Tuesday, May 13, 2008

Duh, Bang Foke


Senin, 05 Mei 2008 20:18 WIB, Media Indonesia

Tarif Parkir di Jakarta Kurang Mahal

Reporter : Bagus BT Saragih

JAKARTA--MI: Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo menilai, parkir adalah salah satu instrumen yang tidak terpisah dengan sistem transportasi. Karena itu, supaya membantu mengatasi kemacetan, tarif parkir harus mahal.

Hal itu dikemukakan Foke, panggilan Fauzi, di Balai Kota, Senin (5/5). Menurut mantan Kepala Dinas Pariwisata DKI itu, tarif parkir, khususnya on-street (tepi jalan), harus dibedakan berdasarkan lokasinya. Tarif parkir di lokasi yang lalu lintasnya padat harus lebih mahal.

Untuk itu, Pemprov DKI sudah memisahkan kawasan-kawasan berdasarkan kepadatan lalu lintasnya menggunakan sistem rayon.

"Rayonisasi kawasan parkir kan sudah dilakukan, hanya saja sistem traif progresifnya belum diterapkan. Di tempat-tempat yang mengganggu kelancaran lalu lintas, biaya parkir harus dibuat lebih mahal," beber Fauzi.

Di jalur-jalur yang dilalui koridor busway misalnya, harus dilakukan pengendalian parkir yang ketat. Kalaupun ada lokasi yang diperbolehkan untuk parkir, tarifnya harus lebih mahal dibandingkan lokasi lain.

Penerapan sistem tarif parkir yang progresif, kata dia, wajib dilakukan. "Tarif parkir harus mahal, sebab parkir itu bagian dari instrumen pengendalian lalu lintas," tandasnya.

Fauzi mencontohkan tarif parkir di jalan-jalan utama di Singapura. "Di sana, di Orchard Road, 3 jam saja sudah 7 sampai 10 dolar (Singapura)," katanya.

Selain itu, dengan tarif parkir yang tinggi, pihak swasta akan tertarik untuk menanamkan modalnya di sektor perparkiran. "Kalau tidak menguntungkan, swasta mana mau bikin gedung parkir," ujar Fauzi.

Bila pemilik kendaraan keberatan dengan tarif mahal, lanjutnya, lebih baik meninggalkan mobilnya di rumah. "Silahkan naik busway." (BT/OL-03)

***

Ketika pertama kali membaca berita ini, entah kenapa. Rasanya perut mual, pengen muntah. Pikiran saya lalu berkelana ke pengalaman berkendara umum di Jakarta.

Suatu hari, matahari sudah merangkak turun dari singgasananya. Mungkin ada ratusan orang berjajal tumplek di halte busway Dukuh Atas. Saya berkeluh dalam hati, ”Duh, salah memilih jam untuk pulang. Ini kan jamnya orang kantoran pulang.” Tapi karena badan sudah terperangkap dalam lautan manusia, tidak ada tempat untuk kembali lagi. Saya lalu pasrahkan badan ini tergenjencet badan-badan lain, hidung ini dijejali beraneka bau dari tubuh-tubuh berkeringat.

Sejauh mata memandang cuma ada kepala dan kepala. Saya bahkan tidak bisa melihat, apakah busway pelipur lara sudah tiba atau belum. Saya hanya mengandalkan indera pendengaran saja. Ketika ada suara mendesis yang kian mendekat, berarti ada harapan baru. Mungkin saja saya bisa meletakkan pantat ini di salah satu kursinya.

Sekitar 45 menit kemudian, akhirnya saya bisa masuk ke perut kendaraan besar itu. AC-nya cukup, tidak membuat saya kegerahan. Dan sayangnya, tidak ada sebuah kursi pun untuk meletakkan pantat. Cukuplah sudah penderitaan. 45 menit sudah terbuang dan tidak bisa kembali lagi. Badan sudah capek. Hampir dipastikan saya akan terus berdiri dari Dukuh Atas sampai ke halte Layur, tempat pemberhentian saya.

Tidak perlu disesali lagi. Salah sendiri, kenapa memilih busway untuk berkendara?

Dalam keadaan bergelantungan, saya kembali merelakan badan semakin digencet-gencet. Ada pria yang sejak awal naik sudah melihat pada saya terus. Lalu dia menggeser posisinya, lalu dia memegang gantungan untuk pegangan tangan yang sama dengan yang saya pegang. Saya sangat tidak nyaman dengan posisi ini. Ketika saya menoleh ke kiri, muka dia hanya sekitar 5 centimeter dari wajah saya. Badannya sudah menempel pada badan saya, juga tangannya. Saya tidak nyaman dengan posisi ini. Saya lalu membayangkan, sudah berapa banyak perempuan yang mengalami pelecehan seksual ketika ada di dalam busway?

Dengan gerakan perlahan, saya berpindah posisi, lebih nyaman berdempetan dengan perempuan lain. Bukannya saya sudah berganti haluan menjadi lines. Tapi saat ini tidak ada pilihan lain. Mau berdempetan dengan perempuan atau laki-laki? Saya pilih dengan sesama perempuan saja.

Sekira 10 menit berdesak-desakan, indera pendengaran saya mendengan suara ”Puff!”. Dan sepersekian detik kemudian, hidung saya mengendus bau yang luar biasa noraknya. Saya sempat berpikir, siapa yang memakai parfum dengan bau begitu menusuk. Indera penciuman saya sama sekali tidak menikmati bau itu. Dan ternyata bukan cuma saya yang merasakannya. Hampir semua penumpang kemudian menutup hidungnya.

Mata saya lalu menyapu ke semua isi busway, dari mana bau tidak menyenangkan ini berasal. Akhirnya saya menemukan jawabannya. Ternyata penyemprot otomatis yang ada di depan dan belakang busway adalah biang keroknya. Mungkin maksud penyelenggara itu baik, ingin mengusir bau-bau tubuh kami yang berkeringat ini dari kendaraan kebanggaannya. Tapi ternyata aroma yang mereka gunakan untuk untuk mengusir bau ini tidak lebih baik dari bau badan kami sendiri.

Lalu, saya juga tentu paham dengan pengalaman berkendara pribadi di Jakarta. Akhir-akhir ini, setiap kali selesai menyetir, saya merasa pegal tiada taranya. Seolah saya penderita varises yang kakinya diganduli barbel dengan berat 5 kilogram. Ketika sampai di kantor, saya luruskan kaki dan menaikkannya sedikit lebih tinggi. Katanya begitu yang harus dilakukan kalau sedang pegal.

Sadar ngga sih? Jalanan di jakarta jauh lebih macet akhir-akhir ini? Terutama sejak sebagian jalan difungsikan sebagai jalur busway. Naik busway ternyata juga bukan pilihan nyaman.

Saya sebenarnya ingin bertanya pada Bang Foke. Apakah Bang Foke pernah naik busway? Yang saya maksud dengan naik busway adalah, yah naik sesungguhnya untuk bertransportasi. Bukan hanya naik busway ketika ada peluncuran busway koridor baru.

Pertanyaan kedua, apakah Bang Foke pernah nyetir mobilnya sendiri? Apa dia pernah merasakan sensasi menyetir di Jakarta? Apa dia pernah merasakan dikelilingi oleh sepeda motor yang sudah menyerupai kecebong di kolam kala musim hujan? Apa dia pernah hampir celaka karena ada metro mini, kopaja atau mayasari bhakti yang tiba-tiba berhenti di tengah jalan? Apa dia pernah kejeblos lubang yang makin banyak menganga di jalanan?

Otak saya semakin setuju, bahwa peraturan dibuat untuk orang lain, bukan untuk orang yang membuat peraturan. Ketika Bang Foke berkata,

Bila pemilik kendaraan keberatan dengan tarif mahal, lebih baik meninggalkan mobilnya di rumah. "Silahkan naik busway."

Dia sesungguhnya berkata untuk orang lain, bukan untuk dirinya sendiri. Dia menyuruh rakyat yang memilihnya untuk naik busway, tapi dirinya sendiri TIDAK MAU NAIK BUSWAY. Duh Bang Foke, tau ngga sih? Naik busway atau kendaraan pribadi di Jakarta itu sama-sama tidak nyaman. Kecuali kalau Anda naik kendaraan mewah dengan supir pribadi, dan ada voorrijder yang siap membuka jalan, ITU BARU NYAMAN!

Di Singapore boleh-boleh aja pemerintahnya menetapkan tarif parkir yang tinggi. Wong disana ada Mass Rapid Transit (MRT) dan ada bus yang nyaman. Tapi di Jakarta? Haruskah kami membayar tarif parkir mahal, tapi tidak ada fasilitas yang memuaskan. Bahkan pengelola lahan parkir tidak mau bertanggung jawab jika ada kehilangan selama mobil diparkir.

Bang Foke, mungkin Anda perlu belajar bagaimana harusnya ber-Komunikasi Massa yang baik. Itu penting lho, buat modal politik Anda. Pantaskah seorang pemimpin berkata seperti itu? Mana EMPATINYA? Kalau belum bisa menyediakan transportasi nyaman buat kami, minimal Anda bisa menunjukkan sedikit EMPATI.