Friday, November 30, 2007

Pilot Bukan Penyebab Tunggal

Awal Nopember lalu, Kepolisian RI (Polri) telah menetapkan Marwoto Komar, pilot pesawat Garuda Indonesia Boeing 737-400, sebagai tersangka dalam kasus kecelakaan pesawat di Yogyakarta, 7 Maret 2007 lalu. Sedangkan co-pilot Gagam Saman Rahman hingga kini masih terus menjalani penyidikan oleh Polda DIY.

Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen (Pol.) Sisno Adiwinoto, mengungkapkan, pilot Garuda, Marwoto Komar, kemungkinan besar bisa dipidanakan karena telah memenuhi unsur melakukan kelalaian (human error) yang menyebabkan hilangnya nyawa orang lain (Jurnal Nasional, 3 Nopember 2007)

"Sesuai KUHP sudah terpenuhi adanya unsur kelalaian yang menyebabkan nyawa orang lain, namun secara materiil, kan untuk memproses hukum seseorang harus memiliki bukti dan saksi yang kuat, rekomendasi KNKT bisa dijadikan tambahan (penyelidikan)," ujar Sisno ketika itu.

Pengamat penerbangan yang juga pilot senior di Garuda Indonesia, Captain Pilot Rendy Sasmita Adji Wibowo berpendapat, memang terjadi human error dalam kasus ini. namun demikian, menurutnya kesalahan tidak bisa dilimpahkan pada pilot dan co-pilot semata.

“Yang menarik dari GA 200, sebetulnya ada beberapa jaring yang terlewati. Dalam bahasa penerbangan sering disebut keju Swiss. Dimana potensi kecelakaan itu berupa anak panah melewati lubang-lubang seperti keju Swiss,” katanya kepada Jurnal Nasional beberapa waktu lalu.

Ia menjelaskan, kemungkinan pertama yang terlewati adalah lubang visi dari manajemen perusahaan. Visi manajemen yang pertama, menurutnya adalah keselamatan. “Garuda harus belajar dari Lufthansa yang memiliki teknisi jago-jago dan memang hebat. Kalau service diutamakan mengalahkan safety jadinya seperti di Garuda,” ujarnya.

Selain itu, direksi saat ini, menurutnya melewatkan sebuah investasi penting, yaitu pendidikan dan maintenance (pemeliharaan). Dari kasus GA 200, menurutnya terlihat sekali ada komunikasi tidak benar antara captain pilot dan co-pilot.

Padahal, menurut dia, pilot di era manapun diajari yang namanya Crew Resource Management (CRM). “Jadi dalam dunia penerbangan ada aturan yang mengacu pada International Civil Aviation Organization (ICAO ), bahwa semua penerbang harus mengikuti CRM, dimana kerjanya pilot berinteraksi dengan co-pilot dan teknisi pesawat. Ketiga orang ini dalam emergency tahu apa yang harus dikerjakan” jelasnya.

Menurut Rendy, di Garuda sebenarnya juga diajarkan CRM, namun implementasinya tidak berjalan dengan baik, sampai-sampai antara captain pilot dan co-pilot terjadi komunikasi yang tidak tuntas. “Ada satu training yang tidak dilakukan oleh Garuda,” katanya.

Training yang sudah dilakukan Garuda, kelupaan mengajarkan co-pilot untuk merebut kendali ketika pilot bermasalah. “Padahal efeknya akan sangat fatal. Landasan di Yogya itu agak sedikit bergelombang bentuknya agak parabolic sehingga ada kesulitan sendiri bagi pilot untuk mendarat di Yogya. Jadi kalau kecepatannya tidak tepat maka akan keluar landasan,” jelasnya.

Ia melanjutkan, jika pilot tidak melakukan tindakan apa-apa saja padahal pesawat dalam keadaan bahaya, maka dia co-pilot harus mengambil tindakan. “Saya tidak mengerti dengan manajemen Garuda, sebenarnya training itu ada. Hanya saja, co-pilot di Indonesia terpengaruh dengan budaya, karena dia masih muda dan belum banyak pengalaman, sehingga tidak dianggap oleh pilot. Dalam kondisi tertentu dimana co-pilot harus mengambil alih maka harus diambil alih,” ujarnya.

Rendy melihat, kelalaian pilot bukanlah penyebab tunggal kecelakaan ini. “Pilot dalam hal ini adalah jaring terakhir. Marwoto Komar sedang dalam misi menjalankan tugas dari Garuda. Kasus GA 200 memperlihatkan manajemen mencoba untuk cuci tangan,” katanya.

Padahal menurut Rendy, dalam kasus ini sebenarnya Perusahaan wajib membela karyawannya. “Penyebab kecelakaan ini tidak bisa dilimpahkan pada pilot saja. Tapi juga harus ditarik mata rantai ke belakang. Manajemen juga turut bersalah,” tandasnya.

Wahyu Utomo/Tussie Ayu Riekasapti

(Jurnal Nasional, 27 Nopember 2007)


1 comment:

Anonymous said...

Saya setuju dengan pendapat bahwa pilot bukan penyebab tunggal pada kecelakaan pesawat. Ada banyak pihak terkait yang harusnya juga ikut bertanggungjawab. Pada kesempatan ini saya fokuskan pada perusahaan penerbangan ("korporasi").

Pembebanan pertanggungjawaban terhadap korporasi menjadi logis diupayakan karena pada dasarnya perbuatan yang dilakukan oleh para pengurus dilakukan untuk dan atas nama korporasi. Selain itu, perlu dipertimbangkan pula bahwa perbuatan-perbuatan yang diupayakan tersebut memberikan manfaat, terutama berupa keuntungan finansial bagi korporasi yang bersangkutan.

Seiring dengan era penerbangan murah, muncul korporasi "nakal" dengan berbagai kebijakan manajemen yang tidak berpihak pada visi keamanan dan keselamatan. Misalnya, minimnya dana untuk maintenance pesawat, kurangnya training awak pesawat, sampai pada reward yang diberikan pada pilot yang dapat melakukan pengiritan bahan bakar dlsb. Untuk itu perlu pula diwacanakan mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi-korporasi "nakal", mengingat hukum pidana sebagai ultimum remedium, dapat memberikan ganjaran yang setimpal dengan perbuatan yang telah dilakukan. Bukankah perkembangan hukum pidana saat ini juga telah menerima perluasan subyek tindak pidana?

Namun perlu ditegaskan pula bahwa pilot tetap merupakan subyek hukum dalam sistem hukum. Oleh karenanya apabila unsur-unsur dalam peraturan perundang-undangan terpenuhi, maka yang bersangkutan tetap dapat dimintakan pertanggungjawaban.

Adapun perndapat dari Federasi Pilot Indonesia (FPI) yang menyatakan bahwa pilot tidak seharusnya dibawa ke ranah hukum pidana, harus ditelaah lagi secara kasuistis. Pasalnya, Annex.13 yang sering dijadikan dasar argumen FPI ternyata tidak mengatur adanya larangan untuk itu. Adapun terhadap pilot yang memang terbukti memenuhi unsur tindak pidana maka sudah seyogyanya dimintakan pertanggungjawaban menurut hukum pidana yang berlaku.

Septian Nugroho