Wednesday, October 29, 2008

Tia, Krisdayanti Membohongimu

Malam itu Senin, 27 Oktober 2008. Geng sedang berkumpul di tempat biasa, seafood Ayu Kelapa Gading. Tempat kami merayakan sesuatu, makan seafood sepuasnya dengan harga murah…plus…tentunya kabar-kabar dan gosip terbaru.

Tia adalah salah seorang temanku. Di antara kami, aku pikir dia adalah yang paling peduli dengan penampilan. Dia merasa gendut, padahal menurutku dia tidak terlalu gendut. Dia pernah mencoba berbagai macam cara untuk mengurangi bobotnya. Misalkan dengan suntik kurus, seperti yang disarankan salah satu teman kami Kiki. Kiki adalah beauty advisor-nya Tia. Sebenarnya ini lucu. Tia seringkali mengikuti saran Kiki tentang bagaimana cara menguruskan badan. Padahal sebenarnya Kiki jauh lebih gendut daripada Tia.

Lalu Tia juga pernah jadi member tetap di salah satu pusat kebugaran. Kabarnya, harga member itu lumayan bikin tipis dompet. Tapi dia rela demi menguruskan badan. Belum lagi berbagai perawatan muka dan kulit. Komplit deh pokoknya.

Lalu malam itu, salah satu yang kami bicarakan adalah Krisdayanti. Suatu hari, Tia mewawancarai Kridayanti. Dia bertaya pada KD,

“Mbak, kok rambutnya bagus sekali. Rahasianya apa?”

“Oh, saya ngga pake apa-apa lho. Cuma pakai Sunsilk hitam,” kata KD.

Saya serta merta menyahut.

“Ah, mana mungkin. Itu kan karena dia bintang iklannya Sunsilk aja,”

Dengan semangat ’45, Tia mengamini perkataan saya.

“Iya tuh. Tadinya gw percaya. Terus gw baca majalah Femina. Di Femina dia bilang, dia tuh sering pake serum buat rambut. Satu kali serum harganya Rp 6 juta!”

Lalu Tia bercerita, Krisdayanti juga mengatakan padanya tentang satu lagi rahasia rambut indah. Kata Mbak KD, keramaslah sebelum tidur. Dan Tia mempercayai bulat-bulat “rahasia” itu.

Suatu malam sebelum tidur, Tia mencuci rambutnya. Dalam keadaan rambut yang basah, dia lalu pergi tidur. Keesokan paginya, rambut Tia lepek bukan buatan.

“Krisdayanti bohong!,” pekik Tia.

Dengan santai, Okky berkata,

“Tia, kita dari kecil juga udah tau. Kan itu pengetahuan umum. Jangan tidur dengan rambut basah. Yang ada rambut lo jadi bau,” katanya.

“Iya,” kata Tia. “Tapi tadinya gw pikir, itu Kridayanti gitu loh. Mana mungkin Krisdayanti boongin gw?”

But the fact is, she’s lie to you, hunny.

Meta lalu bersuara.

“Dia itu artis, Tia. Apapun yang ada di diri dia itu fake, palsu!”

Well, saya juga pernah bertemu langsung dengan Krisdayanti. Waktu itu sedang ada acara Ibu Negara di Istana Negara. Krisdayanti ditugaskan untuk bernyanyi dalam acara itu. Hari itu, saya juga terpukau. Mungkin juga seperti Tia ketika dia mewawancarai Kridayanti.

Krisdayanti hari itu cantik sekali menurut saya. Dia tidak berdandan berlebihan seperti biasanya. Dia hanya memakai baju batik dan rok hitam selutut. Kulitnya putih mulus, matanya berbinar, hidungnya mancung, bibirnya mungil. Dan yang paling berkilau adalah rambutnya.

Rambutnya dibiarkan menjuntai hingga ke punggung. Warnanya hitam berkilau. Walaupun saya tidak menyentuh rambutnya, tapi saya yakin, rambutnya pasti sehalus sutera. Tapi masalahnya, saya tidak tahu, apakah itu rambut asli atau rambut palsu.

Uhhhmm saya jadi ingat tentang sesuatu. Saya pernah menonton Oprah Winfrey Show. Oprah menunjukkan edisi terbaru majalah “O”. Di majalah itu, Oprah terlihat sungguh manis dengan rambut yang melambai-lambai ditiup angin dan wajah berseri-seri. Oprah lalu berkata,

“Jangan pikir saya bangun dengan wajah seperti ini. Sebenarnya, saya sudah menghabiskan waktu selama dua jam untuk sesi pemotretan ini. Lalu ada dua kipas angin besar yang membuat rambut saya terus melambai.”

Sepertinya hukum “Jangan Selalu Percaya Pada Mata Anda” itu memang benar. Saya baru beberapa bulan bekerja di salah satu stasiun televisi swasta. Ada seorang presenter lelaki yang guanteng sekali di televisi. Sebelum kerja di sini, saya mabuk kepayang kalau melihat dia siaran. Matanya, alisnya, ah…sungguh lelaki impian…

Tapi ketika saya melihatnya langsung sedang memakai seragam, lalu makan di kantin. Oh my Gosh! He just like a boy next door neighbor..biasa banget. Dia seperti wajah-wajah orang Indonesia kebanyakan. Kalau kamu bertemu dia di pinggir jalan, kamu tidak akan berpikir untuk melihatnya berlama-lama.

Well, that’s the power of make up. Tidak ada orang yang bangun tidur udah terlihat begitu cantik atau ganteng. Media massa sudah begitu sukses membuat semua terlihat berkilau dan menawan. Lalu manusia-manusia lugu di luar sana berusaha setengah mati untuk berusaha tampil secantik mereka.

Krisdayanti berdandan selama berjam-jam untuk bisa terlihat sesempurna itu. Begitu juga dengan presenter-presenter di televisi. Lighting, tata kamera, make up yang sempurna telah membuat semua tampak indah. Tapi itu semua palsu.

Tia, Krisdayanti membohongimu. Jadi tidak usahlah seperti Krisdayanti.

Tuesday, June 10, 2008

Taman Bermain



Tahukah kamu? Aku hidup dalam sebuah taman bermain. Tempat berkumpulnya para bocah. Apa yang kamu sukai, semua ada di sini. Ada permainan jungkat jungkit, ada ayunan, seluncuran, komidi putar dan tiang-tiang panjatan. Silakan pilih yang kamu suka.

Aku senang sekali bermain di sini. Aku suka berayun ke setingginya, kemudian memanjat tali dan tiang-tiang. Aku dan beberapa bocah senang berlomba-lomba mencapai puncak tiang. Tapi ketika berada di puncaknya, ada bocah-bocah lain yang meneriakiku. Katanya aku tidak boleh berada di atas selamanya.

Karena itu, aku turun dengan gontai. Lalu aku mencari mainan lain. Ah, bukankah aku juga suka berayun setingginya di ayunan. Aku mengayuh ayunan sekuat tenaga. Aku bisa terbang tinggi...tinggi...tinggi sekali. Ketika memejamkan mata, aku merasa bisa menyentuh awan dengan jemari.

Ketika sedang asik bercumbu dengan awan, aku tersentak. Para bocah yang ada di bumi berteriak dan memberengut. Katanya, aku harus berhenti. Karena ini adalah taman bermain. Aku harus mau bergantian memakai ayunan. Aku tidak boleh memakainya seorang diri.

Aku pun menurut seraya turun dari ayunan. Aku kemudian mencoba jungkat jungkit. Memang menyenangkan ketika badanku terlontar ke udara. Tapi aku tidak suka ketika menerima kenyataan, bocah-bocah yang berada di papan jungkit seberang semakin berat. Mereka ramai-ramai mengeroyoki dan membebani papan jungkat jungkit. Sedangkan aku hanya sendirian dan harus melontarkan mereka dengan hentakan kaki-kaki mungilku. Aku sudah tidak kuat mengayuh.

Aku meninggalkan jungkat jungkit dan berlari kecil ke papan seluncuran. Kaki mungilku terengah menapaki tangga. Melesat di papan ini tampak menyenangkan. Tapi ternyata, aku terjun semakin jauh dan dalam, terperosok, tersungkur, terpuruk dan terperangkap di perut bumi. Napasku tersengal dalam lubang besar, hitam, menganga, yang sudah menelanku bulat-bulat. Tapi aku bisa tetap berdiri...tertatih keluar dari perangkap dengan bersimbah air mata.

Akhirnya aku memutuskan untuk duduk sendiri di pojok taman. Aku memperhatikan setiap kelakuan anak-anak. Ada seorang anak lelaki, yang terlahir hanya untuk menyalahkan teman-temannya. Dia selalu merasa paling benar. Dia merajuk bila bocah lain tak menuruti keinginannya. Dia mengumpat, menyumpah dan mengata-ngatai.

Lalu ada juga seorang anak lain. Ia berlaku bagai mandor bagi bocah lain. Ia memang bercita-cita menjadi polisi jika besar nanti. Tapi saat ini, jadi mandor kecil sudah cukuplah baginya. Semua anak dia paksa untuk bisa memanjat setinggi-tingginya. Semua anak harus berlari tanpa henti. Ia tidak menghiraukan jeritan-jeritan melengking yang memilukan. Baginya, kenikmatan untuk bisa selalu dihormati adalah sesuatu yang tak ternilai.

Ada juga anak perempuan yang suka menjahili teman-temannya. Dia sering melempar kerikil ke kepala bocah lain. Bocah-bocah yang kepalanya terluka akibat lemparan ini menangis. Mereka menyalahkan anak perempuan itu. Kalau sudah terjepit begini, si bocah perempuan pasti dengan lihai menyembunyikan kedua belah tangannya yang menggenggam penuh kerikil. Lalu dengan ringan, dia akan berkata, “Bukan aku yang melempar.”

Ada juga dua bocah yang selalu bertengkar. Mereka memperebutkan permen loli besar yang sangat manis. Permen loli itu bulat dan melingkar-lingkar. Warnanya merah, putih dan hijau. Melihatnya saja sudah membuat liur anak-anak menetes. Permen loli adalah nyawa bagi keduanya. Karena itu, apapun akan dilakukan demi mendapatkan permen loli terlezat.

Selain itu, ada juga gerombolan anak yang paling suka mencaci. Menertawakan bocah yang terperosok ketika mencoba memanjat tiang. Menyeringai ketika ada kanak-kanak yang kepalanya luka terkena kerikil. Bagi kelompok bocah ini, tangisan dan rengekan anak-anak adalah alunan musik yang merdu.

Dan yang tak kalah menyebalkan, ada juga barisan anak-anak pemalas. Mereka tidak mau melakukan apapun. Namun demikian, mereka merasa paling banyak berbuat bagi taman bermain. Mereka sudah merasa berjasa. Dan mereka akan ngambek jika ada yang mengganggu kedamaian mereka.

Aku mendengus. Sudah tidak ada apapun yang bisa dilakukan. Taman bermain ini sudah tampak asing. Sudah tidak menyenangkan lagi, sekeras apapun aku berusaha.

Sekeras apapun aku berusaha, tidak ada yang akan terjadi. Aku menunggu dengan berjuta utopia yang sudah menari-nari di kepala. Tapi ia tidak pernah menghampiriku. Air mata berkumpul di pelupuk mata ketika impian terlihat semakin samar dan jauh. Rasa bagai teriris menggerogoti, ketika menyadari yang dikejar dan ditunggu ternyata tak lebih dari hembusan angin kosong.

Anak-anak yang sudah beranjak dewasa kebanyakan telah memutuskan untuk keluar. Mereka angkat kaki dengan banyak alasan. Tapi aku tahu alasan sebenarnya. Karena mereka sudah tidak tahan akan mental kekanak-kanakan ini.

Semak belukar sudah rimbun menusuk kaki kami dengan onaknya. Jeritan kesakitan terdengar setiap hari. Aku sudah membaca, dan waktu semakin mengejar. Dia menarikku dan tidak mau menunggu.

Aku ingin menjadi orang dewasa yang tidak kehilangan kegembiraan menjadi kanak-kanak. Tapi aku tidak ingin menjadi kanak-kanak yang terjebak dalam tubuh orang dewasa.

Taman bermain ini yang mengantarkan aku menjadi dewasa. Bukankah menerima kehidupan berarti menerima kenyataan bahwa tak ada hal sekecil apapun yang terjadi karena kebetulan?

Hidup di taman bermain ini, bukanlah kebetulan. Semua hal kecil yang kuanggap kesedihan, musibah dan cobaan, adalah potongan-potongan puzzle yang akan membentuk kedewasaan secara utuh. Dan ketika kedewasaan sudah utuh, aku akan mendapatkan satu impian yang tersisa : AKU TIDAK AKAN SEPERTI MEREKA.

***

Aku berjalan sendiri...

Menuju komidi putar yang menyilaukan. Lampu-lampunya memekakkan mata, membutakan telinga. Lonjakan adrenalin memaksa untuk menuju ke sana. Ada banyak kuda berwarna-warni. Hitam, cokelat dan putih. Dikepala mereka berkerlip cahaya, ekornya berkibas kaku. Persis seperti impian masa kecilku.

Aku memilih si kuda putih. Di atas kepalanya ada tanduk melingkar. Di punggungnnya terlipat rapi sayap yang lebar. Dia adalah unicorn. Kusentuh surai lembutnya, kututup mataku. Ah...rasanya persis seperti dalam mimpi. Lalu aku menginjak sadelnya, dan naik ke atas pelana.

Musik mengalun, Serenade de Schubert, lagu pengantar tidur ketika kanak-kanak dulu. Lampu mengerjap kembali. Bintang-bintang bertaburan mengoyak kegelapan malam.

Sang unicorn membawaku berputar. Semakin kencang dan cepat. Dunia berputar dan kepalaku pusing. Aku menutup mata. Unicorn membawaku terbang jauh sekali dari taman bermain. Aku pergi menuju impian baru.

Tuesday, May 13, 2008

Duh, Bang Foke


Senin, 05 Mei 2008 20:18 WIB, Media Indonesia

Tarif Parkir di Jakarta Kurang Mahal

Reporter : Bagus BT Saragih

JAKARTA--MI: Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo menilai, parkir adalah salah satu instrumen yang tidak terpisah dengan sistem transportasi. Karena itu, supaya membantu mengatasi kemacetan, tarif parkir harus mahal.

Hal itu dikemukakan Foke, panggilan Fauzi, di Balai Kota, Senin (5/5). Menurut mantan Kepala Dinas Pariwisata DKI itu, tarif parkir, khususnya on-street (tepi jalan), harus dibedakan berdasarkan lokasinya. Tarif parkir di lokasi yang lalu lintasnya padat harus lebih mahal.

Untuk itu, Pemprov DKI sudah memisahkan kawasan-kawasan berdasarkan kepadatan lalu lintasnya menggunakan sistem rayon.

"Rayonisasi kawasan parkir kan sudah dilakukan, hanya saja sistem traif progresifnya belum diterapkan. Di tempat-tempat yang mengganggu kelancaran lalu lintas, biaya parkir harus dibuat lebih mahal," beber Fauzi.

Di jalur-jalur yang dilalui koridor busway misalnya, harus dilakukan pengendalian parkir yang ketat. Kalaupun ada lokasi yang diperbolehkan untuk parkir, tarifnya harus lebih mahal dibandingkan lokasi lain.

Penerapan sistem tarif parkir yang progresif, kata dia, wajib dilakukan. "Tarif parkir harus mahal, sebab parkir itu bagian dari instrumen pengendalian lalu lintas," tandasnya.

Fauzi mencontohkan tarif parkir di jalan-jalan utama di Singapura. "Di sana, di Orchard Road, 3 jam saja sudah 7 sampai 10 dolar (Singapura)," katanya.

Selain itu, dengan tarif parkir yang tinggi, pihak swasta akan tertarik untuk menanamkan modalnya di sektor perparkiran. "Kalau tidak menguntungkan, swasta mana mau bikin gedung parkir," ujar Fauzi.

Bila pemilik kendaraan keberatan dengan tarif mahal, lanjutnya, lebih baik meninggalkan mobilnya di rumah. "Silahkan naik busway." (BT/OL-03)

***

Ketika pertama kali membaca berita ini, entah kenapa. Rasanya perut mual, pengen muntah. Pikiran saya lalu berkelana ke pengalaman berkendara umum di Jakarta.

Suatu hari, matahari sudah merangkak turun dari singgasananya. Mungkin ada ratusan orang berjajal tumplek di halte busway Dukuh Atas. Saya berkeluh dalam hati, ”Duh, salah memilih jam untuk pulang. Ini kan jamnya orang kantoran pulang.” Tapi karena badan sudah terperangkap dalam lautan manusia, tidak ada tempat untuk kembali lagi. Saya lalu pasrahkan badan ini tergenjencet badan-badan lain, hidung ini dijejali beraneka bau dari tubuh-tubuh berkeringat.

Sejauh mata memandang cuma ada kepala dan kepala. Saya bahkan tidak bisa melihat, apakah busway pelipur lara sudah tiba atau belum. Saya hanya mengandalkan indera pendengaran saja. Ketika ada suara mendesis yang kian mendekat, berarti ada harapan baru. Mungkin saja saya bisa meletakkan pantat ini di salah satu kursinya.

Sekitar 45 menit kemudian, akhirnya saya bisa masuk ke perut kendaraan besar itu. AC-nya cukup, tidak membuat saya kegerahan. Dan sayangnya, tidak ada sebuah kursi pun untuk meletakkan pantat. Cukuplah sudah penderitaan. 45 menit sudah terbuang dan tidak bisa kembali lagi. Badan sudah capek. Hampir dipastikan saya akan terus berdiri dari Dukuh Atas sampai ke halte Layur, tempat pemberhentian saya.

Tidak perlu disesali lagi. Salah sendiri, kenapa memilih busway untuk berkendara?

Dalam keadaan bergelantungan, saya kembali merelakan badan semakin digencet-gencet. Ada pria yang sejak awal naik sudah melihat pada saya terus. Lalu dia menggeser posisinya, lalu dia memegang gantungan untuk pegangan tangan yang sama dengan yang saya pegang. Saya sangat tidak nyaman dengan posisi ini. Ketika saya menoleh ke kiri, muka dia hanya sekitar 5 centimeter dari wajah saya. Badannya sudah menempel pada badan saya, juga tangannya. Saya tidak nyaman dengan posisi ini. Saya lalu membayangkan, sudah berapa banyak perempuan yang mengalami pelecehan seksual ketika ada di dalam busway?

Dengan gerakan perlahan, saya berpindah posisi, lebih nyaman berdempetan dengan perempuan lain. Bukannya saya sudah berganti haluan menjadi lines. Tapi saat ini tidak ada pilihan lain. Mau berdempetan dengan perempuan atau laki-laki? Saya pilih dengan sesama perempuan saja.

Sekira 10 menit berdesak-desakan, indera pendengaran saya mendengan suara ”Puff!”. Dan sepersekian detik kemudian, hidung saya mengendus bau yang luar biasa noraknya. Saya sempat berpikir, siapa yang memakai parfum dengan bau begitu menusuk. Indera penciuman saya sama sekali tidak menikmati bau itu. Dan ternyata bukan cuma saya yang merasakannya. Hampir semua penumpang kemudian menutup hidungnya.

Mata saya lalu menyapu ke semua isi busway, dari mana bau tidak menyenangkan ini berasal. Akhirnya saya menemukan jawabannya. Ternyata penyemprot otomatis yang ada di depan dan belakang busway adalah biang keroknya. Mungkin maksud penyelenggara itu baik, ingin mengusir bau-bau tubuh kami yang berkeringat ini dari kendaraan kebanggaannya. Tapi ternyata aroma yang mereka gunakan untuk untuk mengusir bau ini tidak lebih baik dari bau badan kami sendiri.

Lalu, saya juga tentu paham dengan pengalaman berkendara pribadi di Jakarta. Akhir-akhir ini, setiap kali selesai menyetir, saya merasa pegal tiada taranya. Seolah saya penderita varises yang kakinya diganduli barbel dengan berat 5 kilogram. Ketika sampai di kantor, saya luruskan kaki dan menaikkannya sedikit lebih tinggi. Katanya begitu yang harus dilakukan kalau sedang pegal.

Sadar ngga sih? Jalanan di jakarta jauh lebih macet akhir-akhir ini? Terutama sejak sebagian jalan difungsikan sebagai jalur busway. Naik busway ternyata juga bukan pilihan nyaman.

Saya sebenarnya ingin bertanya pada Bang Foke. Apakah Bang Foke pernah naik busway? Yang saya maksud dengan naik busway adalah, yah naik sesungguhnya untuk bertransportasi. Bukan hanya naik busway ketika ada peluncuran busway koridor baru.

Pertanyaan kedua, apakah Bang Foke pernah nyetir mobilnya sendiri? Apa dia pernah merasakan sensasi menyetir di Jakarta? Apa dia pernah merasakan dikelilingi oleh sepeda motor yang sudah menyerupai kecebong di kolam kala musim hujan? Apa dia pernah hampir celaka karena ada metro mini, kopaja atau mayasari bhakti yang tiba-tiba berhenti di tengah jalan? Apa dia pernah kejeblos lubang yang makin banyak menganga di jalanan?

Otak saya semakin setuju, bahwa peraturan dibuat untuk orang lain, bukan untuk orang yang membuat peraturan. Ketika Bang Foke berkata,

Bila pemilik kendaraan keberatan dengan tarif mahal, lebih baik meninggalkan mobilnya di rumah. "Silahkan naik busway."

Dia sesungguhnya berkata untuk orang lain, bukan untuk dirinya sendiri. Dia menyuruh rakyat yang memilihnya untuk naik busway, tapi dirinya sendiri TIDAK MAU NAIK BUSWAY. Duh Bang Foke, tau ngga sih? Naik busway atau kendaraan pribadi di Jakarta itu sama-sama tidak nyaman. Kecuali kalau Anda naik kendaraan mewah dengan supir pribadi, dan ada voorrijder yang siap membuka jalan, ITU BARU NYAMAN!

Di Singapore boleh-boleh aja pemerintahnya menetapkan tarif parkir yang tinggi. Wong disana ada Mass Rapid Transit (MRT) dan ada bus yang nyaman. Tapi di Jakarta? Haruskah kami membayar tarif parkir mahal, tapi tidak ada fasilitas yang memuaskan. Bahkan pengelola lahan parkir tidak mau bertanggung jawab jika ada kehilangan selama mobil diparkir.

Bang Foke, mungkin Anda perlu belajar bagaimana harusnya ber-Komunikasi Massa yang baik. Itu penting lho, buat modal politik Anda. Pantaskah seorang pemimpin berkata seperti itu? Mana EMPATINYA? Kalau belum bisa menyediakan transportasi nyaman buat kami, minimal Anda bisa menunjukkan sedikit EMPATI.

Tuesday, January 01, 2008

Pilih Sendiri Petualanganmu

Pangeran Phillips menebas hutan yang penuh tumbuhan bersulur duri. Begitu lebat, tebal dan tajam. Ia tahu, ia sudah memilih jalan yang salah. Siapa kini yang akan mencium dan membangunkan Sang Puteri dari tidurnya? Aurora akan selamanya terlelap.

Itu akhir menyedihkan dari salah satu cerita Puteri Tidur. Waktu kecil, aku tergila-gila pada cerita puteri-puteri ini. Tapi tidak cerita-cerita pengantar tidur yang biasa. Aku suka sekali pada cerita seri “Pilih Sendiri Petualanganmu”. Pernahkah kamu membacanya?

Akhir ceritanya tidak selalu “…And Then They Live Happily Ever After”. Sama sekali tidak… Akhir cerita tergantung pada pilihanmu. Kalau kamu memilih jalan yang salah, maka happy ending hanya sekedar mimpi. Jadi, tidak selamanya Puteri Aurora akan terbangun dari tidur panjangnya, dan tidak selamanya Cinderella akan bertemu si Prince Charming.

Dalam satu jalan yang dipilih, bisa saja Cinderella tidak pernah berhasil datang ke pesta dansa pangeran. Karena ia tidak bisa mendapatkan labu kuning yang akan disihir menjadi kereta kencana. Karena itu, kamu harus memilih jalan yang terbaik, agar Cinderella dan Puteri Aurora bisa “Live Happily Ever After”.

Ketika itu, tentu saja aku tidak berpikir, bahwa buku-buku favoritku itu punya makna khusus. Aku baru menyadarinya belakangan ini…ketika seorang sahabatku meneleponku dan tersedu-sedu dari ujung telepon di sana.

“Lo ngga ngerti apa yang gw rasain, Tuss! Ngga semua orang punya kehidupan cinta yang seberuntung elo!”

Mendengarnya, entah mengapa…aku merasa itu adalah kalimat yang lucu sekali. Lalu aku mulai tertawa. Suara tertawaku ternyata sangat mengganggunya. Ia kemudian betul-betul marah padaku. Dia mulai berteriak. Setelah puas berteriak, ia mematikan sambungan telepon.

Hhhfff…aku lalu tertegun…kemudian senyum-senyum sendiri kalau mengingat bagaimana murkanya sahabatku tadi. Sebenernya, apa iya siy seperti itu? Aku merasa kalimatnya lucu sekali.

“Ngga semua orang punya kehidupan cinta yang seberuntung elo!”

BERUNTUNG?

Apa itu beruntung?

Kalau saja dia tidak mematikan telepon pada saat itu, aku ingin menceritakan padanya. Tentang kisah Puteri Aurora dan Cinderella yang kubaca ketika kecil. Bahwa takdir bukanlah sesuatu yang didapat dengan pasrah dan nrimo.

TAKDIR ADALAH PILIHAN

Ketika kita memilih jalan yang salah, jangan salahkan Tuhan bila kita mendapatkan takdir yang salah. Toh Tuhan sudah memberi hak prerogative untuk memilih. Setiap orang pasti punya pilihan.

Seperti halnya memilih pasangan. Kalau kita memilih yang salah, jangan salahkan Tuhan jika hubungan kita begitu banyak rintangan. Tapi sahabatku tetap bersikukuh, bahwa ia tidak bisa memilih pasangan. Dia selalu mencintai orang yang salah, dan dia tidak bisa memaksa hatinya untuk mencintai orang yang benar.

Hmmmm….

Itu memang pilihan yang sulit. Tapi bukan berarti Tuhan tidak memberi pilihan kan? Kalau begitu, begini saja berpikirnya. Jangan cintai dia karena kamu. Tapi cintai dia karena Tuhan mencintai dia. Cintai dia karena keluarga kita mencintai dia. Terakhir, cintai dia karena dia benar-benar mencintaimu. Believe me, hatimu akan mencintai dia juga…

Setelah itu, baru ikuti kata Sussana Tamaro,' Va Dove Ti Porta Il Cuore. Dalam bahasa Indonesia, itu berarti “Pergilah Ke Mana Hati Membawamu”. So please…duduklah sebentar…biarkan pikiranmu yang memutuskan. Setelah itu, barulah hati diperbolehkan membawamu.