Friday, June 22, 2007

Roketku Meluncur Sampai Jauh


Lima buah roket berwarna biru tua tertancap di lapangan rumput luas. Berat roket itu hanya 4,5 kilo gram. Panjangnya hanya satu meter lebih sedikit. Roket-roket mini ini tengah menunggu diluncurkan.

Tak lama kemudian, dua orang remaja lelaki dan seorang lelaki dewasa berlarian menghampiri roket itu. Kedua remaja lelaki itu berpakaian seragam SMA, dan lelaki dewasa itu mengenakan baju dan celana putih berlogo Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN).

Dengan cekatan, mereka memeriksa kesiapan roket untuk meluncur. Tahap pertama, dua roket dulu yang akan dibumbungkan ke langit. Setelah dirasa siap, mereka berlari kecil menjauh. Di jarak sekitar lima meter dari roket, dua orang remaja puteri, yang juga berseragam SMU siap menekan tombol.

Kemudian, sirine dibunyikan, dan tombol ditekan. Wuzzz!!! Kedua roket meluncur membelah lagit. Asapnya disisakan di darat untuk penonton. Sedangkan payload yang berada di ujungnya menyemburkan parasut mini. Parasut berwarna oranye cerah itu perlahan-lahan menyentuh tanah.

Hadirin bertepuk riuh. Tapi belum puas, karena masih ada tiga roket lagi yang menunggu giliran untuk diluncurkan. Maka kedua remaja lelaki berseragam SMA tadi, kembali mempersiapkan ketiga roket yang tersisa. Mereka masih dibimbing oleh pria dewasa yang sama.

Ketika sedang serius menyiapkan roket ketiga, tiba-tiba…dorrr!!! Terdengar bunyi menggelegar. Serta merta ketiga orang ini tiarap sambil memegang kepala. Roket yang satu ini ternyata sedikit ‘nakal’. Ia telah meledak sebelum diinstruksikan. Sesaat hadirin yang menyaksikan terdiam.

Namun, ketika melihat mereka kemudian bangun dan cengengesan, para hadirin pun tertawa. “Mungkin roketnya grogi karena dilihat Kepala LAPAN dan Kepala Staf Angkatan Laut,” kata pemandu acara.

Sisa roket yang masih ada, kemudian diluncurkan. Namun sayang, perjalanan terbangnya kali ini tidak seindah yang pertama. Alih-alih menusuk angkasa dengan kecepatan tinggi, ia malah terbang ndut-ndutan. Asap yang ditinggalkan di darat pun cukup banyak dan baunya menusuk hidung. Tapi ini malah menjadi tontonan yang mengasyikkan. Para penonton pun tertawa melihat polah si roket mini.

Itulah aksi dari pelajar SMA yang juga bisa membuat roket mini. Roket ini, dinamakan Roket Dextrose seri RDX-70. Nama bekennya adalah roket gula, karena memang bahan bakarnya adalah gula.

Atraksi peluncuran roket ini, dilakukan di Pameungpeuk, Garut, Selasa (19/6) lalu. Dalam acara yang sama, LAPAN meluncurkan roket buatan sendiri yang diharapkan menjadi cikal bakal kemandirian industri pertahanan dalam negeri. Kepala LAPAN Adi Sadewo Salatun dan Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana Slamet Soebijanto turut menyaksikan para calon ilmuan Indonesia ini meluncurkan roket buatan mereka.

LAPAN dan Pusat Peragaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (PPIPTEK) selama tiga bulan terakhir, memang mengajarkan beberapa siswa SMA untuk membuat roket. Siswa-siswa yang diajarkan adalah siswa SMA di sekitar lingkungan LAPAN di Rumpin, Bogor.

Ide pengajaran roket untuk siswa SMA ini, menurut Koordinator Sosialisasi Roket Dextrose Atik Bintoro, muncul karena siswa kelas 2 SMA telah diajarkan teori roket dalam pelajaran fisika. “Kalau hanya belajar teori kan tidak seru. Tapi kalau langsung dipraktikkan, akan menarik untuk siswa,” katanya.

Namun demikian, menurut Atik, tidak semua materi pembuatan roket diberikan pada siswa SMA. “Kalau semua diberikan, kami takut malah digunakan untuk hal yang lain. Misalkan untuk tawuran,” katanya.

Untuk pengetahuan bahan bakar, hanya garis besarnya yang diberikan pada siswa SMU. Sedangkan untuk hitung-hitungan rumus fisika dan kimia pada roket, diajarkan pada mereka. “Siswa juga bisa mengkreasikan campuran bahan bakar. Tidak harus gula. Mereka juga bisa menghitung dan mengkreasikan tabung dan sirip roket,” ujar Atik.

Ia melanjutkan, hal ini dapat merangsang kreativitas siswa. Karena mereka bisa mengisi bahan bakar sesuai kreasi. “Payload roket bisa diisi macam-macam. Sirip roket juga bisa dikreasikan bermacam bentuk,” tambahnya.

Selain untuk siswa SMA, pendidikan roket juga telah diberikan pada siswa SMP. Menurut Atik, bagi siswa SMP diberikan pendidikan membuat roket air. Pada dasarnya, cara kerja roket gula sama dengan roket air. Namun seperti namanya, roket air menggunakan bahan bakar air.

Untuk satu roket gula, menurut Atik bisa menghabiskan biaya sebesar Rp 150 ribu – Rp 200 ribu. Meskipun cukup mahal, namun pengetahuan ini layak dicoba bagi siswa. Apalagi saat ini kurikulum Departemen Pendidikan Nasional adalah kurikulum berbasis kompetensi. Kurikulum ini mengutamakan kemampuan siswa, yang sejalan dengan pola belajar membuat roket.

Setelah teori membuat roket dipelajari, layaknya juga praktik membuat roket dilakukan. Dua puluh tahun mendatang, niscaya Indonesia akan kaya dengan ilmuan-ilmuan yang siap mendukung industri pertahanan dalam negeri. Semoga!

Monday, June 11, 2007

Tutup Mulut


Malam sudah tiba. Sekarang aku tinggal sendiri saja. Tinggal jemari yang lincah menekan tuts computer. Aku dulu bisa bermain piano. Chopin, Beyer, Heller, tapi tidak Beethoven…partiturnya terlalu sulit bagi jemari kecilku saat itu.

Karena tak pernah latihan, sudah kaku sekarang jemariku. Piano adalah alat musik yang dibelikan ayahku, karena aku merengek-rengek. Tapi aku sekarang sudah bosan dengan piano klasik itu. Buku partitur itu biarkan saja lapuk di bawah kursi piano. Bahkan pemanas kayu agar pianoku tidak lembab, ternyata sudah patah. Sudah tidak bisa digunakan lagi.

Kini, aku sudah punya alat musik baru. Keyboard computer tempat jemariku menari. Dunia adalah partiturnya. Laguku tidak hanya mengalun di rumahku. Bukan hanya ayah dan ibuku saja penikmatnya. Kini laguku bisa didengarkan banyak orang.

Ada sebuah lagu sunyi yang kumainkan lamat-lamat. Sssttt…lagu ini tidak untuk didengar banyak orang. Sebuah Serenade de Schubert, seperti lagu yang sering kau dengarkan dalam kotak musik. Hanya terdengar bila kotaknya dibuka. Dan tidak banyak yang bisa mendengar, paling-paling hanya didengar si pembuka kotak dan orang-orang dekatnya.

Namun ada yang meminjam kotak musikku. Dia membukanya. Aku tidak keberatan bila ia hanya membuka dan mendengarkan musiknya diam-diam. Tapi yang ia lakukan adalah menyodorkan microfon pada kotak musik mungil itu. Sehingga banyak orang yang bisa mendengarnya, termasuk orang yang tak kuinginkan untuk mendengar lagu itu.

Kini lagu itu tak lagi indah. Terlalu besar, sember dan cempreng. Karena emang lagu itu tidak dibuat untuk diperdengarkan sekeras itu. Itu adalah lagu sunyi. Yang hanya indah bila sayup-sayup terdengar.

Tapi apa dayaku? Semua orang boleh mendengarkan lagu indah dari Schubert, salah satu composer besar sepanjang sejarah. Aku tak punya hak untuk menyimpannya sendiri. Bila tak mau dicuri, lebih baik aku tidak punya kotak musik.

Apa tidak boleh memiliki kotak kecil, yang menyanyikan Serenade de Schubert pelan-pelan saja? Aku ingin sunyi. Aku ingin mendengarkannya bersama teman-temanku saja. Kemudian kami mencaci atau memuji lagu itu. Terserah kau! Kau boleh mencacinya. Tapi hanya padaku…tidak usahlah microfon itu.