Tuesday, July 24, 2007

Menguak Misteri Pembunuhan Tan Malaka


Awal tahun 1949, markas Tan Malaka di Pace, Jawa Timur disergap oleh tentara. Namun karena ada serangan Belanda dari utara, pasukan TNI ditarik untuk menghalau Belanda. Maka dibebaskanlah Tan Malaka dan 60 orang pengikutnya.

Tokoh kontroversial ini bersama pengikutnya melarikan diri ke selatan Jawa Timur. Dalam perjalanan, mereka ditembaki. Kemudian mereka membagi rombongan menjadi empat bagian. Tan Malaka dan empat orang pengikutnya pergi ke Tulung Agung, mengharapkan masih ada batalyon tentara di sana yang masih bersimpati pada mereka.

Untuk menuju Tulung Agung, bukanlah rute yang mudah. Mereka harus melewati lereng Gunung Wilis yang masih berupa hutan rimba. Setelah dua hari berjalan, mereka disergap di suatu desa kecil bernama Selo Panggung. Penyergapnya adalah sebuah satuan kecil yang terdiri dari lima orang. Pemimpinnya hanya seorang berpangkat letnan dua.

Si letnan dua kemudian memerintahkan bawahannya untuk menembak mati Tan Malaka. Pada hari itu, 21 Februari 1949, Tan Malaka gugur. Jasadnya dibenamkan di hutan dalam sebuah desa bernama Selo Panggung. Kini, daerah ini telah menjadi area persawahan. Bahkan ada perumahan juga dekat peristirahatan terakhirnya yang hilang.

Teori kematian Tan Malaka ini diungkapkan oleh Harry A. Poeze. Dalam kunjungannya ke Jurnal Nasional, Selasa (24/7) lalu, ia menguak dengan gamblang peristiwa pembunuhan yang hingga kini masih samar.

Poeze menulis buku berjudul “Verguisd en Vergeten, Tan Malaka, de linkse beweging en de Indonesiche Revolutie, 1945 – 1949” setebal 2200 halaman, dalam tiga jilid. Dalam bahasa Indonesia, ini berarti Dihujat dan Dilupakan, Tan Malaka Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia 1945 – 1949.

“Saya yakin 99 persen bahwa versi ini adalah benar,” katanya dalam bahasa Indonesia. Menurutnya, ia telah berkeliling ke empat benua untuk mengumpulkan data dalam buku ini. Sejumlah tokoh partai Murba seperti Bambang Singgih telah diwawancarainya. Ia juga mewawancarai dua orang pengikut Tan Malaka yang mengantarnya hingga menjemput ajal.

Lalu siapakah Letnan Dua yang memerintahkan penembakan itu? Menurut Poeze, ia adalah Letnan Dua Soekotjo. Pangkat terakhirnya sebelum pensiun dari keanggotaan TNI adalah Brigadir Jenderal. Soekotjo pernah menjabat sebagai Walikota Surabaya. Ia meninggal dunia pada tahun 1980-an.

Namun sayang, buku yang akan diluncurkan pada 30 Juli mendatang ini masih ditulis dalam bahasa Belanda. Bagi yang tidak bisa berbahasa Belanda, harus menunggu hingga dua tahun lagi untuk membacanya dalam bahasa Indonesia.

Tussie Ayu Riekasapti

Monday, July 23, 2007

Ketika Panglima TNI Menunjukkan Taringnya

Berita tentang alotnya perjanjian pertahanan dan ektradisi, mungkin telah banyak ditulis di hampir semua media massa saat ini. Tapi ada sebuah cerita kecil yang ingin saya ceritakan.

Ketika saya menuliskannya di media saya, pisau editing telah melenyapkannya. Jadi saya pikir, ini tulisan yang hanya cocok untuk dikonsumsi para blogger. Bukan cerita besar. Tapi saya senang menceritakannya, sama senangnya ketika para ‘jurnalis kacang goreng’ saling bercerita tentang hal ini usai liputan. Jadi, inilah ceritanya.

Suatu pagi, aku terbangun di tempat tidur. Hari ini belum ada agenda apapun untuk diliput. Itu biasa untuk wartawan polkam dan TNI. Wilayah liputan kami seringkali kering agenda. Kami tak bisa terus menerus menunggu berita datang dari langit.

Aku sudah pasrah jika berita agenda sepi. Akupun sudah menyiapkan feature untuk diliput, jika memang berita ‘keras’ sedang sepi. Pukul 10.00 pagi, telepon genggamku berbunyi. Sebuah SMS dari Amril Sindo. Isinya begini,

“Ada info kalau Panglima Singapura sedang ada di Dephan. Bener ga siy?”

Adrenalinku bergejolak. Hal ini selalu terasa jika ada berita besar di depan mata. Macetnya perjanjian pertahanan dan perjanjian ekstradisi membuat hubungan kedua negara sedikit panas.
Aku segera meluncur ke kantor. Kuhubungi Humas Dephan. Ia menyatakan bahwa hari ini Menhan Juwono Sudarsono sedang tidak punya agenda apapun. Berita menjadi simpang siur. Beberapa teman yang sudah berada di Dephan juga mengatakan ‘masih sepi-sepi aja’. Aku mengurungkan niatku ke Dephan.

Meskipun Panglima Singapura memang ada di Dephan, tapi tidak ingin bertemu wartawan, percuma mengejarnya. Sederet pengamanan di Dephan akan siap menghadang ‘jurnalis kacang goreng’. Daripada mengejar sesuatu yang samar, lebih baik mengerjakan hal lain yang lebih pasti.

Tapi, ketika jarum jam bergerak ke angka 13.30, sebuah sms masuk ke telepon genggamku. Dari Dewo Kompas.

“Panglima Singapura mau didorstop di Dephan jam 14.30,” katanya.

Tak lama kemudian, humas Dephan meneleponku. Memberi tahu hal serupa. Memang dunia kadang membingungkan. Beberapa menit yang lalu, aku baru saja menelepon orang yang sama. Ia mengatakan Pak Menteri tidak punya agenda apa-apa hari ini. pernyataannya bisa berubah 180 derajat dalam tempo beberapa menit saja.

Lalu aku segera meluncur ke Dephan. Di ruang pers, semua media Indonesia telah berkumpul. Ughhh…I hate this…kalau banyak wartawan TV, berarti kami harus siap berdesakan dengan kameraman mereka yang besar-besar dan selalu ingin di depan. Aku yang kecil biasanya akan menitipkan recorder pada teman yang ‘mendapatkan posisi bagus’. Jika ada yang ingin ditanyakan, aku akan berteriak dari belakang.

Cara wawancara yang tidak menyenangkan.

Hampir satu jam menunggu, akhirnya kami dipersilakan untuk menghampiri Panglima TNI dan Panglima Singapura. ketika itu, Panglima TNI sedang mengantarkan Panglima Singapura yang akan pulang. Saat itu, kami bertanya pada Panglima TNI dulu.

Salah satu wartawan langsung bertanya soal kelanjutan perjanjian pertahanan. Marsekal Djoko Suyanto menjawab dengan tenang.

”Kedatangan Panglima Singapura adalah kunjungan perdananya sebagai Panglima dan perkenalan dalam kapasitas Panglima baru. Selain itu, ada pertemuan rutin tahunan antara TNI dan Angkatan Bersenjata Singapura.”

“Dalam pertemuan ini, dibicarakan tentang joint inteligent exchange (kerjasama pertukaran intelijen), joint coordinating committee (komite kerjasama bersama), joint training commitee (komite latihan bersama) dan joint logistik committee (komite logistic bersama). KAMI TIDAK MEMBICARAKAN SOAL PERJANJIAN PERTAHANAN.”

Tidak puas dengan pernyataannya, para wartawan kemudian bertanya pada Panglima Singapore Letjen Desmond Kuek. Setali tiga uang, ia menjawab sama dengan yang dikatakan oleh Panglima TNI.

Seorang teman saya, namanya Rahmad dari Republika tampaknya gemas dengan jawaban yang datar-datar saya. Tiba-tiba dia bertanya pada Kuek.

”Mr. Juwono Said that Singapore Proposal in Bravo Area is quite crazy. What do you think about that?”

Mendengar pertanyaan ini, Kuek tampak hampir menjawab, kalau saja Panglima TNI tidak memotong ucapannya.

“No! We dont have to comment. Saya boleh mendikte dia! (dia yang dimaksud adalah Panglima Singapura),” kata Djoko Suyanto.

Usai mendengar jawaban Panglima TNI, Panglima Singapura akhirnya diam-diam saja. Barangkali dia kaget dengan ulah wartawan Indonesia yang bertanya dengan sangat gamblang. Hahahaha…

Saya dan teman saya sibuk menahan tertawa. Wah, asik ya melihat Panglima TNI bisa mendikte Panglima Singapura! Walaupun hanya sebatas apa yang boleh dia ucapkan dan apa yang tidak boleh diucapkan.

Friday, July 06, 2007

Menggapai Atap Dunia



Mentari sembunyi petang itu. Langit menggambarkan semburat awan hitam, pertanda badai siap menghadang. Terlebih, ini bukanlah langit biasa. Ini adalah tempat dimana langit terdekat menyentuh bumi. Manusia menamakannya Puncak Everest.

Hari itu, 26 April 1997. Tak banyak yang masih tersisa dari ekspedisi Kopassus kali ini. Tim Indonesia yang beranggotakan 45 orang, satu per satu mulai berguguran. Menjelang 50 meter mencapai puncak, hanya tiga orang yang masih bertahan.

Suhu menunjukkan angka -45 derajat celcius. Karena kurangnya oksigen, aktivitas apapun menjadi sulit. Lettu Misirin gelap mata. Ia pingsan di tengah tumpukan salju, padahal puncak dunia tinggal selemparan batu lagi. Dari belakangnya, Sertu Asmujiono berlari terengah-engah dan melewati Misirin yang terkapar lemah.

Dengan gagah, ditancapkannya sang merah putih untuk pertama kali di dataran tertinggi di muka bumi itu. Kemudian untuk merayakan kemenangan, serta merta ia melepaskan masker oksigen yang dikenakan.

Tak lupa baret merah kebanggan Kopassus disematkan di kepala. “Saya merasakan kebesaran Tuhan saat mencapai puncak. Saya tidak bisa mengucap apapun kecuali Allahu Akbar,” kata Asmujiono.

Kini, ia telah berpangkat Serka. Sepuluh tahun sudah berlalu sejak saat itu. Namun pengalaman ini takkan dilupakannya seumur hidup. Asmujiono tidak mengerti, kekuatan apa yang merasukinya hingga mampu berlari menuju Puncak Everest. “Padahal jangankan berlari, berjalan satu langkah saja, membutuhkan dua sampai tiga napas,” ujarnya.

“Banyak yang menyangsikan keberhasilan tim Indonesia. Karena itu, saya membuka masker,” kata pria kurus ini. Padahal menurutnya, jangankan membuka masker. Jika kita membuka kacamata, hanya hitungan menit mata akan buta karena pantulan ultraviolet yang sangat tajam.

Namun Asmujiono tetap sehat dan bisa mengenangnya hingga kini. Dalam pembukaan Pekan Olahraga TNI AD (PORAD) V minggu lalu, ia diberi kehormatan untuk mengibarkan berdera PORAD.

Kebanggaan yang pantas diberikan untuk manusia ini. Karena dia yang pertama kali membawa Indonesia ke tempat terdekat dengan Tuhan, bila Tuhan memang ada di langit.

Tussie Ayu Riekasapti

Wednesday, July 04, 2007

Total Diplomacy Layaknya Total Football


Tiga paket perjanjian telah ditandatangani RI-Singapura pada April lalu. Paket itu berisi Perjanjian ekstradisi, perjanjian pertahanan dan peraturan pelaksanaan (implementing arrangement dari perjanjian pertahanan. Namun hingga saat ini, pelaksanaannya urung berjalan, karena masih ada ketidaksesuaian antara kedua belak pihak.

“Deplu yang mengetuai perundingan. Kami melaksanakan total diplomacy seperti orang Belanda melakukan total football. Setiap orang bisa main di tiap posisi secara berputar-putar. Hal ini dilakukan agar lawan tidak tahu persis di mana kita memulai politik, ekonomi, keuangan dan ekstradisi. Kami laksanakan dengan tepat agar tidak dikadalin Singapura,” kata Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, Selasa (3/7) lalu di Lembaga Ketahanan Nasional.

Juwono yang pagi itu berbicara di hadapan peserta Program Pendidikan Reguler Angkatan 40 Lemhannas mengungkapkan, Singapura sengaja meminta hal yang tidak masuk akal dalam perjanjian pertahanan.

“Mereka meminta latihan selama 15 hari setiap bulan. Kan gila itu! Kami mau hanya empat sampai enam kali setahun. Hal ini atas pertimbangan lingkungan, nafkah untuk nelayan dan keamanan bersama,” katanya. Menurutnya, Singapura sengaja meminta hal ini agar perundingan menjadi macet.

Macetnya perundingan, kata Juwono, dilakukan agar mereka tidak harus mengakui telah menampung buronan dan aset Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) selama tahun 1997 sampai 2001. “Inilah pertautan antara politik, ekonomi dan keamanan,” tambahnya.

Untuk itu, menurutnya Indonesia melakukan pertaruhan otak dan otot. “Kami coba melaksanakan diplomasi terpadu antara Departemen Luar Negeri, Dephan, Mabes TNI, juga melibatkan Kementrian ESDM, Kementerian Lingkungan Hidup dan Departemen Kehutanan,” jelasnya.

Ia menceritakan, perjanjian ini berawal pada Oktober 2005. Ketika itu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ditantang oleh PM Lee Hsien Liong untuk membuat perjanjian ekstradisi dan pertahanan secara paralel. Menurutnya, ketika itu pemerintah sepakat untuk menerima tantangan ini.

Ketiga perjanjian yang akhirnya ditandatangani pada April 2007 ini saling berkaitan. “Deal dari awal sudah jelas. You give me money, and I will give you space,” ujarnya. Setelah uang dan buronan Indonesia didapatkan, baru Singapura diberikan tempat latihan.

“Jika Singapura mengembalikan satu orang buronan Indonesia beserta uang US$ 200 juta, baru Indonesia akan meminjamkan satu daerah untuk latihan tentara. Kita ini sama-sama licik,” kata mantan duta besar Indonesia untuk Inggris ini.

Ia menambahkan bahwa pemerintah tidak pernah berilusi bahwa perjanjian akan berjalan mulus, walaupun telah ditandatangani. “Singapura harus mengakui mereka telah menampung uang panas dari Indonesia,” katanya.

Berdasarkan sala satu lembaga riset keuangan internasional, menurut Juwono ada 18 ribu orang Indonesia yang memiliki jaringan di Singapura. “Total uang sebanyak US$ 87 Milyar berpangkal di Singapura. dari jumlah itu, tidak semuanya ilegal, dan tidak semuanya buron BLBI. Tapi yang kami minta, adalah buron antara tahun 1997 sampai 2001,” katanya.

Untuk persoalan serumit ini, pantas jika pemerintah melakukan total diplomacy layaknya total football. Seperti juga pertandingan sepak bola, tentu sportivitas harus diutamakan. Jangan sampai kena kartu merah, Pak Menteri!

Tussie Ayu Riekasapti