Wednesday, July 04, 2007

Total Diplomacy Layaknya Total Football


Tiga paket perjanjian telah ditandatangani RI-Singapura pada April lalu. Paket itu berisi Perjanjian ekstradisi, perjanjian pertahanan dan peraturan pelaksanaan (implementing arrangement dari perjanjian pertahanan. Namun hingga saat ini, pelaksanaannya urung berjalan, karena masih ada ketidaksesuaian antara kedua belak pihak.

“Deplu yang mengetuai perundingan. Kami melaksanakan total diplomacy seperti orang Belanda melakukan total football. Setiap orang bisa main di tiap posisi secara berputar-putar. Hal ini dilakukan agar lawan tidak tahu persis di mana kita memulai politik, ekonomi, keuangan dan ekstradisi. Kami laksanakan dengan tepat agar tidak dikadalin Singapura,” kata Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, Selasa (3/7) lalu di Lembaga Ketahanan Nasional.

Juwono yang pagi itu berbicara di hadapan peserta Program Pendidikan Reguler Angkatan 40 Lemhannas mengungkapkan, Singapura sengaja meminta hal yang tidak masuk akal dalam perjanjian pertahanan.

“Mereka meminta latihan selama 15 hari setiap bulan. Kan gila itu! Kami mau hanya empat sampai enam kali setahun. Hal ini atas pertimbangan lingkungan, nafkah untuk nelayan dan keamanan bersama,” katanya. Menurutnya, Singapura sengaja meminta hal ini agar perundingan menjadi macet.

Macetnya perundingan, kata Juwono, dilakukan agar mereka tidak harus mengakui telah menampung buronan dan aset Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) selama tahun 1997 sampai 2001. “Inilah pertautan antara politik, ekonomi dan keamanan,” tambahnya.

Untuk itu, menurutnya Indonesia melakukan pertaruhan otak dan otot. “Kami coba melaksanakan diplomasi terpadu antara Departemen Luar Negeri, Dephan, Mabes TNI, juga melibatkan Kementrian ESDM, Kementerian Lingkungan Hidup dan Departemen Kehutanan,” jelasnya.

Ia menceritakan, perjanjian ini berawal pada Oktober 2005. Ketika itu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ditantang oleh PM Lee Hsien Liong untuk membuat perjanjian ekstradisi dan pertahanan secara paralel. Menurutnya, ketika itu pemerintah sepakat untuk menerima tantangan ini.

Ketiga perjanjian yang akhirnya ditandatangani pada April 2007 ini saling berkaitan. “Deal dari awal sudah jelas. You give me money, and I will give you space,” ujarnya. Setelah uang dan buronan Indonesia didapatkan, baru Singapura diberikan tempat latihan.

“Jika Singapura mengembalikan satu orang buronan Indonesia beserta uang US$ 200 juta, baru Indonesia akan meminjamkan satu daerah untuk latihan tentara. Kita ini sama-sama licik,” kata mantan duta besar Indonesia untuk Inggris ini.

Ia menambahkan bahwa pemerintah tidak pernah berilusi bahwa perjanjian akan berjalan mulus, walaupun telah ditandatangani. “Singapura harus mengakui mereka telah menampung uang panas dari Indonesia,” katanya.

Berdasarkan sala satu lembaga riset keuangan internasional, menurut Juwono ada 18 ribu orang Indonesia yang memiliki jaringan di Singapura. “Total uang sebanyak US$ 87 Milyar berpangkal di Singapura. dari jumlah itu, tidak semuanya ilegal, dan tidak semuanya buron BLBI. Tapi yang kami minta, adalah buron antara tahun 1997 sampai 2001,” katanya.

Untuk persoalan serumit ini, pantas jika pemerintah melakukan total diplomacy layaknya total football. Seperti juga pertandingan sepak bola, tentu sportivitas harus diutamakan. Jangan sampai kena kartu merah, Pak Menteri!

Tussie Ayu Riekasapti

5 comments:

Reza RJ said...

Dalam total football, menyerang adalah pertahanan terbaik. Rinus Michels -mahaguru sistem ini- membuat setiap pemain di lapangan dapat menjadi bek, gelandang, atau penyerang dalam sebuah pertandingan. Kalau Menhan mau total football, ingat prinsip total football di atas. "Menyerang adalah pertahanan terbaik."
Bagaimana, Pak Menteri?? Menyerangkah kita??

Anonymous said...

ceritanya yg seru2 dong...behind the news gituh

Tussie Ayu said...

eh wage, kalo ngisi comment ga boleh pake anonymous...bikin berita aja harus pake by line. wartawan harus berlaku sebagai wartawan donk...harus bertanggungjawab ama tulisannya hehehehe...FYI, yang ngasi komentar di atas namanya Wisnu Wage Pamungkas.

Anonymous said...

Aku baca lagi tulisan kamu tentang total diplomacy. Tulisan ini tidak bisa dikritik tajam, sebab talking news. Yang jelas, cara menulisnya sudah bisa menggambarkan apa yang terjadi dalam perjanjian ekstradisi itu. Aku ingin melihat bagaimana pemerintah memandang diplomasi dan perjanjian dengan negara kecil yang dulu bernama Temasek itu, yang menjadi tempat singgah pasukan Gadjah Mada saat mau melakukan ekspansi ke Barat, ke Minang, dll.

Diplomasi kita di tingkat internasional, kurang strategis dan tidak mengandalkan potensi-potensi nasional. Secara politik, Indonesia adalah negara yang dipicing denagn ekor mata. Tetapi unsur tradisi, seni budaya, yang begitu kaya dengan corak, yang beberapa summit (puncak) sangat potensial dan mencapai mailstones (tonggak) prestasi umat manusia, justru hanya diajadikan pelengkap. Tari Saman dari Aceh, wayang, tari Bali, batik, keris, naskah la galigo, musik tradisi, adalah puncak-puncak maha karya umat manusia yang tersia-siakan sebagai alat diplomasi. Jepang memiliki Japan Foundation, Inggris punya British Council, Jerman mendirikan Goethe Institute, Prancis ada CCF, Italia memikiki Intituto Italiano, sedang Indonesia tidak memiliki perangkat penyiar budaya seperti itu. Pernah digagas untuk didirikan Pustaka Hatta dan Selasar Seni Soekarno untuk melengkapi diplomasi Indonesia di Internasional. Kita bisa mengabarkan Borobudur dan Ekspedisi Borobudur, mewartakan La Galigo, dan lain-lain, sehingga bangsa-bangsa di dunia akan menatap Indonesia sebagai bangsa yang kaya dengan seni-budaya.

Soal Singapura, kalau saya jadi Presiden, akan saya kabulkan permintan mereka, mau sebulan 15 hari latihan di wilayah Indoensia, sialakan. Bahkan mau tiap hari juga silakan. Toh wilayah Indonesia masih luas. Bila perlu, silakan saja Singapura mau latihan melawan GAM, aatu mau latihan di pedalaman Papua? Asal Temasek itu benar-benar mau menyerahkan aset-aset bromocorah, sebab saat ini Indonesia memang butuh dana, setidaknya dana untuk saya bisa sekolah lagi, supaya bisa meminang seseorang.

Toh Temasek itu hanya negara kecil, tentaranya juga paling berapa gelintir. Kalau mereka macem-macem, kata orang, sruh orang Indonesia mengencingin Singapura serentak, pasti banjir negara itu.
Total diplomacy menjadi tidak total bila tidak melibatkan diplomasi budaya seperti dilakukan negara-negara maju dengan mendirikan pusat-pusat kebudayaan, sehingga misalnya, saya menjadi semakin tahu betapa orang Prusia itu memang hebat, selain memiliki Hitler yang menjadi noda sejarah, mereka juga memiliki Goethe yang menurut Iqbal adalah matahari yang bersinar di Jerman, juga memiliki Nietzche yang menyatakan Tuhan telah mati.

Tuan Putri, apa kita akan nonton pertunjukan Nyai Ontosoroh?

Belajar hidup said...

Singapura jangan macam2 ya,ntar aku kirim macansumatra hehe