Tuesday, June 10, 2008

Taman Bermain



Tahukah kamu? Aku hidup dalam sebuah taman bermain. Tempat berkumpulnya para bocah. Apa yang kamu sukai, semua ada di sini. Ada permainan jungkat jungkit, ada ayunan, seluncuran, komidi putar dan tiang-tiang panjatan. Silakan pilih yang kamu suka.

Aku senang sekali bermain di sini. Aku suka berayun ke setingginya, kemudian memanjat tali dan tiang-tiang. Aku dan beberapa bocah senang berlomba-lomba mencapai puncak tiang. Tapi ketika berada di puncaknya, ada bocah-bocah lain yang meneriakiku. Katanya aku tidak boleh berada di atas selamanya.

Karena itu, aku turun dengan gontai. Lalu aku mencari mainan lain. Ah, bukankah aku juga suka berayun setingginya di ayunan. Aku mengayuh ayunan sekuat tenaga. Aku bisa terbang tinggi...tinggi...tinggi sekali. Ketika memejamkan mata, aku merasa bisa menyentuh awan dengan jemari.

Ketika sedang asik bercumbu dengan awan, aku tersentak. Para bocah yang ada di bumi berteriak dan memberengut. Katanya, aku harus berhenti. Karena ini adalah taman bermain. Aku harus mau bergantian memakai ayunan. Aku tidak boleh memakainya seorang diri.

Aku pun menurut seraya turun dari ayunan. Aku kemudian mencoba jungkat jungkit. Memang menyenangkan ketika badanku terlontar ke udara. Tapi aku tidak suka ketika menerima kenyataan, bocah-bocah yang berada di papan jungkit seberang semakin berat. Mereka ramai-ramai mengeroyoki dan membebani papan jungkat jungkit. Sedangkan aku hanya sendirian dan harus melontarkan mereka dengan hentakan kaki-kaki mungilku. Aku sudah tidak kuat mengayuh.

Aku meninggalkan jungkat jungkit dan berlari kecil ke papan seluncuran. Kaki mungilku terengah menapaki tangga. Melesat di papan ini tampak menyenangkan. Tapi ternyata, aku terjun semakin jauh dan dalam, terperosok, tersungkur, terpuruk dan terperangkap di perut bumi. Napasku tersengal dalam lubang besar, hitam, menganga, yang sudah menelanku bulat-bulat. Tapi aku bisa tetap berdiri...tertatih keluar dari perangkap dengan bersimbah air mata.

Akhirnya aku memutuskan untuk duduk sendiri di pojok taman. Aku memperhatikan setiap kelakuan anak-anak. Ada seorang anak lelaki, yang terlahir hanya untuk menyalahkan teman-temannya. Dia selalu merasa paling benar. Dia merajuk bila bocah lain tak menuruti keinginannya. Dia mengumpat, menyumpah dan mengata-ngatai.

Lalu ada juga seorang anak lain. Ia berlaku bagai mandor bagi bocah lain. Ia memang bercita-cita menjadi polisi jika besar nanti. Tapi saat ini, jadi mandor kecil sudah cukuplah baginya. Semua anak dia paksa untuk bisa memanjat setinggi-tingginya. Semua anak harus berlari tanpa henti. Ia tidak menghiraukan jeritan-jeritan melengking yang memilukan. Baginya, kenikmatan untuk bisa selalu dihormati adalah sesuatu yang tak ternilai.

Ada juga anak perempuan yang suka menjahili teman-temannya. Dia sering melempar kerikil ke kepala bocah lain. Bocah-bocah yang kepalanya terluka akibat lemparan ini menangis. Mereka menyalahkan anak perempuan itu. Kalau sudah terjepit begini, si bocah perempuan pasti dengan lihai menyembunyikan kedua belah tangannya yang menggenggam penuh kerikil. Lalu dengan ringan, dia akan berkata, “Bukan aku yang melempar.”

Ada juga dua bocah yang selalu bertengkar. Mereka memperebutkan permen loli besar yang sangat manis. Permen loli itu bulat dan melingkar-lingkar. Warnanya merah, putih dan hijau. Melihatnya saja sudah membuat liur anak-anak menetes. Permen loli adalah nyawa bagi keduanya. Karena itu, apapun akan dilakukan demi mendapatkan permen loli terlezat.

Selain itu, ada juga gerombolan anak yang paling suka mencaci. Menertawakan bocah yang terperosok ketika mencoba memanjat tiang. Menyeringai ketika ada kanak-kanak yang kepalanya luka terkena kerikil. Bagi kelompok bocah ini, tangisan dan rengekan anak-anak adalah alunan musik yang merdu.

Dan yang tak kalah menyebalkan, ada juga barisan anak-anak pemalas. Mereka tidak mau melakukan apapun. Namun demikian, mereka merasa paling banyak berbuat bagi taman bermain. Mereka sudah merasa berjasa. Dan mereka akan ngambek jika ada yang mengganggu kedamaian mereka.

Aku mendengus. Sudah tidak ada apapun yang bisa dilakukan. Taman bermain ini sudah tampak asing. Sudah tidak menyenangkan lagi, sekeras apapun aku berusaha.

Sekeras apapun aku berusaha, tidak ada yang akan terjadi. Aku menunggu dengan berjuta utopia yang sudah menari-nari di kepala. Tapi ia tidak pernah menghampiriku. Air mata berkumpul di pelupuk mata ketika impian terlihat semakin samar dan jauh. Rasa bagai teriris menggerogoti, ketika menyadari yang dikejar dan ditunggu ternyata tak lebih dari hembusan angin kosong.

Anak-anak yang sudah beranjak dewasa kebanyakan telah memutuskan untuk keluar. Mereka angkat kaki dengan banyak alasan. Tapi aku tahu alasan sebenarnya. Karena mereka sudah tidak tahan akan mental kekanak-kanakan ini.

Semak belukar sudah rimbun menusuk kaki kami dengan onaknya. Jeritan kesakitan terdengar setiap hari. Aku sudah membaca, dan waktu semakin mengejar. Dia menarikku dan tidak mau menunggu.

Aku ingin menjadi orang dewasa yang tidak kehilangan kegembiraan menjadi kanak-kanak. Tapi aku tidak ingin menjadi kanak-kanak yang terjebak dalam tubuh orang dewasa.

Taman bermain ini yang mengantarkan aku menjadi dewasa. Bukankah menerima kehidupan berarti menerima kenyataan bahwa tak ada hal sekecil apapun yang terjadi karena kebetulan?

Hidup di taman bermain ini, bukanlah kebetulan. Semua hal kecil yang kuanggap kesedihan, musibah dan cobaan, adalah potongan-potongan puzzle yang akan membentuk kedewasaan secara utuh. Dan ketika kedewasaan sudah utuh, aku akan mendapatkan satu impian yang tersisa : AKU TIDAK AKAN SEPERTI MEREKA.

***

Aku berjalan sendiri...

Menuju komidi putar yang menyilaukan. Lampu-lampunya memekakkan mata, membutakan telinga. Lonjakan adrenalin memaksa untuk menuju ke sana. Ada banyak kuda berwarna-warni. Hitam, cokelat dan putih. Dikepala mereka berkerlip cahaya, ekornya berkibas kaku. Persis seperti impian masa kecilku.

Aku memilih si kuda putih. Di atas kepalanya ada tanduk melingkar. Di punggungnnya terlipat rapi sayap yang lebar. Dia adalah unicorn. Kusentuh surai lembutnya, kututup mataku. Ah...rasanya persis seperti dalam mimpi. Lalu aku menginjak sadelnya, dan naik ke atas pelana.

Musik mengalun, Serenade de Schubert, lagu pengantar tidur ketika kanak-kanak dulu. Lampu mengerjap kembali. Bintang-bintang bertaburan mengoyak kegelapan malam.

Sang unicorn membawaku berputar. Semakin kencang dan cepat. Dunia berputar dan kepalaku pusing. Aku menutup mata. Unicorn membawaku terbang jauh sekali dari taman bermain. Aku pergi menuju impian baru.