Tuesday, April 03, 2007

Perempuan-Perempuan Pramoedya







Jakarta Jurnal Nasional

“Kami, angkatan muda, dengan segenap-genap kepercayaan di hati sebagai kekuatan yang menggerakkan, bangkit menjadi pemutar baling-baling sejarah masa depan. Sebab semua percuma kalau toh harus diperintah angkatan tua yang bodoh dan korup tapi berkuasa, dan harus ikut serta jadi bodoh dan korup demi mempertahankan kekuasaan,” (Pramoedya Ananta Toer).

Perlawanan. Satu kata yang terlihat jelas dalam hampir semua roman karya Pramoedya Ananta Toer. Tetralogi Pulau Buru, Midah Si Manis Bergigi Emas, Mereka Yang Dilumpuhkan, Gadis Pantai, atau Di Tepi Kali Bekasi.

Tetralogi Pulau Buru sendiri terdiri dari empat buku: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca. Semangat untuk melawan juga dititipkan pada epos mahadahsyat ini. Namun tidak hanya itu. Dalam Bumi Manusia, sekelompok manusia yang tergabung dalam The Nyai Ontosoroh Project melihat sisi feminis yang ingin ditampilkan Pramoedya.

Sisi feminis itu ditonjolkan dalam sudut pandang Nyai Ontosoroh sendiri, yang dalam cerita itu, bukanlah nyai biasa. Bukanlah gundik biasa. Nyai Ontosoroh terlahir dengan nama Sanikem. Seorang anak juru tulis pribumi bernama Sastrotomo. Sanikem dijual orang tuanya kepada seorang Belanda bernama Herman Mellema.

Oleh Mellema , ia diajari baca tulis, juga bahasa Belanda. Hingga ketika mendekati akhir hidupnya, Mellema menjadi pecundang besar. Ia sibuk bermabukan dan bermain-main di rumah bordil. Sebaliknya, Sanikem telah bermetamorfosis menjadi Nyai Ontosoroh.

Tidak hanya bisa baca tulis dan berbahasa Belanda tanpa cela, ia bahkan memimpin perusahaan keluarga. Menjadi ibu tunggal bagi Robert dan Annelies Mellema. Juga bisa bersolek dengan necis layaknya priyayi, meski darah biru tak pernah mengalir dalam tubuhnya.

Nyai Ontosoroh berperan besar bagi Minke, tokoh utama dalam Tetralogi Pulau Buru. Minke adalah menantu Nyai Ontosoroh, ia menikahi Annelies. Ketika akan mendirikan Medan , surat kabar pribumi pertama di Indonesia, Nyai Ontosoroh yang memberikan dorongan padanya.

“Kau nak, paling sedikit harus bisa berteriak. Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi sampai jauh, jauh di kemudian hari,” kata Nyai Ontosoroh kepada Minke, dalam Anak Semua Bangsa.

Tidak salah apabila The Nyai Ontosoroh Project memilih tokoh ini untuk dipentaskan dalam teater. The Nyai Ontosoroh Project terdiri dari Perguruan Rakyat Merdeka, Jaringan Nasional Perempuan Mahardhika, Elsam, LBH Apik Jakarta, Kalyanamitra, SP, KPI, Pramoedya Institut, Perkumpulan Seni Indonesia, LSPP, JARI, Pantau, Institut Ungu, Perkumpulan Praxis, ICW dan Yappika.

Rencananya, teater yang diproduseri oleh Faiza Mardzoeki ini akan ditampilkan pada 21,22 dan 23 April 2007, di Taman Ismail Marzuki. Sebelum pementasan, panitia menyelenggarakan diskusi seputar Nyai Ontosoroh. Diskusi pertama telah dilaksanakan di Goethe Institute pada 7 Desember 2006 lalu. Ketika itu, diskusi mengambil tema “Relevansi Figur Nyai Ontosoroh dalam Konteks Gerakan Perempuan”.

Sedangkan diskusi kedua dilakukan di Galeri Cipta III Taman Ismail Marzuki, Jumat (16/2) lalu. Tema yang diangkat adalah "Perempuan Dalam Roman Karya Pramoedya Ananta Toer". Hadir sebagai pembicara adalah aktivis Dita Indah Sari dan Rieke Dyah Pitaloka, serta penulis Eka Kurniawan.

“Karya Pram adalah simbol. Sebagai bentuk keberpihakan dan upaya untuk membela perempuan dalam budaya feodalisme dan patriarki,” kata Dita dalam diskusi malam itu. Menurutnya, tokoh perempuan dalam karya Pram bukan hanya sebagai pelengkap, apalagi sebagai pemanis. Perempuan, dihidupkan oleh Pram sebagai apresiasi.

Perempuan bisa mengungkapkan pemikirannya dan punya independensi, meski berlawanan dengan tradisi di zaman mereka hidup. “Ini terlihat dari tokoh Nyai Ontosoroh, Ang San Mei, Kartini dan Dewi Sartika dalam Tetralogi Pulau Buru,” tambahnya.

Rieke Dyah Pitaloka malam itu terlihat cantik mengenakan kaos hitam bertuliskan “Kebenaran tak turun dari langit. Dia harus diperjuangkan.” Rieke mengaku, perkenalan pertamanya dengan feminisme, didapat dari karya Pram yang berjudul Mereka yang Dilumpuhkan.

Isteri dari Donny Gahral Adian ini berpendapat, tokoh perempuan dalam roman Pram tidak semuanya diciptakan kuat. Ada juga yang diciptakan lemah seperti Annelies Mellema. Namun menurutnya, kelemahan dalam tokoh itu karena dibentuk oleh konstruksi sosial yang ada.
Annelies menjadi lemah karena perilaku incest yang dilakukan kakaknya, Robert Mellema.

“Karya Pram adalah tiruan dari realitas yang memang ada di masyarakat,” tambahnya.
Sedangkan menurut Eka, sebenarnya yang menjadi fokus dari cerita dalam karya Pram bukanlah tokoh tertentu seperti perempuan. “Yang menjadi fokus adalah relasi sosial antar tokoh,” katanya.

Di sela-sela diskusi, Dita juga sempat mengatakan, bagaimanapun tokoh perempuan dan lelaki dalam karya Pram digambarkan sebagai sosok yang kuat, namun pada akhir cerita mereka selalu kalah. “Tapi yang coba digambarkan Pram adalah bagaimana proses perjuangan mereka,” katanya.

Hal ini dibenarkan oleh Rieke. Namun walaupun kalah, menurutnya mereka kalah dengan terhormat. Seperti yang dikatakan Nyai Ontosoroh pada Minke, ketika Annelies dibawa pergi dengan paksa ke Belanda.

"Kita kalah, Ma," bisik Minke.
"Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya," jawab Nyai Ontosoroh.

Tussie Ayu Riekasapti

1 comment:

doddi Ahmad Fauji said...

Seingatku, tulisan yang ini asli ditulis Tussie, tapi muncul di Jurnas jadi lain, karena aku mengubahnya, tanpa maksud mengkhianatinya.
Tidak banyak aku tahu tentang Pram, tapi pernah membacanya tahun 1990-an gitu, Bumi Manusia yang pertama kubaca, buku yg beredar tahun 1981, yang dilarang oleh Kejaksaan RI.
Tidak banyak aku tahu tentang Pram, tapi tahun 1999 aku wawancara di rumahnya, dan dia itu kayak lok, selalu ngepul dengan asap dari moncongnya.
Tidak banyak aku tahu tentang Pram, tapi tahun 2006 aku termasuk yang membela dia dalam sebuah diskusi yang menyebut Pram itu kapitalis karena novel Bumi Manusia yang mau difilmkan, dia minta satu miliar (rupiah kok, bukan dolar)!