah seperti Annelies Mellema. Namun menurutnya, kelemahan dalam tokoh itu karena dibentuk oleh konstruksi sosial yang ada.
Annelies menjadi lemah karena perilaku incest yang dilakukan kakaknya, Robert Mellema.

“Karya Pram adalah tiruan dari realitas yang memang ada di masyarakat,” tambahnya.
Sedangkan menurut Eka, sebenarnya yang menjadi fokus dari cerita dalam karya Pram bukanlah tokoh tertentu seperti perempuan. “Yang menjadi fokus adalah relasi sosial antar tokoh,” katanya.

Di sela-sela diskusi, Dita juga sempat mengatakan, bagaimanapun tokoh perempuan dan lelaki dalam karya Pram digambarkan sebagai sosok yang kuat, namun pada akhir cerita mereka selalu kalah. “Tapi yang coba digambarkan Pram adalah bagaimana proses perjuangan mereka,” katanya.

Hal ini dibenarkan oleh Rieke. Namun walaupun kalah, menurutnya mereka kalah dengan terhormat. Seperti yang dikatakan Nyai Ontosoroh pada Minke, ketika Annelies dibawa pergi dengan paksa ke Belanda.

"Kita kalah, Ma," bisik Minke.
"Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya," jawab Nyai Ontosoroh.

Tussie Ayu Riekasapti

Silakan...


Anda datang pada kami, saat kami merasa cukup
Lalu anda tinggalkan, saat kami haus

Tidak ada yang mengundang Anda,
Karena itu, Anda bisa pergi kapan saja

Tapi...Anda telah renggut rasa terindah itu
Sesungguhnya, hanya kami yang mengetahui
Bahwa apa yang Anda lakukan, akan terus membekas

Talk Tonight


I wanna talk tonight
until the morning light
about how you saved my life...

kita ngobrol tentang apapun, seperti malam itu...waktu aku nungguin kamu...nungguin kepastian buat besok, dan ternyata hasilnya sangat menyebalkan dan menggelikan.

lalu kita naik mobil aku, sepanjang jalan kita mengutuki perusahaan yang sama-sama mempekerjakan kita... kita begitu banyak bicara (mungkin lebih tepatnya aku), sampe ngga tau lagi harus menyalahkan siapa. karena semua sudah cukup untuk disalahkan.

kamu malah cuma mendengarkan aku. aku ngga tau apa yang kamu pikirin. mungkin kamu sependapat sama aku, mungkin kamu berpikir tentang hal lain.

tapi yang aku tau, waktu kita berhenti di gondangdia, satu-satunya tempat makan yang masih buka pada pukul 11.00 malam itu. aku meluk kamu...ada hormon oxytocin yang menjalar ke tiap sel di rongga tubuhku.

katanya hormon itu menekan hormon cortisol dan norepinephrine. norepinephrine konon adalah hormon pemicu strees. dengan adanya oxytocin, maka stress itu akan menguap begitu saja. dan itu terjadi ketika aku memeluk kamu.

karena itu, cepet pulang ya...kalo otak bisa di fast forward, pasti aku udah mem-fast forward sampe ke tanggal 17 nanti...

Monday, April 02, 2007

Kangen


Malam sudah sangat larut. Aku bahkan hanya diterangi cahaya lap top saja. Lampu rumahku hampir semuanya sudah padam, tanda hampir seluruh penghuninya sudah tidur, kecuali aku.

Aku pun sebenarnya sudah mengantuk. Tetapi ketika papaku membangunkanku yang tertidur di sofa depan tv, aku pun terbangun seraya berpindah dengan malas dari sofa menuju kamar.
Aku belum solat isya, belum sikat gigi. Tapi bukannya berwudhu atau sikat gigi, aku malah mengambil lap top, benda kesayanganku selama sebulan terakhir ini. Kamu belum melihatnya ya? Lap top aku bagus…aku sayang banget ama lap top ini…lap top yang emang udah lama aku pengen banget. Emang ini bukan lap top yang paling bagus atau paling mahal, tapi lap top ini bisa memenuhi semua kebutuhan aku.

Banyak banget yang mau aku ceritain ke kamu. Banyak banget yang udah kamu lewatin. Hari ini, entah kenapa…aku inget ama kamu. Mungkin karena mimpi tadi malam? Atau mungkin juga karena bulan yang berbetuk terompet malam ini. Mungkin kamu ngga percaya…bulan berbentuk terompet? aku juga hampir ngga mempercayai penglihatanku.

Tapi itu bener!!!tadi waktu aku nyetir sendiri dari rumah Galuh…tiba-tiba aku melihat bulan yang berbentuk terompet. Sebenarnya hanya bulan purnama biasa…tapi awan yang membentuknya seperti terompet…persis seperti perasaanku hari ini. Mungkin ini hanya rasa kangen biasa…tapi aku saja yang membuatnya jadi luar biasa. Aku berdoa, semoga kamu juga melihat bulan yang berbentuk terompet itu, jadi kamu juga bisa merasakan apa yang aku rasakan. Seperti doaku tadi pagi ketika terjaga dari tidur…agar kamu juga memimpikan mimpi indah yang aku mimpikan…

Kamu tau kan…kalo menurut aku…menulis itu enak banget…amat sangat terasa enak. Menulis adalah pelarian aku dari semua masalah. Dan menulis itu membuat semua persoalan yang aku hadapi seperti tertinggal pada kertas (atau computer) saja.

Karena itu, hari ini…dengan kangen yang teramat sangat…aku menuliskannya disini. Aku berharap rasa kangen itu akan tertinggal saja disini. Karena aku sudah tidak kuat menanggungnya sendiri…

Udah malem, aku mau tidur dulu ah…lagipula kaki aku udah digigitin nyamuk niy…emang nyamuk sekarang udah ngga tau sopan santun…mudah-mudahan kangen itu tertinggal di lap top ini…dan tidak terbawa lagi dalam mimpiku…tolong pergi dari kepalaku…

Maut Cuma Berbatas Sehelai Rambut


Siapa yang pernah menyangka bahwa kematian cuma berbatas tipis dengan hidup. Kita berpikir bahwa kita bisa hidup hingga 1000 tahun lagi…

Kemarin…
Pak Suwardi pagi-pagi datang ke kantor seperti biasa. Siangnya rapat bersama redaktur-redaktur lain…just like another ordinary day…

Beberapa saat setelah rapat beliau mengaku ngga enak badan. Lalu dia muntah-muntah. Semua orang menyangka, “Ah, cuma masuk angin. Sebentar juga sembuh.” Kemudian Pak Suwardi ke rumah sakit bersama supir. Bahkan dia masih jalan sendiri ke rumah sakit.

Tidak ada yang menyangka, Rumah Sakit Harapan Jayakarta adalah tempat terakhir yang dikunjunginya.

Dia masih memakai kemeja biru kotak-kotak itu. Kemeja yang sering dia pakai ke kantor. Kemeja itu juga yang menemaninya menjumpai izrail.

Dengan kemeja itu juga, dia ada di halaman 1 Jurnal Nasional hari ini. Sebuah obituary untuknya.

Pak Suwardi ngga pernah marah dan ngga pernah merepotkan…
Pak Suwardi yang biasanya mengisi dua halaman sekaligus…tidak mengeluh…

Nothin’ more I could say…
cuma tenggorokan yang tercekat
mata yang menahan air

ketika melihatnya masih memakai kemeja kota-kotak biru itu
just like another ordinary day…
tapi dia ada di atas keranda itu…

Apakah Tuhan menciptakan segala yang ada?

Apakah Tuhan menciptakan segala yang ada? Apakah kejahatan itu ada? Apakah Tuhan menciptakan kejahatan? Seorang Profesor dari sebuah universitas terkenal menantang mahasiswa-mahasiswanya dengan pertanyaan ini, "Apakah Tuhan menciptakan segala yang ada?".

Seorang mahasiswa dengan berani menjawab, "Betul, Dia yang menciptakan semuanya". "Tuhan menciptakan semuanya?" Tanya professor sekali lagi. "Ya, Pak, semuanya" kata mahasiswa tersebut.

Profesor itu menjawab, "Jika Tuhan menciptakan segalanya, berarti Tuhan menciptakan Kejahatan. Karena kejahatan itu ada, dan menurut prinsip kita bahwa pekerjaan kita menjelaskan siapa kita, jadi kita bisa berasumsi bahwa Tuhan itu adalah kejahatan."

Mahasiswa itu terdiam dan tidak bisa menjawab hipotesis professor tersebut. Profesor itu merasa menang dan menyombongkan diri bahwa sekali lagi dia telah membuktikan kalau agama itu adalah sebuah mitos.

Mahasiswa lain mengangkat tangan dan berkata, "Profesor, boleh saya bertanya sesuatu?"

"Tentu saja," jawab si Profesor

Mahasiswa itu berdiri dan bertanya, "Profesor, apakah dingin itu ada?"

"Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja dingin itu ada. Kamu tidak pernah sakit flu?" Tanya si professor diiringi tawa mahasiswa lainnya.

Mahasiswa itu menjawab, "Kenyataannya, Pak, dingin itu tidak ada. Menurut hukum fisika, yang kita anggap dingin itu adalah ketiadaan panas. Suhu -460F adalah ketiadaan panas sama sekali. Dan semua partikel menjadi diam dan tidak bisa bereaksi pada suhu tersebut. Kita menciptakan kata dingin untuk mendeskripsikan ketiadaan panas.

Mahasiswa itu melanjutkan, "Profesor, apakah gelap itu ada?"

Profesor itu menjawab, "Tentu saja itu ada."

Mahasiswa itu menjawab, "Sekali lagi anda salah, Pak. Gelap itu juga tidak ada. Gelap adalah keadaan dimana tidak ada cahaya. Cahaya bisa kita pelajari, gelap tidak. Kita bisa menggunakan prisma Newton untuk memecahkan cahaya menjadi beberapa warna dan mempelajari berbagai panjang gelombang setiap warna. Tapi Anda tidak bisa mengukur gelap. Seberapa gelap suatu ruangan diukur dengan berapa intensitas cahaya di ruangan tersebut.Kata gelap dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan cahaya."

Akhirnya mahasiswa itu bertanya, "Profesor, apakah kejahatan itu ada?"

Dengan bimbang professor itu menjawab, "Tentu saja, seperti yang telah kukatakan sebelumnya. Kita melihat setiap hari di Koran dan TV. Banyak perkara kriminal dan kekerasan di antara manusia. Perkara-perkara tersebut adalah manifestasi dari kejahatan."

Terhadap pernyataan ini mahasiswa itu menjawab, "Sekali lagi Anda salah, Pak. Kajahatan itu tidak ada. Kejahatan adalah ketiadaan Tuhan. Seperti dingin atau gelap, kejahatan adalah kata yang dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan Tuhan. Tuhan tidak menciptakan kajahatan. Kajahatan adalah hasil dari tidak adanya kasih Tuhan dihati manusia. Seperti dingin yang timbul dari ketiadaan panas dan gelap yang timbul dari ketiadaan cahaya."

Profesor itu terdiam.

Nama mahasiswa itu adalah Albert Einstein.

Menteri, Selebritis, Wartawan, dan Pengamen

Jakarta, 22 Februari 2007

Malam itu, aku, Syifa dan Didot meliput di Cofee Bros Lounge. Ada pertemuan Menteri Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar dan duta lingkungan hidup. Duta lingkungan hidup, jangan bayangkan seperti B. Lynn Pascoe atau Bill Farmer. Duta lingkungan hidup yang ini adalah para selebritis.

***
Bukan keterlibatan selebritis dalam sosialisasi lingkungan hidup yang aku gugat. Kementerian Lingkungan Hidup sudah melakukan cara yang cukup efektif untuk mensosialisaskan perlunya sumur resapan di tiap rumah. Masyarakat memang senang melihat selebritis. Apapun yang mereka katakan, pasti didengarkan. Tidak salah melibatkan selebritis dalam kegiatan memperbaiki lingkungan.

Aku dan Syifa, temanku, mengerjakan rubrik Sosok di koran kami. Maka malam itu, kami bisa panen besar. Banyak sekali selebritis yang bisa dijadikan sosok. Kami mulai membagi tugas. Aku mau mewawancarai Menteri Lingkungan Hidup dan Rieke Dyah Pitaloka. Sedangkan Syifa, ia memilih Rano Karno, Dian Sastro dan Abdee Slank.

Ketika bertemu dengan Pak Menteri Rachmat Witoelar, aku menyampaikan maksudku untuk mewawancarainya. Ia pun menjawab dengan ramah,”Oh, boleh. Tapi setelah acara ini saja ya,” katanya.

Kemudian aku duduk diam-diam dan mendengarkan para duta lingkungan hidup (artis-artis itu) bercuap cuap, bicara mengenai lingkungan hidup. Temanku Syifa, mulai terlihat resah. Ia takut kehilangan buruannya. Dia bertanya padaku,

“Tus, apa gw wawancara si Dian Sastro sekarang aja ya?”
“Terserah, kalo dia mau siy, sekarang aja juga ga papa,” kataku.

Kemudian, Syifa menghampiri Bintang Lux yang emang manis itu.

“Mbak, saya dari Jurnal Nasional. Boleh ngobrol-ngobrol bentar?”

Dian Sastro mengatakan,
“Ntar dulu ya, abis acara ini aja,”

Syifa pun kembali duduk di sebelahku. Kami kembali mengikuti acara. Mendengarkan para duta lingkungan hidup bercuap cuap.

***

Ketika acara selesai, Syifa yang benar-benar tidak mau kehilangan buruannya, kembali menghampiri Dian Sastro.

“Mbak, bisa ngobrol-ngobrol sekarang,”
Aku hanya mengamati Syifa dari jarak sekitar dua meter. Tapi aku masih ingat ekspresi Dian Sastro ketika itu. Dia hampir tidak memandang pada Syifa. Tidak ada pandangan. Tidak ada ekspresi di wajahnya, tapi ia mengatakan,

“Ntar dulu ya, mau pamitan sama Pak Menteri,”

Kemudian si pemeran utama dalam Dunia Tanpa Koma ini berpamitan pada Rachmat Witoelar. Setelah itu? Dia langsung ngeloyor pergi. Tanpa mengucapkan apapun pada Syifa, dan Syifa tidak pernah mewawancarainya.

Aku memperhatikan. Tapi aku diam saja. Kemudian aku dan Didot menghampiri Rieke Dyah Pitaloka, dan kami mewawancarinya selama beberapa menit. Kemudian aku menghampiri Menteri Lingkungan Hidup.

Kami berbicara banyak sekali. Berbicara mengenai musik favoritnya, mengenai sepak bola. Pele. Frank Lampard. Francesc Fabregas. Chelsea. Seal. Bon Jovi. Slank. Brazil. Broery. PSSI.

Kami tergelak-gelak. Dengan malu-malu ia mengakui, bahwa ia pernah pingsan gara-gara kurang istirahat. Bukan karena dia tidak menjaga kesehatan. Bukan. Tapi karena tidak tidur semalaman akibat nonton piala dunia. Orang yang menyenangkan. Menteri yang menyenangkan. Itu sebabnya, mengapa aku lebih suka ngobrol bersama menteri daripada selebritis.

***

Besok malamnya, aku dan pacarku makan di dekat Arion Mall, dekat terminal Rawamangun. Kami makan nasi goreng di kaki lima. Aku makan nasi goreng sea food, dia makan nasi goreng kambing.

Banyak sekali pengamen berseliweran. Yang satu pergi, yang lain datang. Suaranya tidak bisa kunikmati, malah mengganggu selera makan.

Aku tidak melihat pada mereka. Tidak ada pandangan. Aku biarkan mereka bernyanyi sampai bosan, dan kuharap mereka segera pergi. Malam itu, aku dan pacarku tidak punya uang receh.

Tapi, beberapa menit kemudian, pacarku mengeluarkan uang seribuan. Dia memberikannya pada pengamen itu.

“Kalau ngga punya uang receh, ga usah dikasi juga ngga apa-apa,” kataku.
“Ga pa pa lah,” jawabnya.

Tiba-tiba aku ingat. Pandanganku pada pengamen itu, sama seperti yang dilakukan Dian Sastro pada Syifa. Aku tidak suka temanku diperlakukan seperti itu. Tapi aku sudah melakukannya pada pengamen itu. Pay it forward, tapi di tempat yang tidak semestinya.

Aku tidak mau diperlakukan seperti itu. Dian Sastro memang pernah berperan sebagai wartawan dalam Dunia Tanpa Koma. Tapi actingnya jelek sekali, dia sama sekali tidak mendekati wartawan dalam realitas. Dia hanya menjadi wartawan sekali itu saja, tidak pernah benar-benar menjadi wartawan. Karena itu, dia tidak pernah memahami bagaimana menjadi wartawan yang dicuekin narasumber.

Aku pernah sekali saja menjadi pengamen di Dago. Waktu kuliah, mengumpulkan dana untuk kegiatan kampus. Tapi nyanyianku jelek sekali, gayaku juga. Sama sekali tidak mendekati pengamen dalam realitas. Aku hanya menjadi pengamen sekali itu saja, tidak pernah benar-benar menjadi pengamen. Karena itu, aku tidak pernah memahami bagaimana menjadi pengamen yang dicuekin orang lain.

Pandangan itu….
aku ingat. Dan aku tidak mau meneruskannya pada orang lain. Cukup pengamen itu saja. Kita toh sama-sama manusia. Apa bedanya menteri dengan selebritis? selebritis dengan wartawan? Wartawan dengan pengamen? Pengamen dengan menteri?

Cerita Hujan


Air tak berhenti turun dari langit. Beberapa tempat yang lebih rendah dari tempat lainnya, sudah habis tergenang. Beberapa orang yang tempatnya tergenang, sudah beberapa hari tidak bekerja. Di jalan Sabang, genangan sudah mencapai lutut. Tak terkira banyaknya tempat yang sudah dijalari air mencapai mata kaki.

Aku beruntung disini. Tempat tinggalku masih kering-kering saja. Kalau tahun lalu mungkin tidak. Rumahku di Bandung tepat di pinggir kali. Setahun sekali memang sudah jatahnya untuk menerima tamu tak diundang. Air yang nyelonong tanpa permisi. Tapi tidak separah di Jakarta. Tidak, tidak separah Jakarta.

Jika hujan sehari semalam, rumahku di Bandung dimasuki air yang tingginya tak sampai satu senti meter. Itu saja. Tapi itu sudah cukup membuat aku kelabakan menyelamatkan buku-buku, agar tidak rusak. Sayang sekali kalau rusak.

Orang bilang, beberapa hari ini, hujan di Jakarta sudah keterlaluan. Karena sudah dua hari dan dua malam tak berhenti. Tapi bukankah hujan turun karena kehendak Tuhan? Lalu, adakah yang berani mengatakan Tuhan keterlaluan? Tidak, tentu tidak ada yang berani mengatakan demikian, kecuali orang komunis. Tapi hingga kini tidak ada yang mengatakan begitu, apa karena sudah tidak ada orang komunis?

Hujan cepatlah berhenti. Aku tidak suka hujan pagi, karena membuatku malas bangun. Aku tak suka hujan siang, karena membuat mobilku kotor, dan membuat aku sedikit basah. Aku suka hujan malam, karena membuat tidurku nyenyak. Walau tak tahan dengar bunyi petirnya. Hujan, Tidak bisakah…jika kau hanya menjadi milik malam?

Lihat Segalanya Lebih Dekat

Jakarta, 6 Februari 2007

Banjir sudah merendam Jakarta hampir seminggu. Di tv, aku sudah melihat beraneka polah banjir. Dari yang semata kaki, hingga yang seatap rumah. Tapi aku belum pernah melihatnya dengan mata kepala sendiri. Papaku pernah bertanya, “Tussie ngga ngeliput banjir?”

Aku malah bertanya sendiri pada diriku. Banjir? Memangnya aku bisa meliput banjir? Sekarang kan urusan aku Cuma sama celebrity sucks saja. Ngliput banjir Cuma mimpi, pikirku saat itu. Tapi tadi malam, staf dinas penerangan TNI AL menelepon aku. “tus, kamu lagi iseng ngga? Kalo lagi iseng, ikut yuk, nelusirin banjir di kompleks perumahan TNI AL besok,” Tanpa pikir panjang lagi, aku langsung mengiyakan ajakan itu.

Jakarta, 7 Februari 2007

Early morning, I woke up. Waktu masih menunjukkan pukul 06.00 pagi. Dan aku semangat sekali untuk liputan hari ini. Walaupun aku tidak yakin, apakah tulisan ini akan naik cetak atau tidak. Aku tidak peduli. Aku Cuma ingin menjadi saksi sejarah di masa aku hidup.

Kemudian aku mengemasi barang-barang. Aku membawa satu baju ganti, satu celana panjang dan satu celana pendek. Serta sepasang sandal jepit. Pagi itu, aku memakai polo shirt pas di padan berwarna pink. Dan jeans lee cooper favoritku. I’m ready to go!

Aku menelusuri jalan pemuda, rawamangun. Tentu saja bersama di tam-tam, pacar pertamaku yang paling setia (tam-tam=sebuah mobil hyondai atoz berwarna hitam. Dia manis sekali, dia pacar pertamaku. Pacar manusiaku selalu jadi pacar nomor dua).

Jalan pemuda awalnya siy aman-aman saja. Tapi begitu sampai di perempatan pramuka-pemuda, jalanan sudah mulai seperti tahi kucing. Benar-benar sontoloyo menyebalkan. Ternyata itu belum seberapa. Ketika aku hanya tinggal 5 meter menuju pintu tul pulomas yang akan kunaiki, jalanan berubah menjadi tahi monyet. Sialan betul, lampu lalu lintas mati di jalanan paling sibuk seantero dunia itu ternyata mampus.

Jadilah aku hampir setengah jam berjibaku melawan bajaj, motor, metro mini, mikrolet, dan mobil-mobil pribadi lain yang semuanya seperti hewan buas yang ingin menerkam satu sama lain. Tuhan, apa bedanya Jakarta dan hutan rimba?

Setelah berhasil menahan emosi untuk tidak mengeluarkan ucapan sampah, ak dan tam-tam berhasil melewati perempatan setan itu. We did it, tam-tam! Horeeee!!! Lalu kami (aku dan tam-tam) mulai menaiki tol lingkar luar Jakarta dan kami berhasil menghampiri pintu tol sunter, tempat aku dijemput oleh petugas TNI AL.

Tam-tam yang manis aku tinggalkan di pinggir tol. APA? PINGGIR TOL? Sepanjang hidupnya, tam-tam tak pernah sekalipun aku tinggalkan di jalan tol. Aku tahu, tam-tam pasti rasanya ingin menangis. Aku juga rasanya tidak tega meninggalkan dia di tempat seperti itu. Tapi mau bagaimana lagi? Tam-tam tak mungkin aku tinggalkan di luar tol, karena kondisi jalanan di luar tol sudah seperti sungai berwarna kecokelatan menjijikkan.

Lalu aku mencopoti tape yang ada di dash board tam-tam. Aku simpan baik-baik. Tak lupa kunci rahasia tam-tam aku nyalakan. Tuhan, tolong jaga dan lindungi tam-tam. Tam-tam anak yang baik, dia tidak pernah rewel. Tolong lindungi tam-tam, Tuhan. Begitu doaku sebelum meninggalkannya.



perumahan ga bisa diakses jalan kaki, apalagi naik mobil. kita harus naik perahu karet. warga ngungsi ke kelurahan. sebagian lagi ke mesjid, ada juga yg ngungsi ke Hypermart Kelapa Gading.

yang paling sedih, ngeliat yang ngungsi ke kantor kelurahan Kelapa Gading Barat. waktu kita masuk, bau busuk udah tercium. gw ga tau pasti, itu bau apa. sebagai gambaran, bau itu seperti campuran antara tahi dan muntah.

lalu kami naik ke lantai dua. di tangga menuju lantai dua, ada seorang ibu. gw ga tau siapa namanya, tapi orang-orang memanggilnya ibu gendut. karena memang badannya gendut. ia cuma berdua bersama suaminya. mereka berdua sudah renta. umurnya mungkin sekitar 60 tahun.

tidak terlihat sanak saudara yang menemani mereka berdua. ibu gendut menangis, katanya kakinya sakit asam urat. dan mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Slamet Soebijanto yang baik hati memandangnya dengan nelangsa.

"Guritno, mana Guritno?" kata KSAL setengah berteriak. Laksamana Pertama Guritno, Kepala Dinas Kesehatan TNI AL segera datang dengan tergopoh-gopoh. Lalu KSAL melanjutkan,"Ibu ini sakit, ayo segera evakuasi ke Cilandak (Rumah Sakit TNI AL Cilandak)."

Ibu Gendut diam saja. Suaminya juga diam. Entah apa yang mereka pikirkan. Tapi menurut pendapat gw, mungkin mereka memikirkan masalah biaya yang akan ditanggung.

Tapi kemudian KSAL yang ramah dan baik hati mengatakan, "Nanti Ibu dibawa pake ambulan ya. Jangan kuatir biayanya, nanti tidak usah bayar," katanya. Barulah ibu Gendut dan suaminya mengangguk setuju.

Kemudian kami naik ke lantai 2. Disini ada dua orang nenek dan seorang kakek. Ketiganya kurus-kurus. Si kakek cuma bisa tidur terlentang. tidak bisa berbuat apa-apa. Entah dia sakit apa? tapi yang pasti, tubuhnya sudah lumpuh. Sementara seorang nenek, yang merupakan isterinya, cuma bisa duduk di sebelahnya.

Seperti halnya Ibu Gendut, KSAL juga menawarkan sang kakek untuk dibawa ke rumah sakit. Tapi berbeda dengan ibu Gendut, kakek yang tergeletak ini menolak dibawa ke rumah sakit. Demikian juga isterinya.

"Dia baru saja keluar dari rumah sakit, terus rumah kami kebanjiran. Dia sudah tidak mau ke rumah sakit," kata si nenek. Sedangkan si kakek cuma terdiam sambil mengangguk. Ia tidak mengucapkan sepatah kata pun. Mungkin karena dia tidak bisa berbicara lagi, atau entah karena sudah malas berbicara.

"Ayo bu, bapak harus ke rumah sakit. Jangan dipikirkan biayanya, tidak usah bayar," kata isteri KSAL membujuk. Namun si nenek tetap pada pendiriannya, "Kami sudah membeli banyak obat, ini obatnya," ujarnya sambil mengeluarkan obat dari bungkusan.

Obat yang dikatakannya banyak itu, ternyata cuma beberapa butir. Tapi ia tetap tidak mau beranjak dari tempat pengungsian.

Itu cuma sedikit dari cerita gw, mungkin yang laen pernah ngeliput yang lebih sedih lagi. Tapi menurut gw, ngga semuanya bisa tetep seneng dalam kondisi banjir. Melihat dari TV atau cerita orang, mungkin emang sedih. tapi melihat langsung di lapangan, kita jauh lebih bisa ngerasain apa yang mereka rasain. Karena itu, gw pengen jadi wartawan. Jadi inget lagu Sherina waktu dia masih imut-imut, "LIHAT SEGALANYA LEBIH DEKAT, DAN KAU AKAN MENGERTI,"

jadi kalo belum bisa mengerti, mungkin lo melihat kurang dekat hehehhehe...