tag:blogger.com,1999:blog-302357712024-02-28T13:52:51.850+07:00KontemplasiTussie Ayuhttp://www.blogger.com/profile/01814514491432737413noreply@blogger.comBlogger40125tag:blogger.com,1999:blog-30235771.post-62606688094173197742009-07-17T18:56:00.002+07:002009-07-17T19:03:33.618+07:00Jakarta blast in tvOneJakarta Blast in tvOne<iframe allowfullscreen='allowfullscreen' webkitallowfullscreen='webkitallowfullscreen' mozallowfullscreen='mozallowfullscreen' width='320' height='266' src='https://www.blogger.com/video.g?token=AD6v5dx7no00JzoaRJFWl6GmObk1ktSyFb7uDVwyRTKZakyU2DnIs-SITdjsTJGyG8cU6Na6ZCi5GENNeCw' class='b-hbp-video b-uploaded' frameborder='0'></iframe>Tussie Ayuhttp://www.blogger.com/profile/01814514491432737413noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-30235771.post-35384020730412243782009-06-14T04:03:00.002+07:002009-06-14T04:30:30.710+07:00Checkpoint CharlieBerlin sedang tidak bersahabat. Bulan Juni yang seharusnya menjadi milik musim panas, kini masih dikuasai dingin yang menggigit. Kehangatan matahari terlambat datang tahun ini.<br /><br />Begitu pula sore itu. Ketika saya melintasi sisa-sisa tembok Berlin dan Checkpoint Charlie, hujan rintik membasahi jalanan. Angin kencang menyapu daun-daun, menabrak tubuh-tubuh yang berlalu lalang dan menerbangkan payung-payung. Tapi saya masih beruntung. Karena saya hanya merasakan dingin yang menggigit, bukan timah panas seperti yang dicicipi Peter Fechter 37 tahun lalu.<br /><br />17 Agustus 1962, Peter Fechter dan Helmut Kulbeik bersembunyi di sebuah bengkel tukang kayu dekat Checkpoint Charlie. Ketika petugas lengah, mereka memanjat tembok Berlin setinggi dua meter yang bertahtakan kawat berduri. Kulbeik berhasil melompati tembok Berlin. Namun malang bagi Fechter, dia tertembak dan meregang nyawa selama hampir satu jam, hingga akhirnya meninggal dunia.<br /><br />Fechter hanyalah seorang remaja berusia 18 tahun yang mencoba lari dari Jerman Timur ke Jerman Barat. Dia tercatat dalam sejarah karena menjadi orang pertama yang tewas di Checkpoint Charlie sejak tembok Berlin dibangun satu tahun sebelumnya.<br /><br />Nazi Jerman yang memiliki impact luar biasa di Eropa memaksa Amerika Serikat dan Uni Soviet melupakan sejenak pertikaian. Bersama Perancis dan Inggris, mereka menjatuhkan kediktatoran Hitler dan Nazi. Setelah Jerman berhasil direbut, wilayah negara ini dibagi menjadi empat bagian oleh Uni Soviet, Inggris, Amerika Serikat dan Perancis.<br /><br />Jerman Barat dikuasai oleh Inggris, Amerika Serikat dan Perancis. Sedangkan Jerman Timur oleh Uni Soviet. Antara tahun 1949 sampai tahun 1961 sudah lebih dari 2 juta penduduk Jerman Timur melarikan diri lewat Berlin. Hal ini membuat ekonomi Jerman Timur menjadi kedodoran karena orang-orang muda yang melarikan diri. Maka secara rahasia dan tiba-tiba, dibangunlah tembok Berlin.<br /><br />Setelah tembok Berlin dibangun, ada tiga checkpoint untuk melintasi Jerman Barat dan Timur. Fungsi utama checkpoint adalah untuk mendaftarkan dan menginformasikan anggota militer Jerman Barat sebelum memasuki Jerman Timur. Pintu pertama adalah Checkpoint Alpha yang berada di Helmstedt, pintu kedua bernama Checkpoint Bravo berada di Dreilinden, dan pintu ketiga yang satu-satunya berada di Berlin ada di Friedrichstrasse (Jalan Friedrich). Pintu ketiga ini bernama Checkpoint Charlie.<br /><br />Turis dan diplomat dari Jerman Barat diperkenankan memasuki Jerman Timur hanya melalui Checkpoint Charlie. Sedangkan orang Jerman Timur sama sekali tidak boleh melintasi perbatasan. Checkpoint Charlie menjadi lubang jarum yang harus dilewati warga Jerman Timur yang ingin penghidupan lebih baik di Barat. Di kemudian hari, tempat ini menjadi simbol perang dingin antara blok barat dan blok timur.<br /><br />Dalam himpitan perang dingin, tentu saja rakyat yang paling merasa sengsara. Berbagai drama pelarian diri terjadi di sekitar tembok Berlin sekitar Checkpoint Charlie. Keluarga Wetzels dan Strlzycks sedikit demi sedikit mengumpulkan kain nylon. Kain itu kemudian dijahit untuk membuat balon udara. Setelah persiapan selesai, mereka terbang dengan balon udara untuk melewati perbatasan. Delapan orang anggota keluarga ini berhasil melintasi perbatasan dengan selamat.<br /><br />Terowongan bawah tanah dibangun di atas pemakaman. Orang-orang berpura-pura berziarah dengan membawa karangan bunga. Mereka kemudian tiba-tiba menghilang dan tidak pernah terlihat lagi. Terowongan ini menghubungkan Jerman Barat dan Jerman Timur. Sebanyak 29 orang berhasil mencapai Jerman Barat dengan selamat melalui terowongan ini. Namun akhirnya keberadaan terowongan terbongkar karena seorang wanita terjatuh ke dalam terowongan dan meninggalkan bayinya di atasnya.<br /><br />Berbagai aksi melintasi perbatasan itu kini dapat dikenang di Mauermuseum Haus Am Checkpoint Charlie atau Museum Tembok Berlin di Checkpoint Charlie.<br /><br />Tahun ini rakyat Jerman merayakan 20 tahun runtuhnya tembok Berlin. Di Friedrichstrasse atau Jalan Friedrich, Checkpoint Charlie masih berdiri hingga saat ini. Namun kini tempat itu sudah berubah rupa demikian jauh. Tidak ada lagi kesuraman di Checkpoint Charlie. Kini, Friedrichstrasse menjadi bagian dari pusat kota Berlin dan tujuan utama wisata.<br /><br />Hanya sekitar 200 meter dari Friedrichstrasse, kita bisa menemukan gedung Bundestag (parlemen Jerman) yang sungguh menggambarkan kejayaan Eropa sejak lampau. Jika dibandingkan dengan gedung DPR di Senayan, gedung Bundestag jauh lebih kecil. Namun gadung ini kaya akan pahatan tangan seniman Eropa masa lalu. Saya pikir, ciri khas ini hanya dapat ditemui di Eropa. Tidak ada pagar tinggi dan pemeriksaan ketat di Gedung Bundestag. Bahkan gedung ini tidak berpagar sama sekali.<br /><br />Ok, dari Bundestag kita kembali menyusuri tembok Berlin dan Checkpoint Charlie. Hari ini memang bukan saat yang tepat untuk berjalan-jalan. Angin makin tidak bersahabat ketika saya meninggalkan Mauermuseum Haus Am Checkpoint Charlie. Dingin semakin menusuk tulang. Saya kemudian bergegas ke stasiun kereta bawah tanah untuk pulang dan mencari kehangatan. Auf Wiedersehen Checkpoint Charlie!Tussie Ayuhttp://www.blogger.com/profile/01814514491432737413noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-30235771.post-4093735779089510482009-05-31T14:44:00.005+07:002009-05-31T15:31:54.587+07:00LamaranWaktu berlari tanpa disadari. Ternyata sampai juga pada hari itu, Sabtu 9 Mei 2009. Pada hari ini, saya akan dilamar (ehm). Sama sekali tidak ada waktu untuk bersantai. Hingga hari Kamis, saya masih bekerja seperti biasa. Tapi untunglah saya libur pada Hari Jumat. <br /><br />Pagi buta pada hari Jumat, saya sudah bangun di kosan. Lalu buru-buru mandi dan berangkat ke Kedutaan Jerman untuk mengurus Visa. Pukul 06.00 WIB saya sudah nangkring di atas busway, dan pukul 07.00 WIB sudah ada di Kedutaan Jerman. Sebenarnya urusan di Kedutaan Jerman ini tidak ada urusannya dengan pernikahan. Ini adalah masalah lain.<br /><br />Untungnya staf konsuler di Kedutaan Jerman sangat tepat waktu dan kooperatif. Sehingga saya tidak perlu terlalu lama menghabiskan waktu disini. Lalu pukul 09.00 WIB saya sudah kembali ke kosan. Pukul 10.00 WIB saya sudah ada di RSCM untuk bertemu Tensi. Tensi adalah teman saya, yang saya minta untuk mengabadikan acara lamaran.<br /><br />Pukul 11.00 WIB saya ada di kwitang, mau menukarkan uang Euro. Tapi belum beruntung, karena di Ayu Masagung tidak ada uang Euro. Lalu saya meluncur ke Senayan City, ke Dua Sisi. Dua Sisi adalah money changer langganan saya dan RJ. Tapi di Dua Sisi Senayan City juga tidak ada Euro. Mas-mas di Dua Sisi menyarankan saya untuk ke Dua Sisi Plaza Senayan. Akhirnya saya ke Dua Sisi Plaza Senayan, dan memang benar ada beberapa puluh Euro, lumayan!<br /><br />Ketika pulang ke rumah, Mama, Papa, Papi, Mami, Mbak Ririn, Om Arif, Sasi, Tante Nining sudah menyiapkan semua perlengkapan lamaran. Thanx God I have them! Sorenya saya ke salon untuk luluran. Agh…felt like heaven!<br /><br />Dan selesailah hari ini.<br /><br />Hari H, saya bangun tidak terlalu pagi. Lalu mandi dengan santai. Pukul 15.00 WIB Mas Arry, periasku datang. Lalu langsung make over deh. Lalu pukul 16.00 WIB Tensi dan Yudha datang, dan langsung jeprat jepret.<br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh3eTacrZFJkSusbduAODZXSVmcThWyNNn4e4ihSNdNm0oS40jza8XIJITqFuoNe4cvux4DIJpYdXU9yoCfe-cQ8bW35ZRSc3BSXtqz9MrWTCJ9a6zT-p4E8PTWALDeyJI7X0Np/s1600-h/1.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 213px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh3eTacrZFJkSusbduAODZXSVmcThWyNNn4e4ihSNdNm0oS40jza8XIJITqFuoNe4cvux4DIJpYdXU9yoCfe-cQ8bW35ZRSc3BSXtqz9MrWTCJ9a6zT-p4E8PTWALDeyJI7X0Np/s320/1.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5341898987399692786" /></a><br /><br />Sekitar pukul 17.00 WIB saya selesai didandanin. Uhmmm…I like the make up very much. Meningkatkan kecantikan hingga 3 level hehehe. <br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjt82J6ppGpJukCLvyTrvagl7_mma_TYU2dHewq0H37o61wzKFeJeZ_z2d0slZo7ksvxvCFOphwCVBsnoEranCdAhV_rwsTLnk1w3KmxBD9tSjUwQ3REhRreHMQnzjREykiLzAA/s1600-h/2.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 213px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjt82J6ppGpJukCLvyTrvagl7_mma_TYU2dHewq0H37o61wzKFeJeZ_z2d0slZo7ksvxvCFOphwCVBsnoEranCdAhV_rwsTLnk1w3KmxBD9tSjUwQ3REhRreHMQnzjREykiLzAA/s320/2.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5341899476078302818" /></a><br /><br />Lalu, sudah tidak ada lagi yang dilakukan. Cuma ngobrol-ngobrol sama teman dan saudara-saudara yang datang. Hingga pukul 19.00 WIB, belum ada tanda RJ akan datang. Mama dan papa mulai resah. Saya lalu menelepon RJ, dan katanya baru berangkat dari rumah. Well, that’s always be a problem.<br /><br />Akhirnya RJ dan keluarga baru datang pukul 20.00 WIB.<br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgToyy3_6qgUJo5PnkYuov9tk1zEMc5UrWoEULmGenJkz9Twzk2Ljnr4iKTN-_Oq_MSyriL_MVhVXVincI5pobs2U4IRj2OcWC8zU9ror7VHFm-u9Nic0YDUvly51QCPTHd927N/s1600-h/3.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 213px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgToyy3_6qgUJo5PnkYuov9tk1zEMc5UrWoEULmGenJkz9Twzk2Ljnr4iKTN-_Oq_MSyriL_MVhVXVincI5pobs2U4IRj2OcWC8zU9ror7VHFm-u9Nic0YDUvly51QCPTHd927N/s320/3.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5341899741136803058" /></a><br /><br />Awalnya suasana tegang, tapi untung Papi adalah MC yang kocak dan bisa mencairkan suasana. Akhirnya malah acara jadi santai sekali. Saya dan RJ sama sekali tidak deg-degan. <br /><br />Acara cuma berlangsung sekitar 2 jam. Termasuk acara tantingan yang jayus itu.<br /><br />Tantingan itu, kata papi adalah tradisi Jawa, dimana orang tua menanyakan kesiapan anaknya untuk menikah. Tapi sepertinya papa terlalu banyak bertanya pada saya.<br /><br />Papa sampai bertanya:<br />“Dimana pertama kali bertemu Reza?”<br />“Kenapa mau menikah sama Reza?”<br /><br />Hihihihi..I was so embarrassed. Tapi ya sudahlah, seumur hidup cuma sekali ini papa membuat saya malu. Lalu tanpa terasa acara selesai. Dan sekarang saya sudah memiliki tunangan.<br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjvZasAbmmqgCGkotaC1Meyk1OJaqQMYEblXUgsAaUBiO2cBIIRIO2BsKVOx5q6vW8WDRyzPVTOdleYqrwPHjabHkequtpLY9D4Lr-ej-Mhbc0H_segfV-NbjMEUzQNF71Q7t-Z/s1600-h/10.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 258px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjvZasAbmmqgCGkotaC1Meyk1OJaqQMYEblXUgsAaUBiO2cBIIRIO2BsKVOx5q6vW8WDRyzPVTOdleYqrwPHjabHkequtpLY9D4Lr-ej-Mhbc0H_segfV-NbjMEUzQNF71Q7t-Z/s320/10.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5341901923216658466" /></a><br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgk8wfWTbpjlgrVnRHyZhANd-K9PGs1l9IDgNhodc5xzb0yL8PF0EZeSExtr00uN7_55TSlpieLrF9s0EsRkxUHsClb4vy-5LgbY165qvBZstDgvRWPTCsRTLmiXlfUl3scGafA/s1600-h/11.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 200px; height: 156px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgk8wfWTbpjlgrVnRHyZhANd-K9PGs1l9IDgNhodc5xzb0yL8PF0EZeSExtr00uN7_55TSlpieLrF9s0EsRkxUHsClb4vy-5LgbY165qvBZstDgvRWPTCsRTLmiXlfUl3scGafA/s200/11.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5341902144910985298" /></a>Tussie Ayuhttp://www.blogger.com/profile/01814514491432737413noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-30235771.post-8966424711975895502009-05-27T21:51:00.001+07:002009-05-27T21:58:11.331+07:00KoperBeberapa hari lalu, saya dan RJ pergi ke plaza Senayan. Kami mampir di Sogo, dan melihat sale koper-koper yang menggiurkan. Saya dan RJ memang ingin membeli koper bersama. Karena sebentar lagi saya akan pergi ke Berlin, dan koper besar RJ sudah rusak sejak dia kembali dari Vancouver. Jadi kami berencana membeli koper yang bisa dipakai bergantian. <br /><br />Walaupun sedang sale, harga koper-koper itu tetap selangit. RJ naksir sekali dengan koper Polo abu-abu besar. Meski tambun, tapi koper ini ringan sekali. Saya bahkan bisa mengangkatnya tinggi-tinggi dengan sebelah tangan. Ada empat roda besar di bawahnya yang membuat koper ini bisa berputar 360 derajat. Saya merasa seperti pramugari Singapore Airlines ketika menggeret koper ini.<br /><br />“Ini ngga pake retsleting. Jadi nanti ngga bisa dirusak orang lagi,” begitu kata RJ. Tapi saya melotot melihat harganya, “It’s too expensive,” kata saya.<br /><br />RJ bersikeras, karena katanya koper ini akan terus dibutuhkan, terutama kalau kelak dia akan penempatan.<br /><br />“Sayang, tapi kamu penempatan masih sekitar empat tahun lagi,” kata saya dengan alis terjengkit.<br />“Yah kan ngga apa-apa dibeli dari sekarang, kita juga butuh dari sekarang,” ujarnya tetap keukeuh.<br /><br />Saya masih merasa tidak terlalu membutuhkan koper mahal itu. Lalu saya menelepon papa saya.<br />“Pa, di rumah ada koper ngga? Buat Tussie pake ke Berlin?”<br />“Ada tuh,” kata papa saya singkat.<br />“Kopernya kayak gimana?”<br />“Yah nanti liat aja sendiri. Emang kenapa?”<br />“Kalo ngga ada, Tussie mau beli niy.”<br />“Emang Tussie di mana sekarang?”<br />“Di PS,”<br />“Berapa harganya?”<br />“Satu juta,”<br />Demi mendengar kalimat terakhir saya, papa langsung mengatakan,<br />“Ngga usah! Liat aja dulu yang di rumah. Kalo ngga bisa dipake, nanti baru beli yang baru.”<br /><br />Saya lalu menutup telepon dan berkata pada RJ,<br />“Kata papa ngga usah beli dulu, liat aja koper yang ada di rumah.” RJ lalu menyerah, dan kami tidak jadi membeli koper Polo yang keren itu.<br /><br />Sambil berjalan meninggalkan Sogo, saya sudah terbayang. Pasti koper yang papa maksud adalah koper hitam persegi panjang yang usang. Dan benar saja. Ketika saya pulang ke rumah, mama sudah menyiapkan koper besar persegi panjang itu. <br /><br />Sepanjang ingatan saya, koper itu sudah bertengger di atas lemari kamar papa. Sejak kecil, kalau papa akan pergi lama, koper itu yang selalu menemaninya. Saya tidak tau ke mana saja koper itu sudah singgah. Tapi saya yakin, kali ini akan menjadi lawatan pertamanya ke Eropa.<br /><br />Koper ini tidak memiliki pegangan canggih yang bisa dimasukkan dan dikeluarkan. Hanya ada seutas tali kecil yang akan saya tarik jika ingin membawanya. Ada empat roda mungil di bawahnya, berdiameter tidak lebih besar dari bola pingpong. Jauh sekali dari kesan stylish, apalagi pramugari Singapore Airlines. Dengan koper ini, saya lebih terlihat seperti anak kampung yang akan merantau ke kota.<br /> <br />Saya lalu teringat pada teman saya, Riza Hanafi. Riza adalah bocah perantauan dari Jombang. Entah karena memang pintar atau beruntung, dia mendapatkan beasiswa ADS dari pemerintah Australia. Di hari-hari terakhirnya bekerja di Jurnal Nasional, saya dan Riza duduk di teras gedung belakang Jurnal Nasional. Riza bercerita tentang………koper.<br /><br />“Tus, aku tuh mau ke Ostrali, tapi ngga punya koper. Aku juga ngga punya uang buat beli koper.”<br />“Uhmmm..kayaknya gw di rumah punya beberapa koper. Punya bokap siy, tapi lo boleh pinjem kok,”<br />“Ngga Tuss, aku ngga mau minjem,”<br />“Lho, kenapa? Daripada lo beli? Lagian lo juga ngga punya duit.”<br />“Tuss, koper itu harus aku beli sendiri. Karena menurutku, koper itu cerita kita, sejarah kita. Cuma koper itu yang menemani kita selama pergi. Biarpun ngga punya uang, aku harus beli koper sendiri. Aku mungkin bakal nyari koper bekas di Jalan Surabaya,” kata Riza.<br /><br />Perkataan Riza itu lewat sambil lalu di benak saya. Saya tidak pernah lagi bertanya padanya, koper apa yang akhirnya dia pakai? Di mana dia membeli koper itu? Setelah pembicaraan itu, saya tidak sekalipun mengingat-ingatnya lagi. Sampai hari ini. <br /><br />Kini saya mengerti, mengapa Naomi Campbell bisa menghajar petugas bandara Heathrow di London karena bagasinya hilang. Naomi akhirnya dipenjara karena ulahnya itu.<br /> <br />Saya kini mengerti, mengapa Riza bersikukuh akan membeli kopernya sendiri. Dan saya mengerti, mengapa RJ ngotot sekali membeli koper Polo yang mahal itu.<br /><br />Bukan karena koper Polo itu keren sekali. Bukan karena berlimpah materi dan berniat untuk berfoya-foya. Bukan agar terlihat necis. <br /><br />Tapi karena koper itu adalah satu-satunya teman kita ketika bepergian. Karena koper itu menyimpan semua yang kita butuhkan. Karena koper itu adalah cerita. Koper itu adalah petualang yang telah menjelajah berbagai kota, negara, melalui zona waktu yang berbeda. Dan juga karena koper itu adalah warisan. Koper itu melintasi generasi. Dari papa, lalu kepada saya.Tussie Ayuhttp://www.blogger.com/profile/01814514491432737413noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-30235771.post-65900692305978540862009-05-05T07:59:00.002+07:002009-05-05T08:01:24.961+07:00Cengeng!Cengeng!<br /><br />Karena saya begitu kesepian saat ini. Karena saya selalu mau dia di sini. Walaupun saya sudah sadar sepenuhnya, dia tidak bisa selalu ada buat saya. Dan saya harus selalu kokoh untuk bisa mandiri.<br /><br />Tapi sekali ini, saya memang ingin menjadi cengeng. Karena saya menginginkannya tanpa alasan. Hanya berharap dia ada disini dan kami melakukan hal-hal yang biasa dilakukan.Tussie Ayuhttp://www.blogger.com/profile/01814514491432737413noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-30235771.post-15108647722049063122009-05-04T08:56:00.002+07:002009-05-04T08:59:06.868+07:00Mengapa Menikah?Mengapa kita menikah? Pasti banyak alasan untuk memutuskan menikah atau tidak menikah. Tapi buat saya, kita menikah karena sudah menemui orang yang tepat. Dan karena saya sudah menemukan orang yang tepat, saya memutuskan untuk menikah.<br /><br />Tapi keputusan untuk menikah sebenarnya juga tidak sesederhana itu. Di dalam kepala saya selalu ada pikiran-pikiran yang membuat takut. Apakah saya bisa menjadi istri yang baik? Apakah saya akan kehilangan kebebasan saya setelah menikah? Apakah RJ akan menjadi suami yang baik? Apakah saya masih bisa bermanja-manja dengan mama saya setelah menikah?<br /><br />Tapi ya sudahlah…toh pada akhirnya cepat atau lambat saya akan menikah. Saya mencoba untuk membuang semua pikiran-pikiran buruk dan memberanikan diri untuk menikah.<br /><br />Kemudian mulailah persiapan pernikahan. Suatu malam, saya dan RJ baru saja pulang jalan-jalan. Kemudian RJ mengantarkan saya pulang. Ketika di rumah, mama menanyakan tentang ‘masa depan’ hubungan kami. Kemudian RJ bicara pada papa dan mama tentang rencana-rencana yang telah kami bicarakan sebelumnya.<br /><br />Kemudian, persiapan pernikahan mulai disiapkan. Yang paling menguras pikiran dan tenaga adalah proses pencarian gedung. Maret 2009, saya sudah mulai mencari tempat pernikahan. Perburuan dimulai melalui telepon. Hampir semua gedung di Jakarta sudah dihubungi, dan mayoritas tanggal yang kami inginkan sudah dipesan orang lain.<br /><br />Kami juga sempat melihat venue-venue pernikahan langsung seperti Museum Satria Mandala, Gedung Arsip dan Gedung Smesco. Dari tiga tempat ini, I’m totally in love with Gedung Arsip. Tapi ada beberapa catatan dari RJ, yaitu tempat parkirnya kecil, terus lokasinya macet dan jauh. Ternyata ortu saya dan ortu RJ juga ngga suka dengan Gedung Arsip. Yah…memang ngga semua yang lo mau bisa lo dapet.<br /><br />Pencarian dimulai lagi. Kami melihat Golf Pondok Indah. Uhm..sebenernya gedungnya biasa aja. Malahan gedungnya kecil buat ukuran resepsi pernikahan. Tapi viewnya benar-benar indah. Hamparan rumput hijau lapangan golf pasti langsung menyita perhatian. Saya, RJ dan ortu saya sudah suka dengan tempat ini, dan kami sudah mau membayar DP.<br /><br />Tapi pengelola gedung ini menurut saya sungguh tidak professional. Mereka tidak mau menerima DP. Alasannya, mereka akan mengadakan rapat anggaran bulan Mei. Jadi ada kemungkinan harga-harga gedung dan makanan akan naik. Padahal sebenarnya harga yang dipatok saat ini sudah cukup mahal, apalagi ditambah PPn 21%. Tapi oke deh, kami tunggu, karena sudah cape nyari-nyari tempat lagi.<br /><br />Hingga akhir april, RJ menelepon kembali pengelola gedung. Jawabannya malah semakin tidak jelas. Katanya rapat anggaran ditunda hingga bulan Juni. Mereka malah menyarankan kami mencari gedung lain. Aneh kan?<br /><br />Kemudian pencarian dimulai lagi. Saya dan RJ menelepon gedung-gedung yang saya suka. Berharap ada orang yang membatalkan pernikahan di tanggal yang kami inginkan. Sebenarnya gedung-gedung ini sudah kami telepon bulan maret lalu. Tapi yah, kita tidak pernah tau kapan rezeki akan dating kalau tidak berusaha.<br /><br />Saya dan RJ menelepon Balai Sudirman, Bidakara, PTIK dan Manggala Wanabhakti. Ajaib! Ternyata di Balai Sudirman Panti Perwira masih ada untuk tanggal 13 Desember malam. Padahal sebelumnya kami sudah menelepon dan katanya pada tanggal 12 dan 13 Desember sudha penuh. Well, sebenarnya saya dan RJ lebih suka pernikahan pada tanggal 12 Desember. Tapi kalau sudah begini, ambil saja tanggal 13 Desember! Dan kemudian DP dibayar. Selesai urusan gedung!Tussie Ayuhttp://www.blogger.com/profile/01814514491432737413noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-30235771.post-65804533581557812912009-04-02T15:29:00.000+07:002009-04-02T15:30:27.886+07:00Berlin, I'm Comin!Ini adalah hari yang bersejarah. Saya sudah menunggu hari ini sejak dua bulan lalu, ketika saya diwawancara di Kedutaan German untuk beasiswa journalism short course dari International Institute of Journalism di Berlin, German. Program yang saya bidik kali ini adalah Multimedia and Online Journalism.<br /><br />Tahun lalu, saya pernah mencoba beasiswa ini, tapi program yang berbeda. Tahun lalu saya melamar untuk program Summer Academy, dan tidak diterima. Saya membandingkan habis-habisan kekurangan saya dibandingkan aplikasi yang diajukan Priska, teman saya yang berangkat ke Berlin tahun lalu. Ternyata memang application letter saya jauh lebih jelek dari Priska. Pantas saja tahun lalu Priska yang diterima.<br /><br />Kalau boleh berkilah, tahun lalu saya hampir tidak punya banyak waktu untuk merapikan application letter. Bahkan seminggu sebelum batas waktu application letter dikirimkan, saya harus bertugas ke luar kota. Akhirnya application letter dan semua berkas baru dikirimkan pada hari terakhir deadline yang diberikan. Itu pun isinya centang prenang.<br /><br />Tahun ini, saya sudah belajar banyak. Lebih dari satu bulan sebelum deadline penyerahan aplikasi, saya sudah mempersiapkan surat-surat dan persyaratan yang dibutuhkan. Beberapa translator saya kerahkan buat merevisi bahasa Inggris tulis saya yang pas-pasan, yaitu RJ, Reka dan Miss Yayah, guru bahasa Inggris di LIA (thank you so much, guys!). Begitu juga dengan rekomendation letter dari Meta dan Priska yang saya contek. Hehe..makasih yah semuanya.<br /><br />Dan pagi ini, saya tau, akan ada satu buah email di sela-sela surat masuk lainnya. Itu adalah email yang istimewa. Jantung saya mau copot ketika membacanya. Judul email itu hanya satu kata “acceptance”. Apakah ini artinya saya diterima?<br /><br />Tahun lalu, ketika saya ditolak, bukan itu judul yang dibubuhkan pada email. Jadi ini pasti berarti saya diterima! Untunglah internet kantor hari ini sedang bersahabat, jadi email itu langsung terbuka dan ternyata saya memang diterima!<br /><br />Hal pertama yang terpikir saat itu adalah: Tuhan baik sekali pada saya. Padahal pagi ini saya tidak sholat subuh karena kesiangan bangun. Akhir-akhir ini saya juga suka malas berdoa. Biasanya sehabis sholat, saya akan berdoa lama. Membacakan serentetan panjang permintaan saya pada Tuhan. Tapi ketika saya sedang malas berdoa sekalipun, Tuhan tidak pernah meninggalkan saya.Tussie Ayuhttp://www.blogger.com/profile/01814514491432737413noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-30235771.post-87152913306727261712008-10-29T15:34:00.001+07:002008-10-29T15:36:40.221+07:00Tia, Krisdayanti Membohongimu<p class="MsoNormal"><span style="font-size: 10pt; font-family: Verdana;">Malam itu Senin, 27 Oktober 2008. Geng sedang berkumpul di tempat biasa, seafood Ayu Kelapa Gading. Tempat kami merayakan sesuatu, makan seafood sepuasnya dengan harga murah…plus…tentunya kabar-kabar dan gosip terbaru.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 10pt; font-family: Verdana;">Tia adalah salah seorang temanku. Di antara kami, aku pikir dia adalah yang paling peduli dengan penampilan. Dia merasa gendut, padahal menurutku dia tidak terlalu gendut. Dia pernah mencoba berbagai macam cara untuk mengurangi bobotnya. Misalkan dengan suntik kurus, seperti yang disarankan salah satu teman kami Kiki. Kiki adalah beauty advisor-nya Tia. Sebenarnya ini lucu. Tia seringkali mengikuti saran Kiki tentang bagaimana cara menguruskan badan. Padahal sebenarnya Kiki jauh lebih gendut daripada Tia.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 10pt; font-family: Verdana;"><o:p></o:p>Lalu Tia juga pernah jadi member tetap di salah satu pusat kebugaran. Kabarnya, harga member itu lumayan bikin tipis dompet. Tapi dia rela demi menguruskan badan. Belum lagi berbagai perawatan muka dan kulit. Komplit deh pokoknya.<o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 10pt; font-family: Verdana;">Lalu malam itu, salah satu yang kami bicarakan adalah Krisdayanti. Suatu hari, Tia mewawancarai Kridayanti. Dia bertaya pada KD, <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 10pt; font-family: Verdana;">“Mbak, kok rambutnya bagus sekali. Rahasianya apa?” <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 10pt; font-family: Verdana;">“Oh, saya ngga pake apa-apa lho. Cuma pakai Sunsilk hitam,” kata KD.<o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 10pt; font-family: Verdana;">Saya serta merta menyahut. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 10pt; font-family: Verdana;">“Ah, mana mungkin. Itu <st1:state st="on"><st1:place st="on">kan</st1:place></st1:State> karena dia bintang iklannya Sunsilk aja,”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 10pt; font-family: Verdana;">Dengan semangat ’45, Tia mengamini perkataan saya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 10pt; font-family: Verdana;">“Iya tuh. Tadinya gw percaya. Terus gw baca majalah Femina. Di Femina dia bilang, dia tuh sering pake serum buat rambut. Satu kali serum harganya Rp 6 juta!”<o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 10pt; font-family: Verdana;">Lalu Tia bercerita, Krisdayanti juga mengatakan padanya tentang satu lagi rahasia rambut indah. Kata Mbak KD, keramaslah sebelum tidur. Dan Tia mempercayai bulat-bulat “rahasia” itu. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 10pt; font-family: Verdana;">Suatu malam sebelum tidur, Tia mencuci rambutnya. Dalam keadaan rambut yang basah, dia lalu pergi tidur. Keesokan paginya, rambut Tia lepek bukan buatan. <o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 10pt; font-family: Verdana;">“Krisdayanti bohong!,” pekik Tia.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 10pt; font-family: Verdana;">Dengan santai, Okky berkata,<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 10pt; font-family: Verdana;">“Tia, kita dari kecil juga udah tau. <st1:place st="on"><st1:state st="on">Kan</st1:State></st1:place> itu pengetahuan umum. Jangan tidur dengan rambut basah. Yang ada rambut lo jadi bau,” katanya.<o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 10pt; font-family: Verdana;">“Iya,” kata Tia. “Tapi tadinya gw pikir, itu Kridayanti gitu loh. Mana mungkin Krisdayanti boongin gw?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 10pt; font-family: Verdana;">But the fact is, she’s lie to you, hunny.<o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><st1:place st="on"><span style="font-size: 10pt; font-family: Verdana;">Meta</span></st1:place><span style="font-size: 10pt; font-family: Verdana;"> lalu bersuara. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 10pt; font-family: Verdana;">“Dia itu artis, Tia. Apapun yang ada di diri dia itu <i style="">fake</i>, palsu!”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 10pt; font-family: Verdana;">Well, saya juga pernah bertemu langsung dengan Krisdayanti. Waktu itu sedang ada acara Ibu Negara di Istana Negara. Krisdayanti ditugaskan untuk bernyanyi dalam acara itu. Hari itu, saya juga terpukau. Mungkin juga seperti Tia ketika dia mewawancarai Kridayanti.<o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 10pt; font-family: Verdana;">Krisdayanti hari itu cantik sekali menurut saya. Dia tidak berdandan berlebihan seperti biasanya. Dia hanya memakai baju batik dan rok hitam selutut. Kulitnya putih mulus, matanya berbinar, hidungnya mancung, bibirnya mungil. Dan yang paling berkilau adalah rambutnya. <o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal"><span style="font-size: 10pt; font-family: Verdana;">Rambutnya dibiarkan menjuntai hingga ke punggung. Warnanya hitam berkilau. Walaupun saya tidak menyentuh rambutnya, tapi saya yakin, rambutnya pasti sehalus sutera. Tapi masalahnya, saya tidak tahu, apakah itu rambut asli atau rambut palsu.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 10pt; font-family: Verdana;">Uhhhmm saya jadi ingat tentang sesuatu. Saya pernah menonton Oprah Winfrey Show. Oprah menunjukkan edisi terbaru majalah “O”. Di majalah itu, Oprah terlihat sungguh manis dengan rambut yang melambai-lambai ditiup angin dan wajah berseri-seri. Oprah lalu berkata,<o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 10pt; font-family: Verdana;">“Jangan pikir saya bangun dengan wajah seperti ini. Sebenarnya, saya sudah menghabiskan waktu selama dua jam untuk sesi pemotretan ini. Lalu ada dua kipas angin besar yang membuat rambut saya terus melambai.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 10pt; font-family: Verdana;">Sepertinya hukum “Jangan Selalu Percaya Pada Mata Anda” itu memang benar. Saya baru beberapa bulan bekerja di salah satu stasiun televisi swasta. <st1:city st="on"><st1:place st="on">Ada</st1:place></st1:City> seorang presenter lelaki yang guanteng sekali di televisi. Sebelum kerja di sini, saya mabuk kepayang kalau melihat dia siaran. Matanya, alisnya, ah…sungguh lelaki impian…<o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 10pt; font-family: Verdana;">Tapi ketika saya melihatnya langsung sedang memakai seragam, lalu makan di kantin. Oh my Gosh! He just like a boy next door neighbor..biasa banget. Dia seperti wajah-wajah orang <st1:country-region st="on"><st1:place st="on">Indonesia</st1:place></st1:country-region> kebanyakan. Kalau kamu bertemu dia di pinggir jalan, kamu tidak akan berpikir untuk melihatnya berlama-lama.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 10pt; font-family: Verdana;">Well, that’s the power of make up. Tidak ada orang yang bangun tidur udah terlihat begitu cantik atau ganteng. Media <st1:city st="on"><st1:place st="on">massa</st1:place></st1:City> sudah begitu sukses membuat semua terlihat berkilau dan menawan. Lalu manusia-manusia lugu di luar <st1:city st="on"><st1:place st="on">sana</st1:place></st1:City> berusaha setengah mati untuk berusaha tampil secantik mereka.<o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 10pt; font-family: Verdana;">Krisdayanti berdandan selama berjam-jam untuk bisa terlihat sesempurna itu. Begitu juga dengan presenter-presenter di televisi. Lighting, tata kamera, make up yang sempurna telah membuat semua tampak indah. Tapi itu semua palsu. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 10pt; font-family: Verdana;">Tia, Krisdayanti membohongimu. Jadi tidak usahlah seperti Krisdayanti. <o:p></o:p></span></p>Tussie Ayuhttp://www.blogger.com/profile/01814514491432737413noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-30235771.post-35273705625299309412008-06-10T15:22:00.002+07:002008-06-10T15:34:07.309+07:00Taman Bermain<span style="font-size:180%;"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEge7FGu9CfSLGHbGLNx91u-WEajWO81roPjP8PD-AO4lM-bd5Jfzc3GAILeumsoO6I6f5z6B_LQBe2RiHjqi3tjFltxOo25VAc2Fd474qm2C-_Jl5fMA-x6qOLPoUKJ0uAE-dmc/s1600-h/154-155_carousel_print.jpg"><img style="margin: 0px auto 10px; display: block; text-align: center; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEge7FGu9CfSLGHbGLNx91u-WEajWO81roPjP8PD-AO4lM-bd5Jfzc3GAILeumsoO6I6f5z6B_LQBe2RiHjqi3tjFltxOo25VAc2Fd474qm2C-_Jl5fMA-x6qOLPoUKJ0uAE-dmc/s320/154-155_carousel_print.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5210166561089655858" border="0" /></a><br /></span> <p class="MsoNormal"><span style=";font-family:";font-size:180%;" ><br /></span></p><p class="MsoNormal"><span style=";font-family:";font-size:180%;" >Tahukah kamu? Aku hidup dalam sebuah taman bermain. Tempat berkumpulnya para bocah. Apa yang kamu sukai, semua ada di sini. <st1:city st="on"><st1:place st="on">Ada</st1:place></st1:city> permainan jungkat jungkit, ada ayunan, seluncuran, komidi putar dan tiang-tiang pan</span><span style=";font-family:";font-size:180%;" lang="SV" >jatan. </span><span style=";font-family:";font-size:180%;" >Silakan pilih yang kamu suka. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style=";font-family:";font-size:180%;" >Aku senang sekali bermain di sini. Aku suka berayun ke setingginya, kemudian memanjat tali dan tiang-tiang. Aku dan beberapa bocah senang berlomba-lomba mencapai puncak tiang. </span><span style=";font-family:";font-size:180%;" lang="SV" >Tapi ketika berada di puncaknya, ada bocah-bocah lain yang meneriakiku. </span><span style=";font-family:";font-size:180%;" >Katanya aku tidak boleh berada di atas selamanya. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style=";font-family:";font-size:180%;" lang="SV" >Karena itu, aku turun dengan gontai. </span><span style=";font-family:";font-size:180%;" lang="FI" >Lalu aku mencari mainan lain. Ah, bukankah aku juga suka berayun setingginya di ayunan. Aku mengayuh ayunan sekuat tenaga. Aku bisa terbang tinggi...tinggi...tinggi sekali. Ketika memejamkan mata, aku merasa bisa menyentuh awan dengan jemari.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style=";font-family:";font-size:180%;" lang="SV" >Ketika sedang asik bercumbu dengan awan, aku tersentak. Para bocah yang ada di bumi berteriak dan memberengut. Katanya, aku harus berhenti. Karena ini adalah taman bermain. Aku harus mau bergantian memakai ayunan. Aku tidak boleh memakainya seorang diri.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style=";font-family:";font-size:180%;" lang="SV" >Aku pun menurut seraya turun dari ayunan. Aku kemudian mencoba jungkat jungkit. Memang menyenangkan ketika badanku terlontar ke udara. Tapi aku tidak suka ketika menerima kenyataan, bocah-bocah yang berada di papan jungkit seberang semakin berat. Mereka ramai-ramai mengeroyoki dan membebani papan jungkat jungkit. Sedangkan aku hanya sendirian dan harus melontarkan mereka dengan hentakan kaki-kaki mungilku. Aku sudah tidak kuat mengayuh.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style=";font-family:";font-size:180%;" lang="SV" >Aku meninggalkan jungkat jungkit dan berlari kecil ke papan seluncuran. </span><span style=";font-family:";font-size:180%;" lang="FI" >Kaki mungilku terengah menapaki tangga. Melesat di papan ini tampak menyenangkan. Tapi ternyata, aku terjun semakin jauh dan dalam, terperosok, tersungkur, terpuruk dan terperangkap di perut bumi. Napasku tersengal dalam lubang besar, hitam, menganga, yang sudah menelanku bulat-bulat. Tapi aku bisa tetap berdiri...tertatih keluar dari perangkap dengan bersimbah air mata. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style=";font-family:";font-size:180%;" lang="FI" >Akhirnya aku memu</span><span style=";font-family:";font-size:180%;" lang="SV" >tuskan untuk duduk sendiri di pojok taman. Aku memperhatikan setiap kelakuan anak-anak. Ada seorang anak lelaki, yang terlahir hanya untuk menyalahkan teman-temannya. Dia selalu merasa paling benar. Dia merajuk bila bocah lain tak menuruti keinginannya. Dia mengumpat, menyumpah dan mengata-ngatai. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style=";font-family:";font-size:180%;" lang="SV" >Lalu ada juga seorang anak lain. Ia berlaku bagai mandor bagi bocah lain. Ia memang bercita-cita menjadi polisi jika besar nanti. Tapi saat ini, jadi mandor kecil sudah cukuplah baginya. Semua anak dia paksa untuk bisa memanjat setinggi-tingginya. Semua anak harus berlari tanpa henti. Ia tidak menghiraukan jeritan-jeritan melengking yang memilukan. Baginya, kenikmatan untuk bisa selalu dihormati adalah sesuatu yang tak ternilai. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style=";font-family:";font-size:180%;" lang="SV" >Ada juga anak perempuan yang suka menjahili teman-temannya. Dia sering melempar kerikil ke kepala bocah lain. Bocah-bocah yang kepalanya terluka akibat lemparan ini menangis. Mereka menyalahkan anak perempuan itu. Kalau sudah terjepit begini, si bocah perempuan pasti dengan lihai menyembunyikan kedua belah tangannya yang menggenggam penuh kerikil. Lalu dengan ringan, dia akan berkata, “Bukan aku yang melempar.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style=";font-family:";font-size:180%;" lang="SV" >Ada juga dua bocah yang selalu bertengkar. Mereka memperebutkan permen loli besar yang sangat manis. Permen loli itu bulat dan melingkar-lingkar. Warnanya merah, putih dan hijau. Melihatnya saja sudah membuat liur anak-anak menetes. Permen loli adalah nyawa bagi keduanya. Karena itu, apapun akan dilakukan demi mendapatkan permen loli terlezat.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style=";font-family:";font-size:180%;" lang="SV" >Selain itu, ada juga gerombolan anak yang paling suka mencaci. Menertawakan bocah yang terperosok ketika mencoba memanjat tiang. Menyeringai ketika ada kanak-kanak yang kepalanya luka terkena kerikil. Bagi kelompok bocah ini, tangisan dan rengekan anak-anak adalah alunan musik yang merdu.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style=";font-family:";font-size:180%;" lang="SV" >Dan yang tak kalah menyebalkan, ada juga barisan anak-anak pemalas. Mereka tidak mau melakukan apapun. Namun demikian, mereka merasa paling banyak berbuat bagi taman bermain. Mereka sudah merasa berjasa. Dan mereka akan ngambek jika ada yang mengganggu kedamaian mereka. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style=";font-family:";font-size:180%;" lang="SV" >Aku mendengus. Sudah tidak ada apapun yang bisa dilakukan. </span><span style=";font-family:";font-size:180%;" lang="FI" >Taman bermain ini sudah tampak asing. Sudah tidak menyenangkan lagi, sekeras apapun aku berusaha.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style=";font-family:";font-size:180%;" lang="FI" >Sekeras apapun aku berusaha, tidak ada yang akan terjadi. </span><span style=";font-family:";font-size:180%;" lang="SV" >Aku menunggu dengan berjuta utopia yang sudah menari-nari di kepala. Tapi ia tidak pernah menghampiriku. Air mata berkumpul di pelupuk mata ketika impian terlihat semakin samar dan jauh. Rasa bagai teriris menggerogoti, ketika menyadari yang dikejar dan ditunggu ternyata tak lebih dari hembusan angin kosong.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style=";font-family:";font-size:180%;" lang="FI" >Anak-anak yang sudah beranjak dewasa kebanyakan telah memutuskan untuk keluar. Mereka angkat kaki dengan banyak alasan. Tapi aku tahu alasan sebenarnya. </span><span style=";font-family:";font-size:180%;" lang="SV" >Karena mereka sudah tidak tahan akan mental kekanak-kanakan ini.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style=";font-family:";font-size:180%;" lang="SV" >Semak belukar sudah rimbun menusuk kaki kami dengan onaknya. Jeritan kesakitan terdengar setiap hari. Aku sudah membaca, dan waktu semakin mengejar. Dia menarikku dan tidak mau menunggu.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style=";font-family:";font-size:180%;" lang="FI" >Aku ingin menjadi orang dewasa yang tidak kehilangan kegembiraan menjadi kanak-kanak. Tapi aku tidak ingin menjadi kanak-kanak yang terjebak dalam tubuh orang dewasa. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style=";font-family:";font-size:180%;" lang="SV" >Taman bermain ini yang mengantarkan aku menjadi dewasa. Bukankah menerima kehidupan berarti menerima kenyataan bahwa tak ada hal sekecil apapun yang terjadi karena kebetulan? <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style=";font-family:";font-size:180%;" lang="FI" >Hidup di taman bermain ini, bukanlah kebetulan. Semua hal kecil yang kuanggap kesedihan, musibah dan cobaan, adalah potongan-potongan puzzle yang akan membentuk kedewasaan secara utuh. </span><span style=";font-family:";font-size:180%;" lang="SV" >Dan ketika kedewasaan sudah utuh, aku akan mendapatkan satu impian yang tersisa : <b style="">AKU TIDAK AKAN SEPERTI MEREKA.<o:p></o:p></b></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style=";font-family:";font-size:180%;" lang="SV" >***<o:p><br /></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style=";font-family:";font-size:180%;" lang="FI" >Aku berjalan sendiri...<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style=";font-family:";font-size:180%;" lang="FI" >Menuju komidi putar yang menyilaukan. Lampu-lampunya memekakkan mata, membutakan telinga. Lonjakan adrenalin memaksa untuk menuju ke sana. Ada banyak kuda berwarna-warni. Hitam, cokelat dan putih. Dikepala mereka berkerlip cahaya, ekornya berkibas kaku. Persis seperti impian masa kecilku.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style=";font-family:";font-size:180%;" lang="FI" >Aku memilih si kuda putih. </span><span style=";font-family:";font-size:180%;" lang="SV" >Di atas kepalanya ada tanduk melingkar. Di punggungnnya terlipat rapi sayap yang lebar. Dia adalah unicorn. Kusentuh surai lembutnya, kututup mataku. Ah...rasanya persis seperti dalam mimpi. Lalu aku menginjak sadelnya, dan naik ke atas pelana.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style=";font-family:";font-size:180%;" lang="SV" >Musik mengalun, <i style="">Serenade de Schubert</i>, lagu pengantar tidur ketika kanak-kanak dulu. Lampu mengerjap kembali. Bintang-bintang bertaburan mengoyak kegelapan malam.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style=";font-family:";font-size:180%;" lang="SV" >Sang unicorn membawaku berputar. Semakin kencang dan cepat. Dunia berputar dan kepalaku pusing. Aku menutup mata. Unicorn membawaku terbang jauh sekali dari taman bermain. Aku pergi menuju impian baru. <o:p></o:p></span></p>Tussie Ayuhttp://www.blogger.com/profile/01814514491432737413noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-30235771.post-67863227767653834652008-05-13T16:25:00.002+07:002008-05-29T15:40:01.370+07:00Duh, Bang Foke<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj4kA4apIEYDE-SQ_dWg2drFdAQf2TPAPnMmmiLBIxTuBbzBDLHs1vy8vpaxtU26tADXVegcnWGQDhtRA3F6fr0eAQVZbWVO06opCnn2IO6TmKTVdnplgwKF8mN8aqIMHHy_A_T/s1600-h/foke.jpg"><img style="margin: 0px auto 10px; display: block; text-align: center; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj4kA4apIEYDE-SQ_dWg2drFdAQf2TPAPnMmmiLBIxTuBbzBDLHs1vy8vpaxtU26tADXVegcnWGQDhtRA3F6fr0eAQVZbWVO06opCnn2IO6TmKTVdnplgwKF8mN8aqIMHHy_A_T/s320/foke.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5205716689583462738" border="0" /></a><br /><p class="MsoNormal"><span class="tglct"><span style="" lang="FI">Senin, 05 Mei 2008 20:18 WIB, Media Indonesia<o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal"><span class="tglct"><span style="" lang="FI">Tarif Parkir di Jakarta Kurang Mahal<o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal"><span class="tglct">Reporter : Bagus BT Saragih<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span class="tglct"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><st1:city st="on"><st1:place st="on"><span class="tglct">JAKARTA</span></st1:place></st1:city><span class="tglct">--MI: Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo menilai, parkir adalah salah satu instrumen yang tidak terpisah dengan sistem transportasi. </span><span class="tglct"><span style="" lang="FI">Karena itu, supaya membantu mengatasi kemacetan, tarif parkir harus mahal.<o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal"><span class="tglct"><span style="" lang="FI"><o:p> </o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal"><span class="tglct"><span style="" lang="FI">Hal itu dikemukakan Foke, panggilan Fauzi, di Balai Kota, Senin (5/5). Menurut mantan Kepala Dinas Pariwisata DKI itu, tarif parkir, khususnya on-street (tepi jalan), harus dibedakan berdasarkan lokasinya. Tarif parkir di lokasi yang lalu lintasnya padat harus lebih mahal.<o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal"><span class="tglct"><span style="" lang="FI"><o:p> </o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal"><span class="tglct"><span style="" lang="FI">Untuk itu, Pemprov DKI sudah memisahkan kawasan-kawasan berdasarkan kepadatan lalu lintasnya menggunakan sistem rayon.<o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal"><span class="tglct"><span style="" lang="FI"><o:p> </o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal"><span class="tglct"><span style="" lang="FI">"Rayonisasi kawasan parkir kan sudah dilakukan, hanya saja sistem traif progresifnya belum diterapkan. Di tempat-tempat yang mengganggu kelancaran lalu lintas, biaya parkir harus dibuat lebih mahal," beber Fauzi.<o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal"><span class="tglct"><span style="" lang="FI"><o:p> </o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal"><span class="tglct"><span style="" lang="FI">Di jalur-jalur yang dilalui koridor busway misalnya, harus dilakukan pengendalian parkir yang ketat. Kalaupun ada lokasi yang diperbolehkan untuk parkir, tarifnya harus lebih mahal dibandingkan lokasi lain.<o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal"><span class="tglct"><span style="" lang="FI"><o:p> </o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal"><span class="tglct"><span style="" lang="SV">Penerapan sistem tarif parkir yang progresif, kata dia, wajib dilakukan. "Tarif parkir harus mahal, sebab parkir itu bagian dari instrumen pengendalian lalu lintas," tandasnya.<o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal"><span class="tglct"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal"><span class="tglct"><span style="" lang="FI">Fauzi mencontohkan tarif parkir di jalan-jalan utama di Singapura. "Di sana, di Orchard Road, 3 jam saja sudah 7 sampai 10 dolar (Singapura)," katanya.<o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal"><span class="tglct"><span style="" lang="FI"><o:p> </o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal"><span class="tglct"><span style="" lang="FI">Selain itu, dengan tarif parkir yang tinggi, pihak swasta akan tertarik untuk menanamkan modalnya di sektor perparkiran. "Kalau tidak menguntungkan, swasta mana mau bikin gedung parkir," ujar Fauzi.<o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span class="tglct"><span style="" lang="FI"><o:p> </o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal"><span class="tglct">Bila pemilik kendaraan keberatan dengan tarif mahal, lanjutnya, lebih baik meninggalkan mobilnya di rumah. "Silahkan naik busway." (BT/OL-03)<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span class="tglct"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style="" lang="FI">***<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style="" lang="FI"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="FI">Ketika pertama kali membaca berita ini, entah kenapa. </span><span style="" lang="SV">Rasanya perut mual, pengen muntah. </span><span style="" lang="FI">Pikiran saya lalu berkelana ke pengalaman berkendara umum di Jakarta.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="FI"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="FI">Suatu hari, matahari sudah merangkak turun dari singgasananya. Mungkin ada ratusan orang berjajal tumplek di halte busway Dukuh Atas. Saya berkeluh dalam hati, ”Duh, salah memilih jam untuk pulang. Ini kan jamnya orang kantoran pulang.” Tapi karena badan sudah terperangkap dalam lautan manusia, tidak ada tempat untuk kembali lagi. Saya lalu pasrahkan badan ini tergenjencet badan-badan lain, hidung ini dijejali beraneka bau dari tubuh-tubuh berkeringat. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="FI"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="FI">Sejauh mata memandang cuma ada kepala dan kepala. Saya bahkan tidak bisa melihat, apakah busway pelipur lara sudah tiba atau belum. Saya h</span><span style="" lang="SV">anya mengandalkan indera pendengaran saja. Ketika ada suara mendesis yang kian mendekat, berarti ada harapan baru. </span><span style="" lang="FI">Mungkin saja saya bisa meletakkan pantat ini di salah satu kursinya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="FI"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="FI">Sekitar 45 menit kemudian, akhirnya saya bisa masuk ke perut kendaraan besar itu. AC-nya cukup, tidak membuat saya kegerahan. Dan sayangnya, tidak ada sebuah kursi pun untuk meletakkan pantat. Cukuplah sudah penderitaan. 45 menit sudah terbuang dan tidak bisa kembali lagi. Badan sudah capek. Hampir dipastikan saya akan terus berdiri dari Dukuh Atas sampai ke halte Layur, tempat pemberhentian saya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="FI"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="FI">Tidak perlu disesali lagi. Salah sendiri, kenapa memilih busway untuk berkendara?<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="FI"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="FI">Dalam keadaan bergelantungan, saya kembali merelakan badan semakin digencet-gencet. </span><span style="" lang="SV">Ada pria yang sejak awal naik sudah melihat pada saya terus. Lalu dia menggeser posisinya, lalu dia memegang gantungan untuk pegangan tangan yang sama dengan yang saya pegang. Saya sangat tidak nyaman dengan posisi ini. Ketika saya menoleh ke kiri, muka dia hanya sekitar 5 centimeter dari wajah saya. Badannya sudah menempel pada badan saya, juga tangannya. Saya tidak nyaman dengan posisi ini. Saya lalu membayangkan, sudah berapa banyak perempuan yang mengalami pelecehan seksual ketika ada di dalam busway? <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="SV">Dengan gerakan perlahan, saya berpindah posisi, lebih nyaman berdempetan dengan perempuan lain. </span><span style="" lang="FI">Bukannya saya sudah berganti haluan menjadi lines. Tapi saat ini tidak ada pilihan lain. Mau berdempetan dengan perempuan atau laki-laki? Saya pilih dengan sesama perempuan saja. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="FI"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="SV">Sekira 10 menit berdesak-desakan, indera pendengaran saya mendengan suara ”Puff!”. Dan sepersekian detik kemudian, hidung saya mengendus bau yang luar biasa noraknya. Saya sempat berpikir, siapa yang memakai parfum dengan bau begitu menusuk. Indera penciuman saya sama sekali tidak menikmati bau itu. Dan ternyata bukan cuma saya yang merasakannya. Hampir semua penumpang kemudian menutup hidungnya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="SV">Mata saya lalu menyapu ke semua isi busway, dari mana bau tidak menyenangkan ini berasal. Akhirnya saya menemukan jawabannya. Ternyata penyemprot otomatis yang ada di depan dan belakang busway adalah biang keroknya. Mungkin maksud penyelenggara itu baik, ingin mengusir bau-bau tubuh kami yang berkeringat ini dari kendaraan kebanggaannya. Tapi ternyata aroma yang mereka gunakan untuk untuk mengusir bau ini tidak lebih baik dari bau badan kami sendiri.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="SV">Lalu, saya juga tentu paham dengan pengalaman berkendara pribadi di Jakarta. </span><span style="" lang="PT-BR">Akhir-akhir ini, setiap kali selesai menyetir, saya merasa pegal tiada taranya. </span><span style="" lang="SV">Seolah saya penderita varises yang kakinya diganduli barbel dengan berat 5 kilogram. Ketika sampai di kantor, saya luruskan kaki dan menaikkannya sedikit lebih tinggi. Katanya begitu yang harus dilakukan kalau sedang pegal.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="SV">Sadar ngga sih? Jalanan di jakarta jauh lebih macet akhir-akhir ini? Terutama sejak sebagian jalan difungsikan sebagai jalur busway. Naik busway ternyata juga bukan pilihan nyaman. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="SV">Saya sebenarnya ingin bertanya pada Bang Foke. Apakah Bang Foke pernah naik busway? Yang saya maksud dengan naik busway adalah, yah naik sesungguhnya untuk bertransportasi. Bukan hanya naik busway ketika ada peluncuran busway koridor baru. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="SV">Pertanyaan kedua, apakah Bang Foke pernah nyetir mobilnya sendiri? Apa dia pernah merasakan sensasi menyetir di Jakarta? Apa dia pernah merasakan dikelilingi oleh sepeda motor yang sudah menyerupai kecebong di kolam kala musim hujan? Apa dia pernah hampir celaka karena ada metro mini, kopaja atau mayasari bhakti yang tiba-tiba berhenti di tengah jalan? Apa dia pernah kejeblos lubang yang makin banyak menganga di jalanan?<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="SV">Otak saya semakin setuju, bahwa peraturan dibuat untuk orang lain, bukan untuk orang yang membuat peraturan. Ketika Bang Foke berkata, <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span class="tglct"><i style=""><span style="" lang="SV">Bila pemilik kendaraan keberatan dengan tarif mahal, lebih baik meninggalkan mobilnya di rumah. "Silahkan naik busway."<o:p></o:p></span></i></span></p> <p class="MsoNormal"><span class="tglct"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal"><span class="tglct"><span style="" lang="SV">Dia sesungguhnya berkata untuk orang lain, bukan untuk dirinya sendiri. </span>Dia menyuruh rakyat yang memilihnya untuk naik busway, tapi dirinya sendiri TIDAK MAU NAIK BUSWAY. Duh Bang Foke, tau ngga sih? Naik busway atau kendaraan pribadi di <st1:city st="on"><st1:place st="on">Jakarta</st1:place></st1:city> itu sama-sama tidak nyaman. </span><span class="tglct"><span style="" lang="FI">Kecuali kalau Anda naik kendaraan mewah dengan supir pribadi, dan ada </span></span><i style=""><span style="" lang="FI">voorrijder</span></i><span class="tglct"><span style="" lang="FI"> yang siap membuka jalan, ITU BARU NYAMAN!<o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal"><span class="tglct"><span style="" lang="FI"><o:p> </o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal"><span class="tglct"><span style="" lang="SV">Di Singapore boleh-boleh aja pemerintahnya menetapkan tarif parkir yang tinggi. Wong disana ada <i style="">Mass Rapid Transit</i> (MRT) dan ada bus yang nyaman. Tapi di Jakarta? Haruskah kami membayar tarif parkir mahal, tapi tidak ada fasilitas yang memuaskan. Bahkan pengelola lahan parkir tidak mau bertanggung jawab jika ada kehilangan selama mobil diparkir. <o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal"><span class="tglct"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal"><span class="tglct"><span style="" lang="SV">Bang Foke, mungkin Anda perlu belajar bagaimana harusnya ber-Komunikasi Massa yang baik. Itu penting lho, buat moda</span></span><span class="tglct"><span style="" lang="FI">l politik Anda. Pantaskah seorang pemimpin berkata seperti itu? Mana EMPATINYA? Kalau belum bisa menyediakan transportasi nyaman buat kami, minimal Anda bisa menunjukkan sedikit EMPATI.</span></span><span style="" lang="FI"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="FI"><o:p> </o:p></span></p>Tussie Ayuhttp://www.blogger.com/profile/01814514491432737413noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-30235771.post-484455656740640422008-01-01T18:08:00.000+07:002008-01-03T14:13:10.241+07:00Pilih Sendiri Petualanganmu<p class="MsoNormal">Pangeran Phillips menebas hutan yang penuh tumbuhan bersulur duri. Begitu lebat, tebal dan tajam. Ia tahu, ia sudah memilih jalan yang salah. Siapa kini yang akan mencium dan membangunkan Sang Puteri dari tidurnya? <st1:city st="on"><st1:place st="on">Aurora</st1:place></st1:city> akan selamanya terlelap.</p> <p class="MsoNormal">Itu akhir menyedihkan dari salah satu cerita Puteri Tidur. Waktu kecil, aku tergila-gila pada cerita puteri-puteri ini. Tapi tidak cerita-cerita pengantar tidur yang biasa. Aku suka sekali pada cerita seri “Pilih Sendiri Petualanganmu”. Pernahkah kamu membacanya?</p> <p class="MsoNormal">Akhir ceritanya tidak selalu “…And Then They Live Happily Ever After”. Sama sekali tidak… Akhir cerita tergantung pada pilihanmu. Kalau kamu memilih jalan yang salah, maka happy ending hanya sekedar mimpi. Jadi, tidak selamanya Puteri Aurora akan terbangun dari tidur panjangnya, dan tidak selamanya Cinderella akan bertemu si Prince Charming.</p> <p class="MsoNormal">Dalam satu jalan yang dipilih, bisa saja Cinderella tidak pernah berhasil datang ke pesta dansa pangeran. Karena ia tidak bisa mendapatkan labu kuning yang akan disihir menjadi kereta kencana. Karena itu, kamu harus memilih jalan yang terbaik, agar Cinderella dan Puteri <st1:city st="on"><st1:place st="on">Aurora</st1:place></st1:city> bisa<span style=""> </span>“Live Happily Ever After”.</p> <p class="MsoNormal">Ketika itu, tentu saja aku tidak berpikir, bahwa buku-buku favoritku itu punya makna khusus. Aku baru menyadarinya belakangan ini…ketika seorang sahabatku meneleponku dan tersedu-sedu dari ujung telepon di <st1:city st="on"><st1:place st="on">sana</st1:place></st1:city>.</p> <p class="MsoNormal"><i style="">“Lo ngga ngerti apa yang gw rasain, Tuss! Ngga semua orang punya kehidupan cinta yang seberuntung elo!”<o:p></o:p></i></p> <p class="MsoNormal">Mendengarnya, entah mengapa…aku merasa itu adalah kalimat yang lucu sekali. Lalu aku mulai tertawa. Suara tertawaku ternyata sangat mengganggunya. Ia kemudian betul-betul marah padaku. Dia mulai berteriak. Setelah puas berteriak, ia mematikan sambungan telepon.</p> <p class="MsoNormal">Hhhfff…aku lalu tertegun…kemudian senyum-senyum sendiri kalau mengingat bagaimana murkanya sahabatku tadi. Sebenernya, apa iya siy seperti itu? Aku merasa kalimatnya lucu sekali. </p> <p class="MsoNormal"><i style="">“Ngga semua orang punya kehidupan cinta yang seberuntung elo!”<o:p></o:p></i></p><p class="MsoNormal">BERUNTUNG?</p> <p class="MsoNormal">Apa itu beruntung? </p> <p class="MsoNormal">Kalau saja dia tidak mematikan telepon pada saat itu, aku ingin menceritakan padanya. Tentang kisah Puteri Aurora dan Cinderella yang kubaca ketika kecil. Bahwa takdir bukanlah sesuatu yang didapat dengan pasrah dan nrimo. </p> <p class="MsoNormal">TAKDIR ADALAH PILIHAN</p> <p class="MsoNormal">Ketika kita memilih jalan yang salah, jangan salahkan Tuhan bila kita mendapatkan takdir yang salah. Toh Tuhan sudah memberi hak prerogative untuk memilih. Setiap orang pasti punya pilihan. </p> <p class="MsoNormal">Seperti halnya memilih pasangan. Kalau kita memilih yang salah, jangan salahkan Tuhan jika hubungan kita begitu banyak rintangan. Tapi sahabatku tetap bersikukuh, bahwa ia tidak bisa memilih pasangan. Dia selalu mencintai orang yang salah, dan dia tidak bisa memaksa hatinya untuk mencintai orang yang benar.</p> <p class="MsoNormal">Hmmmm….</p> <p class="MsoNormal">Itu memang pilihan yang sulit. Tapi bukan berarti Tuhan tidak memberi pilihan <st1:state st="on"><st1:place st="on">kan</st1:place></st1:state>? Kalau begitu, begini saja berpikirnya. Jangan cintai dia karena kamu. Tapi cintai dia karena Tuhan mencintai dia. Cintai dia karena keluarga kita mencintai dia. Terakhir, cintai dia karena dia benar-benar mencintaimu. Believe me, hatimu akan mencintai dia juga…</p> <p class="MsoNormal">Setelah itu, baru ikuti kata <st1:place st="on"><st1:city st="on">Sussana Tamaro</st1:city>,</st1:place><b><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:times new roman;">'</span></span></span></b><st1:place st="on"> <span style="font-size:100%;"><st1:state st="on" style="font-family:times new roman;"><b><span style="font-size:10;">Va</span></b></st1:state></span></st1:place><b><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" ><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:times new roman;"> Dove Ti Porta Il Cuore.</span></span> </span></b><span style="">Dalam bahasa Indonesia, itu berarti “Pergilah Ke Mana Hati Membawamu”. So please…duduklah sebentar…biarkan pikiranmu yang memutuskan. Setelah itu, barulah hati diperbolehkan membawamu.<span style="color: rgb(158, 11, 14);"> </span></span></p>Tussie Ayuhttp://www.blogger.com/profile/01814514491432737413noreply@blogger.com8tag:blogger.com,1999:blog-30235771.post-77124424665261751892007-12-13T19:53:00.000+07:002007-12-13T20:05:59.767+07:00Kamasan, Lukisan Klasik Sarat Filosofis<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiLf8eBH7YS-bnne-msKmvCbJdt3s-M7tMWpu27Oi2VTMG4zgF8zUBdMTdljB0O_RLlypx6g8jANOtVIEKMiT7okJsQgfXVH6hTYysfAebJV45OJcqRvTevsEFT2xY4IY1rblKA/s1600-h/IMG_4059.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5143440542434300994" style="DISPLAY: block; MARGIN: 0px auto 10px; CURSOR: hand; TEXT-ALIGN: center" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiLf8eBH7YS-bnne-msKmvCbJdt3s-M7tMWpu27Oi2VTMG4zgF8zUBdMTdljB0O_RLlypx6g8jANOtVIEKMiT7okJsQgfXVH6hTYysfAebJV45OJcqRvTevsEFT2xY4IY1rblKA/s320/IMG_4059.jpg" border="0" /></a><br /><div><em>Perang Bharatayudha memang bukan perang sembarang tarung. Bahkan Arjuna yang dianggap ksatria terbaik oleh Drona, guru para Pandawa, harus melakukan tapa yoga sebelum berperang. Dalam pertapaan, ia digoda para bidadari. Namun ia akhirnya mampu melewati godaan makhluk-makhuk rupawan itu, dan para Pandawa memenangkan pertempuran akbar di Kurukshetra.<br /></em><br />Kisah Arjuna yang tengah digoda bidadari ini, kerap diabadikan dalam lukisan kamasan. Kamasan sebenarnya adalah nama sebuah desa yang berada di Kabupaten Klungkung, Bali. Karena sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai pelukis tradisional Bali, maka lukisan itu dikenal dengan nama lukisan kamasan.<br /><br />Desa ini dikenal sebagai gudangnya seni lukis wayang klasik. Corak lukisan Bali klasik dalam lukisan kamasan sangat mudah dikenali. Warna dasarnya cokelat muda. Cokelat muda ini diambil dari batu gamping yang dicelup dalam air.<br /><br />Untuk warna hitam pada setiap garis yang ditorehkan, pada zaman dulu digunakan jelaga. Namun saat ini, pelukis sudah menggunakan tinta lukis modern untuk mendapatkan torehan hitam. Sedangkan warna-warna lain, pelukis menggunakan cat air agar lukisan lebih semarak.<br /><br />Selain unik karena coraknya yang klasik, keunikan lain dari lukisan ini adalah filosofi yang terkandung di dalamnya. Contohnya, pada lukisan Arjuna yang tengah digoda bidadari. Lukisan ini mengandung makna, jika seseorang ingin menuntut ilmu, maka harus sungguh-sungguh dan tahan godaan.<br /><br />“Biasanya lukisan kamasan bercerita tentang masalah kehidupan dan catur asrama, yaitu empat perjalanan kehidupan yang harus dilalui dalam ajaran Hindu,” kata Wayan Sukarta, seorang pelukis kamasan.<br /><br />Dalam ajaran Hindu, catur asrama adalah Brahmacari Asrama, Grhasta Asrama, Wanaprastha Asrama dan Sanyasin Asrama (bhiksuka). Brahmacari Asrama adalah masa menuntut ilmu. Grhasta Asrama adalah tahap berumahtangga.<br /><br />Wanaprastha Asrama adalah kewajiban untuk menjauhkan diri dari nafsu dunia dan mengabdikan pada pengamalan ajaran Dharma. Dan Sanyasin Asrama (bhiksuka) adalah melepaskan diri pada nafsu dunia, di mana seluruh sisa hidup hanya diserahkan kepada Sang Pencipta untuk mencapai Moksa.Selain menggambarkan kehidupan sehari-hari, lukisan ini juga menggambar ramalan kehidupan seseorang berdasarkan hari lahir. “Ini seperti primbon di orang Jawa,” jelas Wayan.<br /><br />Saya yang lahir pada hari Rabu, tergelitik untuk bertanya tentang ramalan hidup saya.Menurut Wayan, orang yang lahir pada hari Rabu, berada di bawah lindungan Dewa Indra. Dalam kisah Mahabharata, Arjuna dikisahkan sebagai penjelmaan dari Dewa Indra.<br /><br />Dalam kepercayaan Hindu, Dewa Indra diberi gelar dewa petir, dewa hujan, dewa perang, raja surga, pemimpin para dewa, dan banyak lagi sebutan untuk Dewa Indra sesuai dengan karakter yang dimilikinya. Ia mewariskan kemampuan memanah pada Arjuna. Kemampuan Arjuna inilah yang membuatnya menjadi tumpuan para Pandawa untuk memenangkan perang Bharatayudha melawan Kurawa.</div><div> </div><div></div><div>”Dari segi sifat, orang yang berada di bawah naungan Dewa Indra adalah orang yang tenang dan tidak mempedulikan omongan orang lain. Ia memiliki sifat seperti api. Meskipun tenang, jika disakiti akan meledak,” jelas Wayan.</div><div> </div><div></div><div>Saat ini, corak lukisan klasik ini tidak hanya dijual dalam bentuk lukisan. Ada juga lukisan bermedia topi caping dan peralatan lain yang berfungsi sebagai pajangan. Harga lukisan pun tidak dipatok terlalu tinggi. Untuk yang berukuran 2x1 meter, biasanya dijual seharga Rp 750 ribu untuk orang asing. “Untuk orang Indonesia, harga bisa setengah dari harga orang asing,” katanya.<br /><br />Tidak terlalu mahal, bukan? Selain sebagai fungsi dekorasi, Anda juga bisa meramal diri sendiri atau sifat orang lain menurut kelahirannya. Dewa apakah yang menaungi Anda? Apa sifat yang dititiskan Sang Dewa kepada Anda?<br /><br />Tussie Ayu Riekasapti</div><br /><div></div><br /><div>(Jurnal Nasional, 13 Desember 2007)</div>Tussie Ayuhttp://www.blogger.com/profile/01814514491432737413noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-30235771.post-25266985822387431612007-11-30T11:35:00.001+07:002007-11-30T11:37:24.637+07:00Go Round Captain!<p class="MsoNormal">7 Maret 2007, pukul 06.00 WIB. Matari baru saja beranjak dari timur. Sebanyak 126 orang penumpang bergegas memasuki perut pesawat Boeing 737-400 berstempel Garuda <st1:place st="on"><st1:country-region st="on">Indonesia</st1:country-region></st1:place>, bernomor penerbangan GA 200. Tujuh orang awaknya sudah bersedia mengantarkan penumpang dari Bandara Soekarno Hatta Jakarta, menuju Bandara Adi Sucipto Yogyakarta.</p> <p class="MsoNormal">Sebagian penumpang adalah tokoh-tokoh masyarakat. Diantaranya adalah Ketua Muhammadiyah Dien Syamsuddin, Kriminolog Adrianus Meliala, juru bicara Kedutaan Besar Australia Elizabeth O’Neill dan mantan Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Dr Koesnadi Harjosoemantri.</p> <p class="MsoNormal">Angkasa biru dan awan berarak seadanya. Pertanda langit sedang bersahabat. Pilot yang bertugas kala itu adalah Marwoto Komar, pilot senior yang telah 20 tahun mengabdi pada Garuda <st1:country-region st="on"><st1:place st="on">Indonesia</st1:place></st1:country-region>. Semua terlihat baik-baik saja. Siapa sangka, satu jam kemudian, malaikat maut sudah menanti. </p> <p class="MsoNormal">Penerbangan tidak mengalami hambatan yang berarti, hingga saat pendaratan tiba. Berdasarkan analisa yang dikumpulkan dari KNKT dan Kepolisian, pengamat penerbangan <i style="">Captain Pilot</i> Rendy Sasmita Adji Wibowo mengatakan, pesawat yang dikemudikan Marwoto ini terlalu cepat mengarah pada landasan.</p> <p class="MsoNormal">“Pesawat GA 200 terbangnya masih terlalu tinggi. Waktu turun seharusnya dia mengikuti sudut tertentu, namun dia melewatinya. Seharusnya ketinggian di bawah 10.000 kaki dan kecepatannya 250 knot, tetapi dia 60 persen lebih dari itu,” kata Rendy kepada <i style="">Jurnal Nasional</i> beberapa waktu lalu. </p> <p class="MsoNormal"><i style="">Co-pilot</i> Gagam Saman Rahmana ketika itu telah menyadari, telah terjadi kesalahan pendaratan. Ia berteriak-teriak, “<i style="">Go round, Captain! Go round, Captain!</i>” <st1:place st="on"><st1:city st="on">Maksud Gagam</st1:City>, <st1:state st="on">ia</st1:State></st1:place> meminta <i style="">captain pilot</i> untuk terbang kembali dan mengulangi pendaratan. </p> <p class="MsoNormal">Tak hanya Gagam, sistem pesawat pun tak kalah meraung. “Dalam posisi seperti ini, komputer di pesawat akan teriak ‘<i style="">Too low…flaps</i>’ (terlalu rendah, buka sirip pesawat). Jika didiamkan, maka suaranya akan lebih kencang ‘<i style="">Whoop…whoop…pull up!</i>’ (naik lagi). Tetapi hal itu diacuhkan oleh pilot,” jelas Rendy.</p> <p class="MsoNormal">Hal terburuk pun terjadi. Ketika mendarat, burung besi itu menukik kencang dengan roda depan yang pertama kali menghunus landasan. Menurut Rendy, hal ini karena hidung pesawat mendarat dalam posisi 3 derajat. Akibatnya pesawat mental ke atas dan sekali lagi pilotnya menyerukan kepada pilot “<i style="">Go round, Captain!</i>”. </p> <p class="MsoNormal">Saran <i style="">co-pilot</i> tetap tidak diindahkan. Pilot kembali memaksa pesawat untuk mendarat. Pesawat semakin tidak terkontrol karena hidrolik pesawat sudah bocor. Pesawat yang terpental meninggalkan landasan dengan kecepatannya di atas 200 knot. </p> <p class="MsoNormal">Pagar berduri yang menjadi pembatas akhir landasan dilompati pesawat ini, tanpa ada bekas bahwa pagar roboh. Akhirnya pesawat ini berhenti untuk terakhir kalinya. Kepulan asap hitam memenuhi Bandara Adi Sucipto, tujuan akhir si burung raksasa. Api berkobar melahap bagian ekornya. </p> <p class="MsoNormal">Dalam kabin pesawat, gelap gulita menyergap. Lampu <i style="">emergency</i> tidak menyala. Menurut saksi mata hanya kepala pramugari dan pramugara yang melakukan penyelamatan terhadap penumpang hingga akhirnya dia sendiri meninggal dunia.</p> <p class="MsoNormal">“Saya tidak mau berpolemik. Tapi gambar di televisi saat itu memperlihatkan pesawat masih berkobar-kobar dilalap api, penumpang masih berlarian keluar, tetapi pramugarinya sudah di luar,” kata Rendy. </p> <p class="MsoNormal"><i style="">Co-pilot</i> Gagam Saman Rahmana juga sudah keluar dari lambung pesawan naas itu. Dia membantu evakuasi dari luar pesawat tanpa alat evakuasi yang memadai. Penumpang berloncatan bagai ikan yang diangkat dari kolam dan berlomba mencari air. </p> <p class="MsoNormal">Dengan ketinggian kabin pesawat dua meter dari tanah, semua berusaha menyelamatkan diri. <st1:place st="on">Para</st1:place> manula menjadi martir, kondisi fisik mereka tidak memungkinkan untuk melakukan lompatan penyelamatan diri. <span style=""> </span></p> <p class="MsoNormal">Mantan Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Dr Koesnadi Harjosoemantri yang berusia 80 tahun, adalah salah satunya. Ia akhirnya menghembuskan napas terakhir dalam pesawat yang membawanya terbang pada Sang Pemilik Jagad. Bersama Profesor Koesnadi, 21 orang lainnya juga tewas, termasuk juru bicara Kedutaan Besar Australia Elizabeth O’Neill.</p> <p class="MsoNormal">Lantas bagaimana dengan <i style="">Captain Pilot</i> Marwoto Komar? Saat itu, dia sudah lari dengan<span style=""> </span>taksi menuju rumah sakit. Ia kemudian dirawat di Rumah Sakit TNI AU <st1:place st="on">Yogyakarta</st1:place>. <i style="">Go Round, Captain!</i></p><p class="MsoNormal">Tussie<i style=""> </i>Ayu Riekasapti / Wahyu Utomo</p><p class="MsoNormal">(Jurnal Nasional, 27 Nopember 2007)<i style=""><br /></i></p><br /><p class="MsoNormal"></p>Tussie Ayuhttp://www.blogger.com/profile/01814514491432737413noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-30235771.post-76071776837191926572007-11-30T11:33:00.000+07:002007-11-30T11:35:40.516+07:00Pilot Bukan Penyebab Tunggal<p>Awal Nopember lalu, Kepolisian RI (Polri) telah menetapkan Marwoto Komar, pilot pesawat Garuda Indonesia Boeing 737-400, sebagai tersangka dalam kasus kecelakaan pesawat di Yogyakarta, 7 Maret 2007 lalu. Sedangkan <i style="">co-pilot</i> Gagam Saman Rahman hingga kini masih terus menjalani penyidikan oleh Polda DIY. </p> <p>Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen (Pol.) Sisno Adiwinoto, mengungkapkan, pilot Garuda, Marwoto Komar, kemungkinan besar bisa dipidanakan karena telah memenuhi unsur melakukan kelalaian (<em>human error</em>) yang menyebabkan hilangnya nyawa orang lain (<i style="">Jurnal Nasional</i>, 3 Nopember 2007)</p> <p>"Sesuai KUHP sudah terpenuhi adanya unsur kelalaian yang menyebabkan nyawa orang lain, namun secara materiil, <st1:place st="on"><st1:state st="on">kan</st1:State></st1:place> untuk memproses hukum seseorang harus memiliki bukti dan saksi yang kuat, rekomendasi KNKT bisa dijadikan tambahan (penyelidikan)," ujar Sisno ketika itu. </p> <p>Pengamat penerbangan yang juga pilot senior di Garuda <st1:country-region st="on"><st1:place st="on">Indonesia</st1:place></st1:country-region>, <i style="">Captain Pilot</i> Rendy Sasmita Adji Wibowo berpendapat, memang terjadi human error dalam kasus ini. namun demikian, menurutnya kesalahan tidak bisa dilimpahkan pada pilot dan <i style="">co-pilot</i> semata.</p> <p class="MsoNormal">“Yang menarik dari GA 200, sebetulnya ada beberapa jaring yang terlewati. Dalam bahasa penerbangan sering disebut keju Swiss. Dimana potensi kecelakaan itu berupa anak panah melewati lubang-lubang seperti keju Swiss,” katanya kepada <i style="">Jurnal Nasional</i> beberapa waktu lalu.</p> <p class="MsoNormal">Ia menjelaskan, kemungkinan pertama yang terlewati adalah lubang visi dari manajemen perusahaan. Visi manajemen yang pertama, menurutnya adalah keselamatan. “Garuda harus belajar dari Lufthansa yang memiliki teknisi jago-jago dan memang hebat. Kalau <i style="">service</i> diutamakan mengalahkan <i style="">safety</i> jadinya seperti di Garuda,” ujarnya.</p> <p class="MsoNormal">Selain itu, direksi saat ini, menurutnya melewatkan sebuah investasi penting, yaitu pendidikan dan <i style="">maintenance</i> (pemeliharaan). Dari kasus GA 200, menurutnya terlihat sekali ada komunikasi tidak benar antara <i style="">captain pilot</i> dan <i style="">co-pilot</i>. </p> <p class="MsoNormal">Padahal, menurut dia, pilot di era manapun diajari yang namanya <i style="">Crew Resource Management</i> (CRM). “Jadi dalam dunia penerbangan ada aturan yang mengacu pada <i style="">International Civil Aviation Organization</i> (ICAO ), bahwa semua penerbang harus mengikuti CRM, dimana kerjanya pilot berinteraksi dengan <i style="">co-pilot</i> dan teknisi pesawat. Ketiga orang ini dalam <i style="">emergency</i> tahu apa yang harus dikerjakan” jelasnya. </p> <p class="MsoNormal">Menurut Rendy, di Garuda sebenarnya juga diajarkan CRM, namun implementasinya tidak berjalan dengan baik, sampai-sampai antara captain pilot dan <i style="">co-pilot</i> terjadi komunikasi yang tidak tuntas. “<st1:place st="on"><st1:city st="on">Ada</st1:City></st1:place> satu training yang tidak dilakukan oleh Garuda,” katanya.</p> <p class="MsoNormal">Training yang sudah dilakukan Garuda, kelupaan mengajarkan <i style="">co-pilot</i> untuk merebut kendali ketika pilot bermasalah. “Padahal efeknya akan sangat fatal. Landasan di Yogya itu agak sedikit bergelombang bentuknya agak <i style="">parabolic</i> sehingga ada kesulitan sendiri bagi pilot untuk mendarat di Yogya. Jadi kalau kecepatannya tidak tepat maka akan keluar landasan,” jelasnya.</p> <p class="MsoNormal">Ia melanjutkan, jika pilot tidak melakukan tindakan apa-apa saja padahal pesawat dalam keadaan bahaya, maka dia <i style="">co-pilot</i> harus mengambil tindakan. “Saya tidak mengerti dengan manajemen Garuda, sebenarnya <i style="">training</i> itu ada. Hanya saja, <i style="">co-pilot</i> di <st1:place st="on"><st1:country-region st="on">Indonesia</st1:country-region></st1:place><span style=""> </span>terpengaruh dengan budaya, karena dia masih muda dan belum banyak pengalaman, sehingga tidak dianggap oleh pilot. Dalam kondisi tertentu dimana <i style="">co-pilot</i> harus mengambil alih maka harus diambil alih,” ujarnya.</p> <p class="MsoNormal">Rendy melihat, kelalaian pilot bukanlah penyebab tunggal kecelakaan ini. “Pilot dalam hal ini adalah jaring terakhir. Marwoto Komar sedang dalam misi menjalankan tugas dari Garuda. Kasus GA 200 memperlihatkan manajemen mencoba untuk cuci tangan,” katanya.</p> <p class="MsoNormal">Padahal menurut Rendy, dalam kasus ini sebenarnya Perusahaan wajib membela karyawannya. “Penyebab kecelakaan ini tidak bisa dilimpahkan pada pilot saja. Tapi juga harus ditarik mata rantai ke belakang. Manajemen juga turut bersalah,” tandasnya.</p> <p class="MsoNormal">Wahyu Utomo/Tussie Ayu Riekasapti</p><p class="MsoNormal">(Jurnal Nasional, 27 Nopember 2007)<br /></p><br /><p class="MsoNormal"></p>Tussie Ayuhttp://www.blogger.com/profile/01814514491432737413noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-30235771.post-31708791912161799712007-11-08T18:40:00.001+07:002007-11-08T18:40:35.604+07:00Terima Kasih<div class="bodytext"> <p class="MsoNormal">Hari ini ada sesuatu yang terjadi. Tapi aku senang sekali, karena teman-temanku selalu ada di sekelilingku.<o:p></o:p></p> <p class="MsoNormal"><o:p></o:p>Ikot mengatakan : “Dia itu ngga bgt deh. ***** banget!”<br />Meita mengatakan : “Gamparin aja Tus! Dia **** banget!”<br />RJ mengatakan : “Kok kamu bisa sabar ya? Aku aja jadi panas!”<br />Dodi mengatakan : “Kok dia bisa begitu ya?”<br />Agus mengatakan : “Sabar aja ya Tuss”<br />Turyanto mengatakan : “Siap-siap terbang, Tuss!”</p> <p class="MsoNormal"><span style=""></span>Hihihihi…lucu-lucu temanku ini</p> <p class="MsoNormal"><o:p></o:p>Tapi ada satu kalimat yang diucapkan Bonnie Triyana, dan ini yang paling aku sukai.</p> <p class="MsoNormal"><o:p></o:p>Bonnie mengatakan:</p> <p class="MsoNormal"><o:p></o:p>“Pohon kelapa (kalau) semakin tinggi, banyak diterpa angin. Kalau takut jadi pohon kelapa, jadi rumput saja. Tidak diterpa angin dan disambar petir, tapi diinjak-injak kerbau!”</p> <p class="MsoNormal"><o:p></o:p>Aaawww…mas Bonnie, hmmm…mungkin ini kalimat yang aku ingat sepanjang hidupku.</p> <p class="MsoNormal"><o:p></o:p>Tapi ada lagi satu orang yang begitu berarti. Dia mengatakan,</p> <p class="MsoNormal"><o:p></o:p>“Tussie, kamu harus berani! Kamu jangan takut!”</p> <p class="MsoNormal"><o:p></o:p>Dulu, orang ini pernah membelai kepalaku sambil mengatakan, “Tussie, kamu tahu?...Suatu hari nanti, kamu akan menjadi orang hebat!”</p> <p class="MsoNormal"><o:p></o:p>Dan butiran air-air yang hangat membasahi pipiku ketika itu. “Terima kasih,” jawabku.</p> <p class="MsoNormal"><o:p></o:p>Terima kasih teman-teman. <span style=""><br /></span></p> </div>Tussie Ayuhttp://www.blogger.com/profile/01814514491432737413noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-30235771.post-17092973997276001692007-10-18T13:04:00.000+07:002007-10-18T13:06:18.907+07:00Mesjid Lautze, Penyambung Ukhuwah Bumiputera dan Tionghoa (Bagian I)<table id="HB_Mail_Container" height="100%" cellspacing="0" cellpadding="0" width="100%" border="0" unselectable="on"><tbody><tr height="100%" unselectable="on" width="100%"><td id="HB_Focus_Element" valign="top" width="100%" background="" height="250" unselectable="off"><br /><strong>“Meski kerap disebut sebagai mesjid dzuhur-ashar, Mesjid Lautze tetap kukuh memperjuangkan pembauran.”</strong><br /><br />Kawasan Pasar Baru, Jakarta Pusat, sejak dulu telah menjadi jantung perdagangan di Batavia. Hingga kini, denyut itu masih berdegup. Aliran uang dipompa masuk dan keluar dalam arteri dan vena berbentuk jalan serta gang yang melewatinya.<br /><br />Seperti kebanyakan pusat perdagangan di Indonesia dan negara-negara kawasan Asia lainnya, etnis Tionghoa memengang peranan penting dalam aktivitas ekonomi. Begitu pula dengan Pasar Baru. Kulit kuning, mata sipit dan rambut lurus kaku bertebaran di sekitarnya.<br /><br />Pasar Baru bukanlah tempat plesir yang nyaman. Bising kendaraan memenuhi liang telinga. Debu berhembus bersama angin, kemudian hinggap pada jendela, pintu, pertokoan dan jalan yang dilewatinya. Selanjutnya, debu itu bersemayam hingga ada tangan-tangan yang mau menghalaunya pergi.<br /><br />Di tempat ini, Mesjid Lautze didirikan. Bukanlah pilar kokoh, lantai pualam, atau lampu kristal yang akan menyambut kita. Hanya bangunan yang berbentuk ruko, bercat hitam kusam dan empat buah pintu berwarna merah yang menyapa.<br /><br />Ada tulisan besar di depannya yang menunjukkan identitas bangunan ini. Selain tulisan Mesjid Lautze, juga ada sebuah plang besar yang tertulis “Yayasan Haji Karim Oei, Informasi Islam untuk WNI”. <br /><br />Namun ketika kita memasukinya, suasana berbeda langsung menyambut. Di lantai dasar, yang berukuran sekitar 10x20 meter, ruangan ditata cukup rapi dan bersih. Lantainya hanya keramik biasa berwarna putih. Namun di sekitar mimbarnya, ada beberapa kaligrafi yang cukup menyita pandangan; percampuran seni antara Arab dan Tionghoa.<br /><br />Kaligrafi gaya Tionghoa ini tidak menonjolkan banyak detail dan variasi seperti halnya kaligrafi Arab. Hanya sapuan kuas di atas kertas putih yang ditonjolkan. Makna kalimat yang dituliskan dalam aksara Hijaiyah itu lebih penting daripada sekadar ornamen penghiasnya.Masjid ini berawal dari pemikiran untuk mendirikan yayasan bagi kalangan keturunan Tionghoa. Menurut HM. Ali Karim Oei, pimpinan Yayasan Haji Karim Oei dan Mesjid Lautze, nama yayasan diambil dari seorang tokoh muslim keturunan Tionghoa, Abdulkarim Oei Tjeng Hien (1905-1988), yang dikenal dengan sebutan Bapak Oei (baca: U-i).<br /><br />Namun mesjid dan yayasan ini berdiri setelah Karim Oei wafat, tepatnya pada tahun 1991. Pemrakarsa pembangunannya tak lain adalah Junus Jahja, tokoh Tionghoa yang getol berjuang demi pembauran etnis.<br /><br />Sedangkan nama Lautze yang diabadikan menjadi nama mesjid, tak lain karena letaknya yang berada di Jalan Lautze No. 89, Jakarta Pusat. Selain itu, menurut Humas Yayasan Haji Karim Oei, Yusman Iriansyah, dalam bahasa China, lautze berarti guru atau orang yang dihormati. “Jadi namanya memang pas sekali,” kata Yusman.<br /><br />Tulisan ini sudah dipublikasikan di Jurnal Nasional, Sabtu, 22 Sepetember 2007<br /><br /></td></tr><tr unselectable="on" hb_tag="1"><td style="FONT-SIZE: 1pt" height="1" unselectable="on"><div id="hotbar_promo"></div></td></tr></tbody></table>Tussie Ayuhttp://www.blogger.com/profile/01814514491432737413noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-30235771.post-336293986998938242007-10-18T12:58:00.000+07:002007-10-18T13:03:38.690+07:00Mesjid Lautze, Penyambung Ukhuwah Bumiputera dan Tionghoa (Bagian II)Seluruh bangunan Mesjid Lautze terdiri dari empat lantai. Lantai pertama dan kedua untuk kegiatan keagamaan, lantai ketiga sebagai kantor yayasan, dan lantai keempat adalah ruang serbaguna. Ruang serbaguna biasanya dipakai untuk buka puasa bersama dan bisa juga dipinjamkan bagi jamaah yang menikah.<br /><br />Tujuan didirikannya mesjid dan yayasan ini, menurut HM. Ali Karim Oei adalah memberi pandangan positif tentang Islam di kalangan masyarakat Tionghoa. Ia berpendapat, citra Islam di mata masyarakat Tionghoa tidak terlalu manis. Banyak terjadi perpecahan keluarga jika salah satu anggotanya memutuskan untuk memeluk Islam.<br /><br />“Kalau di dalam keluarga itu ada campuran pemeluk agama Kristen Protestan, Katolik atau Budha, tidak menjadi masalah. Namun kalau ada satu orang yang memeluk Islam, maka akan menjadi masalah,” kata HM. Ali Karim Oei. Karena itu, Yayasan Haji Karim Oei dibentuk untuk meluruskan pandangan yang salah tentang ajaran Islam, terutama di kalangan etnis Tionghoa.<br /><br />Untuk membuat mesjid ini lebih karib dengan jamaahnya yang mayoritas etnis Tionghoa, pihak yayasan telah memikirkan tentang lokasi dan jenis bangunan. Menurut Ali, Mesjid Lautze sengaja dibangun di kawasan perdagangan dan berbentuk ruko. “Mesjid juga dihiasi dengan ornamen merah. Ini bertujuan agar orang Tionghoa merasa berada di rumah sendiri ketika ada di mesjid ini,” ujar putera ketiga dari Karim Oei ini.<br /><br />Pria kelahiran 11 Juli 1956 ini berkisah, awalnya mesjid didirikan dengan modal nekad. Karena minim biaya, akhirnya dengan bermodalkan dua ruko sewaan, Mesjid Lautze berdiri. Hingga kini, tanah dan bangunan belum menjadi milik Yayasan Haji Karim Oei. “Satu ruko milik Yayasan Abdi Bangsa. Satu ruko lagi milik Yayasan Bina Pembangunan,” katanya.<br /><br />Ada satu hal lagi yang menjadi keunikan mesjid yang diresmikan oleh BJ Habibie ini. Tak seperti mesjid pada umumnya yang selalu buka 24 jam, Mesjid Lautze hanya ‘beroperasi’ pada jam kerja.<br /><br />Ada beberapa pertimbangan yang akhirnya memutuskan jam operasi mesjid ini yang hanya pada jam dan hari kerja. “Kasihan penjaga mesjid ini kalau harus buka 24 jam. Selain itu, faktor keamanan juga kami pertimbangkan. Dengan jam buka seperti ini saja, sudah banyak peralatan yang hilang, seperti komputer,” jelas Ali.<br /><br />Karena itu, praktis Mesjid Lautze hanya ‘melayani’ jamaah yang menunaikan shalat dzuhur dan ashar saja. Karena itu, mesjid ini kerap disebut mesjid dzuhur-ashar. Hari Sabtu, Minggu dan hari libur nasional mesjid ini ditutup. Namun dalam bulan Ramadhan, setiap hari Minggu diadakan buka puasa bersama. Selain itu, dalam bulan puasa juga diadakan pelatihan tajwid, sarasehan, tarawih dan tauhsyiah.<br /><br />Keterbatasan waktu tidak membuat mereka kecil hati. Karena sejak didirikan, selalu ada jamaah Tionghoa yang loyal untuk menyemarakkan mesjid. “Kalau dihitung sejak pertama kali berdiri, di mesjid ini telah lebih dari 1000 orang menjadi muallaf. Tapi yang aktif di mesjid hanya sekitar 100 orang,” kata Yusman.<br /><br />Saat ini, Mesjid Lautze sudah memiliki beberapa cabang. Ada Mesjid Lautze 2 yang terletak di Jalan Tamblong, Bandung, dan ada Mesjid Lautze 3 yang ada di Gading Serpong, Tangerang. Selain itu, ada juga mesjid-mesjid Tionghoa lain yang masih berafiliasi dengan mesjid Lautze pusat. Mesjid-mesjid itu berada di Cirebon, Cilacap dan Yogyakarta.<br /><br />Seperti kebanyakan lembaga keagamaan lain, Mesjid Lautze hidup dari kedermawanan masyarakat. Meski sederhana, selalu ada sumbangan dari masyarakat yang bersimpati akan keberadaannya.<br /><br />Pembauran etnis Tionghoa dan bumiputera bagaikan suhuf-suhuf tua yang menyimpan sejarah panjang. Hingga kini, sejarah itu belum selesai dituliskan. Mesjid Lautze, adalah salah satu bab yang ditulis dengan tinta emas. Di ruang-ruang sempitnya, tepekur tubuh yang berserah dan tangan yang menengadah. Peranan Mesjid Lautze yang tak tergantikan adalah menciptakan ukhuwah antara bumiputera dan Tionghoa. <br /><br />***<br /><br />Tulisan ini sudah dipublikasikan di Jurnal Nasional, Sabtu, 22 September 2007Tussie Ayuhttp://www.blogger.com/profile/01814514491432737413noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-30235771.post-80574131282490014462007-09-07T23:53:00.000+07:002007-09-08T00:00:13.403+07:00Aku Memang Pecundang, So What?<div class="bodytext"><p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><span style=";font-family:Times New Roman;font-size:130%;" >*Untuk orang-orang yang senang menghujat kekalahan</span></p><p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><span style=";font-family:Times New Roman;font-size:130%;" ><br /></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><span style="font-size:130%;"><o:p><span style="font-family:Times New Roman;"> </span></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><span style=";font-family:Times New Roman;font-size:130%;" >Malam ini, adalah malam yang bersejarah. Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku akan menonton secara langsung pertadingan olahraga di Senayan. Yipeee! Ah…norak sekali, tapi hal baru selalu membuat darahku tersirap. Melakukan hal di luar rutinitas adalah sebuah bentuk kemewahan bagiku saat ini.</span></p><p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><span style=";font-family:Times New Roman;font-size:130%;" ><br /></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><span style="font-size:130%;"><o:p><span style="font-family:Times New Roman;"> </span></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><span style=";font-family:Times New Roman;font-size:130%;" >Sejak pertandingan sepakbola Piala <st1:place st="on">Asia</st1:place> dihelat, aku sudah ingin sekali ikut menonton langsung di Senayan. Melebur bersama ribuan orang lain yang memakai baju berwarna merah, dan meneriakkan “Ini kandang kita, <st1:country-region st="on"><st1:place st="on">Indonesia</st1:place></st1:country-region>!” kalah atau menang tidak masalah. Yang terpenting adalah, bagaimana merasakan semangat menjadi orang <st1:place st="on"><st1:country-region st="on">Indonesia</st1:country-region></st1:place> sampai ke dalam sum-sum.</span></p><p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><span style=";font-family:Times New Roman;font-size:130%;" ><br /></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><span style="font-size:130%;"><o:p><span style="font-family:Times New Roman;"> </span></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><span style=";font-family:Times New Roman;font-size:130%;" >Tapi keinginan itu tak pernah terlaksana. Pekerjaan tidak pernah ada habisnya. Akhinya aku harus puas menonton kekalahan demi kekalahan melalui layar monitor yang ada di kantor. Ya sudahlah. Ini nasib menjadi budak pekerjaan.</span></p><p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><span style=";font-family:Times New Roman;font-size:130%;" ><br /></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><span style="font-size:130%;"><o:p><span style="font-family:Times New Roman;"> </span></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><span style=";font-family:Times New Roman;font-size:130%;" >Tapi malam ini, persetan dengan semua pekerjaan. Aku melarikan diri dari kepenatan itu, dan meluncur ke Senayan! Malam ini ada pertandingan voli Asia antara <st1:place st="on"><st1:country-region st="on">Indonesia</st1:country-region></st1:place> dan Jepang. Aku menontonnya bersama RJ, Tono dan ratusan pendukung <st1:place st="on"><st1:country-region st="on">Indonesia</st1:country-region></st1:place>. Tak banyak memang penontonnya, jika dibandingkan penonton sepakbola. Tapi itu tidak masalah, aku hanya ingin merasakan semangat itu saja.</span></p><p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><span style=";font-family:Times New Roman;font-size:130%;" ><br /></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><span style="font-size:130%;"><o:p><span style="font-family:Times New Roman;"> </span></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><span style=";font-family:Times New Roman;font-size:130%;" >Pertandingan baru akan dimulai. Pemain <st1:place st="on"><st1:country-region st="on">Indonesia</st1:country-region></st1:place> dan Jepang melakukan pemanasan. Wow! Ternyata yang diceritakan RJ sebelumnnya memang benar. Pemain-pemain Jepang itu tinggi-tinggi! Seorang pemain terlihat lebih besar daripada yang lainnya. Aku lupa namanya. Tingginya barangkali mencapai 2 meter.</span></p><p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><span style=";font-family:Times New Roman;font-size:130%;" ><br /></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><span style="font-size:130%;"><o:p><span style="font-family:Times New Roman;"> </span></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><span style=";font-family:Times New Roman;font-size:130%;" >Tidak hanya tinggi, dia juga besar. Dan tampaknya, karena badannya yang raksasa itu, dia jadi malas bergerak. Mungkin karena harus pemanasan, maka ia dan teman-temannya harus berlari kecil. Alih-alih berlari, ia hanya megal megol di pinggir lapangan.</span></p><p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><span style=";font-family:Times New Roman;font-size:130%;" ><br /></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><span style="font-size:130%;"><o:p><span style="font-family:Times New Roman;"> </span></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><span style=";font-family:Times New Roman;font-size:130%;" >Gerakannya lebih mirip ulat raksasa yang menggeliat-geliat daripada berlari. Belum lagi wajahnya. Dia selalu nyengir, tapi terlihat seperti menyeringai. Hidungnya seperti hidung bagong. Wahhh…tampangnya lucu sekali…besar tapi dongo. Hihihihi…</span></p><p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><span style=";font-family:Times New Roman;font-size:130%;" ><br /></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><span style="font-size:130%;"><o:p><span style="font-family:Times New Roman;"> </span></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><span style=";font-family:Times New Roman;font-size:130%;" >Pemain <st1:place st="on"><st1:country-region st="on">Indonesia</st1:country-region></st1:place> saat ini posturnya sudah lumayan. Beberapa dari mereka memang tinggi. Tapi seharusnya mereka lebih banyak diberi makan. Karena badan yang menjulang itu, tidak cukup diisi daging atau otot. Mereka kerempeng-kerempeng, terlihat seperti belalang sembah yang sedang hinggap di atas rumput.</span></p><p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><span style=";font-family:Times New Roman;font-size:130%;" ><br /></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><span style="font-size:130%;"><o:p><span style="font-family:Times New Roman;"> </span></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><span style=";font-family:Times New Roman;font-size:130%;" >Lalu pertandingan dimulai. Pertama kali yang melakukan serve adalah Jepang. Segala teriakan “Huuuuuuuuuuu” ditujukan pada sang pemukul serve. Toh akhirnya dia tetap bisa melakukan dengan sempurna. </span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><span style="font-size:130%;"><o:p><span style="font-family:Times New Roman;"> </span></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><span style=";font-family:Times New Roman;font-size:130%;" >Lain waktu, berbagai celotehan yang berbau mengejek pun dialamatkan pada tim Negara sakura ini.</span></p><p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><span style=";font-family:Times New Roman;font-size:130%;" ><br /></span></p><p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><span style=";font-family:Times New Roman;font-size:130%;" > “Woiii…gantian kerja rodi! Elo aja yang sekarang jadi romusha!” begitu RJ berteriak. </span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><span style="font-size:130%;"><o:p><span style="font-family:Times New Roman;"> </span></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><span style=";font-family:Times New Roman;font-size:130%;" >Aku terpingkal-pingkal mendengarnya. Seandainya saja mereka mengerti bahasa <st1:place st="on"><st1:country-region st="on">Indonesia</st1:country-region></st1:place>, mungkin mereka sudah menghampiri RJ dan menampar mulutnya.<br /></span></p><p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><span style=";font-family:Times New Roman;font-size:130%;" ><br /></span></p><p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><span style=";font-family:Times New Roman;font-size:130%;" >Tono tak mau kalah memciutkan nyali lawan, tiap kali Jepang melakukan serve, dia sibuk berteriak-teriak sendiri. “Tai kotok lo!” Hahahha…kasihan sekali pemain-pemain Jepang ini. Apa salah dan dosa mereka? Mengapa mereka disamakan dengan tai kotok?</span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><span style="font-size:130%;"><o:p><span style="font-family:Times New Roman;"> </span></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><span style=";font-family:Times New Roman;font-size:130%;" >Penonton yang duduk di belakang kami pun berteriak teriak dengan logat Jawa medok. “Yang nomer 7 kunyuuuuuuuuukkkk” lalu isterinya pun ikut menyahut, “Indonesia Bangkit!” dengan logat Jawa yang tak kalah kental.</span></p><p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><span style=";font-family:Times New Roman;font-size:130%;" ><br /></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><span style="font-size:130%;"><o:p><span style="font-family:Times New Roman;"> </span></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><span style=";font-family:Times New Roman;font-size:130%;" >Sebaliknya, jika tim <st1:place st="on"><st1:country-region st="on">Indonesia</st1:country-region></st1:place> melakukan serve, teriakan-teriakan memberi semangat membahana. “Indo-ne-sia…tok tok tok tok tok (ada yang bertepuk tangan, ada juga yang memukul drum, ada juga yang memukul dua balon hijau panjang)”</span></p><p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><span style=";font-family:Times New Roman;font-size:130%;" ><br /></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><span style="font-size:130%;"><o:p><span style="font-family:Times New Roman;"> </span></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><span style=";font-family:Times New Roman;font-size:130%;" >Nama-nama atlet <st1:place st="on"><st1:country-region st="on">Indonesia</st1:country-region></st1:place> dielu-elukan. Ketika Jepang melakukan kesalahan yang menyebabkan bertambahnya angka untuk <st1:place st="on"><st1:country-region st="on">Indonesia</st1:country-region></st1:place>, teriakan mengejek pun dilontarkan pada lawan. “Bagus, bagus, bagus, ulangi lagi ya!” teriak RJ.</span></p><p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><span style=";font-family:Times New Roman;font-size:130%;" ><br /></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><span style="font-size:130%;"><o:p><span style="font-family:Times New Roman;"> </span></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><span style=";font-family:Times New Roman;font-size:130%;" >Ketika wasit merugikan <st1:place st="on"><st1:country-region st="on">Indonesia</st1:country-region></st1:place>, lain lagi teriakannya. Sebuah koor membahana, “Wasit goblog, wasit goblog, wasit goblog!” tentu saja si wasit tidak peduli. Toh dia berasal dari Arab, yang tidak mengerti apa itu wasit goblog? Ibu Jawa yang duduk di belakangku berteriak, “Jangan bilang wasit goblog, dia ngga ngerti. Bilang aja wasit stupid!” katanya, masih dengan logat Jawa.</span></p><p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><span style=";font-family:Times New Roman;font-size:130%;" ><br /></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><span style="font-size:130%;"><o:p><span style="font-family:Times New Roman;"> </span></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><span style=";font-family:Times New Roman;font-size:130%;" >Pertandingan sebenarnya berlangsung tidak terlalu seru. Tim Indonesia sejak babak pertama selalu tertinggal dengan tim Jepang. Tapi kekompakan tim, bolehlah dicontoh. Ketika seorang anggota tim melakukan kesalahan, temannya tidak menghujat. Temannya malah memberi tos sebagai tanda pemberi semangat. Walaupun tak terucap, komunikasi nonverbal itu seperti mengatakan, “It’s okay. Cuma kesalahan kecil, nanti kita perbaiki lagi bersama,”</span></p><p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><span style=";font-family:Times New Roman;font-size:130%;" ><br /></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><span style="font-size:130%;"><o:p><span style="font-family:Times New Roman;"> </span></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><span style=";font-family:Times New Roman;font-size:130%;" >Ahhh…menyenangkan jika semangat olahraga bisa aku dapatkan di lingkungan pekerjaan. Jika salah seorang teman mengalami kesulitan atau kesalahan, bukanlah hujatan yang ditujukan padanya. Melainkan saling menguatkan dan mengatakan, “Hey, hari ini memang kita gagal, tapi kita masih bisa memperbaikinya.”</span></p><p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><span style=";font-family:Times New Roman;font-size:130%;" ><br /></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><span style="font-size:130%;"><o:p><span style="font-family:Times New Roman;"> </span></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><span style=";font-family:Times New Roman;font-size:130%;" >Namun tampaknya itu sulit sekali terlaksana. Jika ada kesalahan kecil, meskipun masih bisa diperbaiki, yang mendarat biasanya malahan hujatan yang membuat kuping panas. Tak adakan cara bekerja yang lebih sehat? </span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><span style="font-size:130%;"><o:p><span style="font-family:Times New Roman;"> </span></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><span style=";font-family:Times New Roman;font-size:130%;" >Hari itu, Kamis 6 September 2007, tim <st1:place st="on"><st1:country-region st="on">Indonesia</st1:country-region></st1:place> dipercundangi dengan telak oleh Jepang. Tidak satu set pun bisa direbut tim merak putih. Jepang melumat habis <st1:country-region st="on"><st1:place st="on">Indonesia</st1:place></st1:country-region> tiga set langsung. But it’s okay. Besok masih ada pertandingan melawan <st1:place st="on"><st1:country-region st="on">Australia</st1:country-region></st1:place> dan Korea Selatan. Masih bisa diperbaiki, toh? Masih ada pintu yang terbuka menuju Olimpiade Beijing.</span></p><p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><span style=";font-family:Times New Roman;font-size:130%;" ><br /></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><span style="font-size:130%;"><o:p><span style="font-family:Times New Roman;"> </span></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><span style=";font-family:Times New Roman;font-size:130%;" >Tidak mudah menjadi pecundang yang tetap bisa menegadahkan kepala. Toh kekalahan bukan akhir dari segalanya. Dalam hidup, tidak seterusnya kita bisa menang. Apa sulitnya menjadi seorang pemenang? Justru hidup jauh lebih menantang dan bermakna, jika sesekali menjadi pecundang yang masih bisa tertawa.</span></p><p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><span style=";font-family:Times New Roman;font-size:130%;" ><br /></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><span style="font-size:130%;"><o:p><span style="font-family:Times New Roman;"> </span></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><span style=";font-family:Times New Roman;font-size:130%;" >Aku memang pecundang, lalu kenapa? Tidak selamanya aku menjadi pecundang. <st1:place st="on"><st1:city st="on">Ada</st1:city></st1:place> kalanya aku yang akan menjadi pemenang, dan Anda yang menjadi pecundang. Biarkan semua orang yang memandang kita sebagai pecundang merasa jengah sendiri.</span></p><p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><span style=";font-family:Times New Roman;font-size:130%;" ><br /></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><span style="font-size:130%;"><o:p><span style="font-family:Times New Roman;"> </span></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 0pt;"><span style=";font-family:Times New Roman;font-size:130%;" >“Aku adalah pecundang yang masih bisa menengadahkan kepala! Dan aku akan menang karena kekalahan ini!”</span></p></div>Tussie Ayuhttp://www.blogger.com/profile/01814514491432737413noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-30235771.post-17463659337069433472007-08-17T14:47:00.000+07:002007-08-17T15:42:38.328+07:0017 Agustus<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiH5NzmgJyXtzX_nl1Gaikat60P1wD8xi5q8wOxQgrIHm7OxAVhLRdlTywR-hSO43XLsyRTAJ8sMXuFVjLYPObfXq67ic62xpczn3XsHriTsbebgffi2lhJVZMJvP5FovLvb3_F/s1600-h/17-agustus.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5099586844181393714" style="DISPLAY: block; MARGIN: 0px auto 10px; CURSOR: hand; TEXT-ALIGN: center" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiH5NzmgJyXtzX_nl1Gaikat60P1wD8xi5q8wOxQgrIHm7OxAVhLRdlTywR-hSO43XLsyRTAJ8sMXuFVjLYPObfXq67ic62xpczn3XsHriTsbebgffi2lhJVZMJvP5FovLvb3_F/s400/17-agustus.jpg" border="0" /></a><br /><div><br /><br /><div align="center"><strong>The Country Celebrate Our Day</strong></div></div>Tussie Ayuhttp://www.blogger.com/profile/01814514491432737413noreply@blogger.com6tag:blogger.com,1999:blog-30235771.post-35817458467231449292007-08-14T20:31:00.000+07:002007-08-28T19:32:14.187+07:00Ilyas Karim, Sang Pengibar Bendera Pusaka<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj7HDpvxvvO7wn1mtSy2jVwasDAQAve8MUOgRzzKj7JC35YYKH7T6YJu-WQLaTTMl7_9jukUXJNYDyvPUNVXd89Dd-bHizZDI3eatJoqYVYM9hOVAZf0WNBK0ROAQs6mrlhrFGN/s1600-h/Proklamasi.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5098559739036396178" style="DISPLAY: block; MARGIN: 0px auto 10px; CURSOR: hand; TEXT-ALIGN: center" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj7HDpvxvvO7wn1mtSy2jVwasDAQAve8MUOgRzzKj7JC35YYKH7T6YJu-WQLaTTMl7_9jukUXJNYDyvPUNVXd89Dd-bHizZDI3eatJoqYVYM9hOVAZf0WNBK0ROAQs6mrlhrFGN/s320/Proklamasi.jpg" border="0" /></a> 17 Agustus 1945, di Jl. Pegangsaan Timur 56, Cikini. Proklamasi kemerdekaan RI dibacakan. Semua orang larut dalam kebanggaan. Mengelu-elukan Bung Karno dan Bung Hatta.<br /><br />Tapi siapakah yang memperhatikan pemuda bercelana pendek itu? Ia masih sangat muda, 18 tahun ketika itu. Membawa bendera pusaka jahitan Ibu Fatmawati, dengan tangannya sendiri. Diiringi lagu Indonesia Raya, mengerek hingga sang saka berada di puncak tiang.<br /><br />Tak banyak orang yang tahu keberadaannya. Ia adalah Ilyas Karim. 31 Desember mendatang, usianya genap 80 tahun. Badannya gempal, uban memenuhi kepalanya. Kini, Si Mbah ini tinggal di salah satu rumah yang berbaris rapat di pinggir rel kereta api dekat Kalibata Mall.<br /><br />Rumahnya bercat biru kusam. Barangkali tetangga sebelah rumahnya tidak tahu, bahwa dialah yang mengibarkan bendera kebanggaan Indonesia, ketika proklamasi kemerdekaan. Tidak sulit menemukan rumah itu. Tanya saja pada tetangga sekitar atau tukang ojek, pasti mereka tahu rumah Pak Ilyas Karim.<br /><br />Obrolan kami pagi itu ditemani secangkir teh manis dan pisang goreng. “Pisang goreng ini dimasak isteri saya. Dari pohon yang tumbuh di belakang rumah,” katanya. Pembicaraan kami sesekali disela oleh suara kereta api yang melintas di belakang rumahnya.<br /><br />“Rumah ini berdiri di atas tanah PJKA. Sewaktu-waktu jika diusir, saya harus pindah,” katanya. Ketika saya bertanya, akan pindah kemana ia jika diusir? Ia menjawab dengan santai. “Saya juga punya rumah di Cakung. Dari hasil kerja dan sumbangan anak-anak saya. Saya akan pindah kesana. Tapi di sana macet, sulit kalau mau pergi-pergi. Saya lebih senang tinggal di sini,” katanya.<br /><br />Ingatan ayah dari 15 anak ini masih kuat. Ia masih bisa mengingat dengan rinci perjuangan yang pernah menempanya sebagai prajurit TNI Angkatan Darat. Lahir di Padang, Sumatera Barat. Pada usia 9 tahun, tepatnya tahun 1936, ayahnya pindah ke Jakarta dengan membawa seluruh anggota keluarga.<br /><br />Ia berkisah, tahun 1940 pesawat Jepang sudah mulai membentangkan sayap di langit ibu pertiwi. Dan tahun 1942, tentara bermata sipit ini mendarat di Jakarta. Di tahun yang sama dengan pendaratannya, Jepang mulai menancapkan kukunya di Nusantara. Hal ini ditandai dengan diculiknya tokoh-tokoh yang berseberangan dengan ideologi mereka.<br /><br />Ayah Ilyas adalah seorang di antaranya. Pekerjaannya sebagai demang Belanda dianggap membahayakan kedudukan pemerintah Jepang. Suatu hari, ayahnya diculik dari rumah. Selama tiga bulan disekap, dan akhirnya dibunuh di Tegal.<br /><br />Sementara itu, Ilyas yang beranjak remaja tengah aktif di organisasi Islam. Lalu ia memutuskan untuk bergabung dengan Angkatan Pemuda Islam (API) yang bermarkas di Menteng 31. Organisasi ini juga yang akhirnya mengantarkannya untuk mengibarkan bendera RI di detik proklamasi. Bersama prajurit PETA Sudancok Singgih, ia ditunjuk untuk mengibarkan bendera.<br /><br />“Saat itu dari AMI ada 50 pemuda, saya juga tidak mengerti mengapa pada akhirnya saya yang dipilih untuk mengibarkan bendera. Barangkali ini hanya keberuntungan saya,” katanya sambil terkekeh.<br /><br />Setelah proklamasi kemerdekaan, rasa nasionalisme Ilyas muda semakin membuncah. Ia memutuskan untuk bergabung dengan tentara yang saat itu masih bernama Badan Keamanan Rakyat (BKR). Selama tergabung di BKR, ia juga turut berperan dalam peristiwa-peristiwa penting. Salah satunya adalah pembentukan Divisi Siliwangi yang saat ini bernama Kodam Siliwangi.<br /><br />20 Mei 1946, diadakan pertemuan dengan AH Nasution dan Kawilarang di Buah Batu, Bandung. Saat itu, Nasution meminta saran untuk pembentukan divisi baru. “Saya berkata pada Pak Nasution untuk memberikan kami waktu guna berdiskusi dengan tokoh masyarakat setempat,” katanya.<br /><br />Maka keesokan harinya, ia mendatangi tokoh-tokoh masyarakat Jawa Barat. Berdasarkan perbincangan dengan mereka, didapatkan keterangan bahwa masyarakat Jawa Barat adalah keturunan Prabu Siliwangi. Maka nama ini yang diusulkan untuk diabadikan menjadi nama Divisi. Usulan ini disampaikan pada Nasution, dan ayah dari Ade Irma Suryani ini langsung menyetujuinya.<br /><p><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5098557415459089026" style="DISPLAY: block; MARGIN: 0px auto 10px; WIDTH: 180px; CURSOR: hand; HEIGHT: 218px; TEXT-ALIGN: center" height="168" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjJpp_Dog04ZyYES0iqnVjQb_lMa0Qvxw7AD5C8J-HL8xWGQd_Eh-fiaSmC-tsbeaDOkY4T0hqZYxUJqurRWP6F9pOtF2w5fDaqNZSJ4ka9as4oygGvjat0n1SKIK62KB13GMsO/s320/blog.jpg" width="135" border="0" /><br /><br />Sebagian besar karir ketentaraan Ilyas dihabiskan di Divisi Siliwangi. Ketika batalyon 328 dibentuk, ia pun bergabung di batalyon legendaris ini. Beberapa pertempuran seperti penumpasan Darul Islam di Jawa Barat dan Aceh, penumpasan PRRI di Pekan Baru, dan operasi Seroja di Timor Timur telah disambanginya. Untuk misi perdamaian bersama PBB, ia juga telah melanglangbuana ke Kongo, Vietnam dan Lebanon.<br /><br />Dari semua pertempuran, yang berkesan baginya adalah pertempuran PRRI di Pekanbaru dan operasi perdamaian di Kongo. Di Pekanbaru, ia turut turut berdialog dengan masyarakat agar tak terjadi pertumpahan darah. “Kami mengatakan pada masyarakat untuk ikut pada NKRI. Tapi kalu mau memberontak, silakan pergi ke hutan, jangan di kota. Saya katakan pada mereka, kemerdekaan NKRI telah diperjuangkan. Untuk apa ingin merdeka sendiri?” jelas kakek dari 25 cucu ini.<br /><br />Tahun 1980, ia pensiun dari dinas militer dengan pangkat terakhir sebagai Letkol. Atas jasa baktinya pada negara, gelar veteran pejuang kemerdekaan golongan A telah disandangnya.<br /><br />Ia menunjukkan surat yang ditandatangi Panglima TNI Laksamana Soedomo pada 26 Juni 1982 itu. Sebagai veteran, ia berhak menerima uang tunjangan sebesar Rp 500 ribu per bulan. Dan sebagai pensiunan TNI AD, ia menerima Rp 1,5 juta per bulan.<br /><br />Namun menurutnya, peraturan pemerintah saat ini tidak memperbolehkan para veteran untuk mengambil tunjangan sekaligus dengan uang pensiun. “Kami disuruh memilih, mau mengambil tunjangan veteran atau uang pensiun TNI AD. Saya memilih mengambil uang pensiunan saja,” tambah Ilyas.<br /><br />Kini, ia aktif dalam Yayasan Pejuang Siliwangi-Indonesia (YAPSI). Di YAPSI, ia telah dua periode terpilih menjadi Ketua Umum. Dari organisasi ini, ia telah beberapa kali bertemu dengan Presiden SBY. “Kemarin saya juga bertemu dengan Panglima TNI untuk bertukar pikiran di Bandung,” katanya.<br /><br />Mengetahui jumlah anaknya yang demikian banyak, saya iseng menanyakan. "Menikah dengan Ibu tahun berapa pak?" tanya saya. "Tahun 1981." jawabnya. </p><p>Saya hampir tak mempercayai pendengaran ini. Bagaimana mungkin 15 anak dan 25 cucu diproduksi dalam waktu yang begitu singkat? pikir saya. Untunglah dia langsung mengerti kebingungan saya.</p><p>"Ibu yang sekarang adalah isteri ketiga saya," katanya.</p><p>Saya kembali berpikir. Poligami? Bukankan anggota TNI tak boleh berpoligami?</p><p>Aha, dia juga tahu pikiran saya.</p><p>"Saya tidak pernah poligami. Isteri pertama saya orang Ambon. Saya nikahi ketika bertugas ke sana. Ia meninggal setelah melahirkan anak pertama kami. Lalu saya menikah lagi dengan orang Riau. Kami mendapatkan 8 orang anak lagi, tapi dia meninggal juga. Baru saya menikah dengan Ibu yang sekarang ini, dan kami memiliki 6 orang anak,"</p><p>Ow...ternyata kisah cintanya begitu panjang...<br /><br />Seperti kebanyakan kakek-kakek, ia senang sekali bicara tentang perjuangan di masa lalu. Aku tidak pernah merasakan memiliki kakek kandung. Tapi aku mengenal seseorang yang kuanggap kakek sendiri, yang juga seperti Pak Ilyas.</p><p>Ilyas juga bercerita, pejuang veteran Belanda juga pernah mengundangnya ke Den Haag. “Dulu mereka musuh kami, sekarang kami bersahabat,” ujarnya tertawa. </p><p>Di hari tuanya, ia berkata, tak mau berdiam diri. Selain berorganisasi, ia juga aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial. “Meskipun uang pensiun habis untuk membayar telepon, listrik dan air, tapi saya masih bersyukur. Setidaknya saya sudah naik haji pada tahun 1999 lalu,” katanya sambil tersenyum. </p><p>Orang Indonesia memang selalu bersyukur. Tetaplah demikian.<br /><br />Tussie Ayu Riekasapti<br /><br />versi ringkasnya diterbitkan di Jurnal Nasional, 17 Agustus 2007</p>Tussie Ayuhttp://www.blogger.com/profile/01814514491432737413noreply@blogger.com10tag:blogger.com,1999:blog-30235771.post-90656293708864749812007-08-08T13:37:00.000+07:002007-08-08T13:40:12.466+07:00Kemewahan8 Agustus 2007. Hari ini akan tercatat sebagai sejarah baru Jakarta. Untuk pertama kalinya, warga Jakarta berpesta demokrasi.<br /><br />***<br /><br />Tadi malam, aku sedang duduk-duduk di ruang tamu bersama pacarku. Kami terbiasa ngobrol ngalor ngidul. Maka aku bercerita tentang obrolanku bersama Pak Suhaelly, ajudan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono beberapa hari lalu.<br /><br />Kami, para wartawan sedang menunggu Menteri Pertahanan. Namun, beberapa Humas Departemen Pertahanan sudah mengultimatum, “Jangan bertanya tentang DCA (Defense Cooperation Aggrement),” kata mereka.<br /><br />Kami pun berceloteh pada Pak Suhaelly, “Pak, mengapa kami ngga boleh bertanya tentang DCA?”<br /><br />Ia menjawab, “Apa lagi yang mau ditanya tentang DCA? Toh ngga ada yang baru. Masih begitu-begitu saja,”<br /><br />Maksud Pak Suhaelly dengan begitu-begitu saja adalah masih belum ada perkembangan. Masih macet! Belum ada kesepakatan baru.<br /><br />Lalu aku menyambung, “Pak, PM Senior Singapora Lee Kuan Yew kan baru datang. Memangnya Pak Juwono ngobrol apa dengan Lee?”<br /><br />Pak Suhaelly pun berkisah. Pak Juwono memang sempat bertemu dengan Pak Lee di sebuah hotel (saya lupa di hotel apa?). Katanya, PM Lee yang meminta untuk bertemu dengan Pak Juwono.<br /><br />Saat itu, Pak Juwono mengatakan, “Ada apa lagi ini? Pak Lee mengajak saya bertemu. Kita lihat sampai sejauh mana Pak Lee ini. Saya layani sampai manapun,” begitu kira-kira kata pak Juwono.<br /><br />Setelah itu, pembicaraan mereka masih belum menghasilkan kesepakatan apapun. Pak Juwono bersikeras pada pendiriannya. Jika Singapura ingin mendapatkan tempat latihan di Indonesia, mereka harus mengembalikan uang dan buronan Indonesia selama tahun 1997-2001. Barter antara perjanjian pertahanan dan ekstradisi.<br /><br />Konon Lee keberatan dengan permintaan itu. Dengan mengembalikan uang dan burunan Indonesia, maka secara tidak langsung mereka mengakui telah bermain dengan uang haram. Namun dalam pertemuan itu, Lee berharap Pak Juwono tidak berbicara kepada media sesuatu yang akan membuat situasi panas lagi.<br /><br />***<br />Pacarku mendengarkan ceritaku. Lalu dia berkisah, betapa Singapura adalah negara yang demokrasinya payah sekali. Situasinya mirip orde baru di Indonesia. Negara seiprit ini memiliki beberapa partai, namun hanya ada satu partai besar, yaitu People Action Party (PAP).<br /><br />Partai oposisi dibungkam habis-habisan. Kedudukan mereka di parlemen hanya sebagai penggembira. Pemilu hanya formalitas, karena mereka tahu. Pada akhirnya yang menang pastilah PAP.<br /><br />Media massa adalah milik pemerintah. Hanya menyiarkan kabar sesuai keinginan penguasa. Dan yang paling konyol menurutku adalah, ketika akhirnya Lee Hsien Loong, anak kandung dari Lee Kuan Yew diangkat menjadi Perdana Menteri menggantikan ayahnya. Sedangkan ayahnya, diangkat menjadi Senior Prime Minister.<br /><br />Senior Prime Minister? Sungguh jabatan yang diada-adakan. Di benakku, ini seperti si anak papa yang belum disapih, masih ingin menyusu pada orang tuanya. Namanya Republik Singapura, ngakunya negara demokrasi, sistemnya parlementer…ealah…kok sistem pergantian kekuasaannya seperti monarchy hihihihi…<br /><br />Namun menurut pacarku, rakyat Singapura tidak terlalu peduli dengan situasi politik negerinya. “Karena kesejahteraan mereka sudah terjamin. Yang penting kan itu. Apapun yang terjadi pada politik, yang penting rakyat sejahtera,” katanya.<br /><br />***<br /><br />Indonesia memang negeri besar yang menyedihkan. Negeri yang melarat. Untuk diperhatikan kesejahteraannya saja, rakyat sibuk berkoar-koar dan merancang separatisme yang nanggung. Bupati-bupati di daerah berteriak agar daerahnya diperhatikan. “Ini karena kesejahteraan mereka belum mencukupi,” kata Pak Juwono beberapa bulan lalu.<br /><br />Berbeda jauh dengan Singapura, negeri kecil yang makmur. Rakyatnya dimanjakan dengan kemewahan sejak 20 tahun lalu, yang bahkan belum dimiliki Indonesia hingga kini.<br /><br />Bagi Indonesia, demokrasi adalah kemewahan. Di Negara melarat ini, kebebasan berekspresi, kebebasan berpendapat, dan memilih sendiri pemimpinnya adalah berkah hasil perjuangan.<br /><br />Indonesia kaya dengan caranya sendiri. Pada akhirnya pemikiran yang terbuka adalah panglima.Tussie Ayuhttp://www.blogger.com/profile/01814514491432737413noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-30235771.post-89864566876810200362007-07-24T21:34:00.000+07:002007-07-24T21:41:34.678+07:00Menguak Misteri Pembunuhan Tan Malaka<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg4I_fuNcCA-w9olT2j348do7GLd-kq58qzIWXgfwYcMTIUv9bZw2ywSrXcEuQloYvUk0b739ZWdM3ycB-xy5TKJS2aPtUBGn2R66B5dVaPO5FSs7l9bQLzJV84SdjGO-b03ZSM/s1600-h/tan+malaka.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5090773560329202242" style="DISPLAY: block; MARGIN: 0px auto 10px; CURSOR: hand; TEXT-ALIGN: center" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg4I_fuNcCA-w9olT2j348do7GLd-kq58qzIWXgfwYcMTIUv9bZw2ywSrXcEuQloYvUk0b739ZWdM3ycB-xy5TKJS2aPtUBGn2R66B5dVaPO5FSs7l9bQLzJV84SdjGO-b03ZSM/s320/tan+malaka.jpg" border="0" /></a><br /><div>Awal tahun 1949, markas Tan Malaka di Pace, Jawa Timur disergap oleh tentara. Namun karena ada serangan Belanda dari utara, pasukan TNI ditarik untuk menghalau Belanda. Maka dibebaskanlah Tan Malaka dan 60 orang pengikutnya.<br /><br />Tokoh kontroversial ini bersama pengikutnya melarikan diri ke selatan Jawa Timur. Dalam perjalanan, mereka ditembaki. Kemudian mereka membagi rombongan menjadi empat bagian. Tan Malaka dan empat orang pengikutnya pergi ke Tulung Agung, mengharapkan masih ada batalyon tentara di sana yang masih bersimpati pada mereka.<br /><br />Untuk menuju Tulung Agung, bukanlah rute yang mudah. Mereka harus melewati lereng Gunung Wilis yang masih berupa hutan rimba. Setelah dua hari berjalan, mereka disergap di suatu desa kecil bernama Selo Panggung. Penyergapnya adalah sebuah satuan kecil yang terdiri dari lima orang. Pemimpinnya hanya seorang berpangkat letnan dua.<br /><br />Si letnan dua kemudian memerintahkan bawahannya untuk menembak mati Tan Malaka. Pada hari itu, 21 Februari 1949, Tan Malaka gugur. Jasadnya dibenamkan di hutan dalam sebuah desa bernama Selo Panggung. Kini, daerah ini telah menjadi area persawahan. Bahkan ada perumahan juga dekat peristirahatan terakhirnya yang hilang.<br /><br />Teori kematian Tan Malaka ini diungkapkan oleh Harry A. Poeze. Dalam kunjungannya ke Jurnal Nasional, Selasa (24/7) lalu, ia menguak dengan gamblang peristiwa pembunuhan yang hingga kini masih samar.<br /><br />Poeze menulis buku berjudul “Verguisd en Vergeten, Tan Malaka, de linkse beweging en de Indonesiche Revolutie, 1945 – 1949” setebal 2200 halaman, dalam tiga jilid. Dalam bahasa Indonesia, ini berarti Dihujat dan Dilupakan, Tan Malaka Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia 1945 – 1949.<br /><br />“Saya yakin 99 persen bahwa versi ini adalah benar,” katanya dalam bahasa Indonesia. Menurutnya, ia telah berkeliling ke empat benua untuk mengumpulkan data dalam buku ini. Sejumlah tokoh partai Murba seperti Bambang Singgih telah diwawancarainya. Ia juga mewawancarai dua orang pengikut Tan Malaka yang mengantarnya hingga menjemput ajal.<br /><br />Lalu siapakah Letnan Dua yang memerintahkan penembakan itu? Menurut Poeze, ia adalah Letnan Dua Soekotjo. Pangkat terakhirnya sebelum pensiun dari keanggotaan TNI adalah Brigadir Jenderal. Soekotjo pernah menjabat sebagai Walikota Surabaya. Ia meninggal dunia pada tahun 1980-an.<br /><br />Namun sayang, buku yang akan diluncurkan pada 30 Juli mendatang ini masih ditulis dalam bahasa Belanda. Bagi yang tidak bisa berbahasa Belanda, harus menunggu hingga dua tahun lagi untuk membacanya dalam bahasa Indonesia.<br /><br />Tussie Ayu Riekasapti<br /><br /><span style="font-family:arial;"></span></div>Tussie Ayuhttp://www.blogger.com/profile/01814514491432737413noreply@blogger.com14tag:blogger.com,1999:blog-30235771.post-43777542638808709652007-07-23T17:51:00.000+07:002007-07-23T18:16:24.627+07:00Ketika Panglima TNI Menunjukkan TaringnyaBerita tentang alotnya perjanjian pertahanan dan ektradisi, mungkin telah banyak ditulis di hampir semua media massa saat ini. Tapi ada sebuah cerita kecil yang ingin saya ceritakan.<br /><br />Ketika saya menuliskannya di media saya, pisau editing telah melenyapkannya. Jadi saya pikir, ini tulisan yang hanya cocok untuk dikonsumsi para blogger. Bukan cerita besar. Tapi saya senang menceritakannya, sama senangnya ketika para ‘jurnalis kacang goreng’ saling bercerita tentang hal ini usai liputan. Jadi, inilah ceritanya.<br /><br />Suatu pagi, aku terbangun di tempat tidur. Hari ini belum ada agenda apapun untuk diliput. Itu biasa untuk wartawan polkam dan TNI. Wilayah liputan kami seringkali kering agenda. Kami tak bisa terus menerus menunggu berita datang dari langit.<br /><br />Aku sudah pasrah jika berita agenda sepi. Akupun sudah menyiapkan feature untuk diliput, jika memang berita ‘keras’ sedang sepi. Pukul 10.00 pagi, telepon genggamku berbunyi. Sebuah SMS dari Amril Sindo. Isinya begini,<br /><br />“Ada info kalau Panglima Singapura sedang ada di Dephan. Bener ga siy?”<br /><br />Adrenalinku bergejolak. Hal ini selalu terasa jika ada berita besar di depan mata. Macetnya perjanjian pertahanan dan perjanjian ekstradisi membuat hubungan kedua negara sedikit panas.<br />Aku segera meluncur ke kantor. Kuhubungi Humas Dephan. Ia menyatakan bahwa hari ini Menhan Juwono Sudarsono sedang tidak punya agenda apapun. Berita menjadi simpang siur. Beberapa teman yang sudah berada di Dephan juga mengatakan ‘masih sepi-sepi aja’. Aku mengurungkan niatku ke Dephan.<br /><br />Meskipun Panglima Singapura memang ada di Dephan, tapi tidak ingin bertemu wartawan, percuma mengejarnya. Sederet pengamanan di Dephan akan siap menghadang ‘jurnalis kacang goreng’. Daripada mengejar sesuatu yang samar, lebih baik mengerjakan hal lain yang lebih pasti.<br /><br />Tapi, ketika jarum jam bergerak ke angka 13.30, sebuah sms masuk ke telepon genggamku. Dari Dewo Kompas.<br /><br />“Panglima Singapura mau didorstop di Dephan jam 14.30,” katanya.<br /><br />Tak lama kemudian, humas Dephan meneleponku. Memberi tahu hal serupa. Memang dunia kadang membingungkan. Beberapa menit yang lalu, aku baru saja menelepon orang yang sama. Ia mengatakan Pak Menteri tidak punya agenda apa-apa hari ini. pernyataannya bisa berubah 180 derajat dalam tempo beberapa menit saja.<br /><br />Lalu aku segera meluncur ke Dephan. Di ruang pers, semua media Indonesia telah berkumpul. Ughhh…I hate this…kalau banyak wartawan TV, berarti kami harus siap berdesakan dengan kameraman mereka yang besar-besar dan selalu ingin di depan. Aku yang kecil biasanya akan menitipkan recorder pada teman yang ‘mendapatkan posisi bagus’. Jika ada yang ingin ditanyakan, aku akan berteriak dari belakang.<br /><br />Cara wawancara yang tidak menyenangkan.<br /><br />Hampir satu jam menunggu, akhirnya kami dipersilakan untuk menghampiri Panglima TNI dan Panglima Singapura. ketika itu, Panglima TNI sedang mengantarkan Panglima Singapura yang akan pulang. Saat itu, kami bertanya pada Panglima TNI dulu.<br /><br />Salah satu wartawan langsung bertanya soal kelanjutan perjanjian pertahanan. Marsekal Djoko Suyanto menjawab dengan tenang.<br /><br />”Kedatangan Panglima Singapura adalah kunjungan perdananya sebagai Panglima dan perkenalan dalam kapasitas Panglima baru. Selain itu, ada pertemuan rutin tahunan antara TNI dan Angkatan Bersenjata Singapura.”<br /><br />“Dalam pertemuan ini, dibicarakan tentang joint inteligent exchange (kerjasama pertukaran intelijen), joint coordinating committee (komite kerjasama bersama), joint training commitee (komite latihan bersama) dan joint logistik committee (komite logistic bersama). KAMI TIDAK MEMBICARAKAN SOAL PERJANJIAN PERTAHANAN.”<br /><br />Tidak puas dengan pernyataannya, para wartawan kemudian bertanya pada Panglima Singapore Letjen Desmond Kuek. Setali tiga uang, ia menjawab sama dengan yang dikatakan oleh Panglima TNI.<br /><br />Seorang teman saya, namanya Rahmad dari Republika tampaknya gemas dengan jawaban yang datar-datar saya. Tiba-tiba dia bertanya pada Kuek.<br /><br />”Mr. Juwono Said that Singapore Proposal in Bravo Area is quite crazy. What do you think about that?”<br /><br />Mendengar pertanyaan ini, Kuek tampak hampir menjawab, kalau saja Panglima TNI tidak memotong ucapannya.<br /><br />“No! We dont have to comment. Saya boleh mendikte dia! (dia yang dimaksud adalah Panglima Singapura),” kata Djoko Suyanto.<br /><br />Usai mendengar jawaban Panglima TNI, Panglima Singapura akhirnya diam-diam saja. Barangkali dia kaget dengan ulah wartawan Indonesia yang bertanya dengan sangat gamblang. Hahahaha…<br /><br />Saya dan teman saya sibuk menahan tertawa. Wah, asik ya melihat Panglima TNI bisa mendikte Panglima Singapura! Walaupun hanya sebatas apa yang boleh dia ucapkan dan apa yang tidak boleh diucapkan.Tussie Ayuhttp://www.blogger.com/profile/01814514491432737413noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-30235771.post-23840778499763696822007-07-06T21:59:00.000+07:002007-08-08T13:13:04.197+07:00Menggapai Atap Dunia<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjWIbbOxb1O7_lceTWb4HAtAb50vKm3xtvS4wm8B-1ppxINcRIY9vurPb4ycd_lvenDJUhXI3aOhVWTjRhYf1ZJ4-fUT6dSw20I4gRFmfbXm6I1Y5I10ftT3KXkpwrhxEPp5VRi/s1600-h/images.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5085100593729817154" style="DISPLAY: block; MARGIN: 0px auto 10px; CURSOR: hand; TEXT-ALIGN: center" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjWIbbOxb1O7_lceTWb4HAtAb50vKm3xtvS4wm8B-1ppxINcRIY9vurPb4ycd_lvenDJUhXI3aOhVWTjRhYf1ZJ4-fUT6dSw20I4gRFmfbXm6I1Y5I10ftT3KXkpwrhxEPp5VRi/s320/images.jpg" border="0" /></a><br /><br /><div>Mentari sembunyi petang itu. Langit menggambarkan semburat awan hitam, pertanda badai siap menghadang. Terlebih, ini bukanlah langit biasa. Ini adalah tempat dimana langit terdekat menyentuh bumi. Manusia menamakannya Puncak Everest.<br /><br />Hari itu, 26 April 1997. Tak banyak yang masih tersisa dari ekspedisi Kopassus kali ini. Tim Indonesia yang beranggotakan 45 orang, satu per satu mulai berguguran. Menjelang 50 meter mencapai puncak, hanya tiga orang yang masih bertahan.<br /><br />Suhu menunjukkan angka -45 derajat celcius. Karena kurangnya oksigen, aktivitas apapun menjadi sulit. Lettu Misirin gelap mata. Ia pingsan di tengah tumpukan salju, padahal puncak dunia tinggal selemparan batu lagi. Dari belakangnya, Sertu Asmujiono berlari terengah-engah dan melewati Misirin yang terkapar lemah.<br /><br />Dengan gagah, ditancapkannya sang merah putih untuk pertama kali di dataran tertinggi di muka bumi itu. Kemudian untuk merayakan kemenangan, serta merta ia melepaskan masker oksigen yang dikenakan. <a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi1Fg6mE1beZN3dly_FrT-8Ek1S78B8AY8rRyvJEhr8Ny8o3s6APbIzES-S0HFCms6Ok686cTEPVQf8cgTmIDioZvP18AeJKJsZEqu8pd0tIP9BxY6A8Uykh4KxgBNQy__Huc5K/s1600-h/asmujiono.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5085101663176673874" style="FLOAT: right; MARGIN: 0px 0px 10px 10px; WIDTH: 136px; CURSOR: hand; HEIGHT: 100px" height="65" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi1Fg6mE1beZN3dly_FrT-8Ek1S78B8AY8rRyvJEhr8Ny8o3s6APbIzES-S0HFCms6Ok686cTEPVQf8cgTmIDioZvP18AeJKJsZEqu8pd0tIP9BxY6A8Uykh4KxgBNQy__Huc5K/s320/asmujiono.jpg" width="121" border="0" /></a><br /><br />Tak lupa baret merah kebanggan Kopassus disematkan di kepala. “Saya merasakan kebesaran Tuhan saat mencapai puncak. Saya tidak bisa mengucap apapun kecuali Allahu Akbar,” kata Asmujiono.<br /><br />Kini, ia telah berpangkat Serka. Sepuluh tahun sudah berlalu sejak saat itu. Namun pengalaman ini takkan dilupakannya seumur hidup. Asmujiono tidak mengerti, kekuatan apa yang merasukinya hingga mampu berlari menuju Puncak Everest. “Padahal jangankan berlari, berjalan satu langkah saja, membutuhkan dua sampai tiga napas,” ujarnya.<br /><br />“Banyak yang menyangsikan keberhasilan tim Indonesia. Karena itu, saya membuka masker,” kata pria kurus ini. Padahal menurutnya, jangankan membuka masker. Jika kita membuka kacamata, hanya hitungan menit mata akan buta karena pantulan ultraviolet yang sangat tajam.<br /><br />Namun Asmujiono tetap sehat dan bisa mengenangnya hingga kini. Dalam pembukaan Pekan Olahraga TNI AD (PORAD) V minggu lalu, ia diberi kehormatan untuk mengibarkan berdera PORAD.<br /><br />Kebanggaan yang pantas diberikan untuk manusia ini. Karena dia yang pertama kali membawa Indonesia ke tempat terdekat dengan Tuhan, bila Tuhan memang ada di langit.<br /><br />Tussie Ayu Riekasapti</div>Tussie Ayuhttp://www.blogger.com/profile/01814514491432737413noreply@blogger.com5tag:blogger.com,1999:blog-30235771.post-68021295237808329772007-07-04T12:06:00.000+07:002007-07-09T13:38:14.016+07:00Total Diplomacy Layaknya Total Football<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiCuk2yFcGvWJdWT9D7Vs8CrYOVN8Qi6XOvuUv9WLa1aXpjYHDsNHHsoCX5ooPe9ugVeXDyzw0nNXymrqxckdQCPldef0TDVgUvdegJM4lR374mAh8OTyLe-Oia1vw4R1OpMauG/s1600-h/images.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5085082456082926098" style="DISPLAY: block; MARGIN: 0px auto 10px; CURSOR: hand; TEXT-ALIGN: center" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiCuk2yFcGvWJdWT9D7Vs8CrYOVN8Qi6XOvuUv9WLa1aXpjYHDsNHHsoCX5ooPe9ugVeXDyzw0nNXymrqxckdQCPldef0TDVgUvdegJM4lR374mAh8OTyLe-Oia1vw4R1OpMauG/s320/images.jpg" border="0" /></a><br /><div><div>Tiga pak<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiE4npk7xYGifxDLminpf8u6LQBH3JPxt32POFw3YmSNfZUn4Ss_Jx19Ue66RKcaPF8sOvReUFCLZ03lwoFSW2PjCikWB1-IJS93IP9qWM_p6xUkR3LfHENyFaD05Fe_Jkn6wbG/s1600-h/images.jpg"></a>et perjanjian telah ditandatangani RI-Singapura pada April lalu. Paket itu berisi Perjanjian ekstradisi, perjanjian pertahanan dan peraturan pelaksanaan (implementing arrangement dari perjanjian pertahanan. Namun hingga saat ini, pelaksanaannya urung berjalan, karena masih ada ketidaksesuaian antara kedua belak pihak.<br /><br />“Deplu yang mengetuai perundingan. Kami melaksanakan total diplomacy seperti orang Belanda melakukan total football. Setiap orang bisa main di tiap posisi secara berputar-putar. Hal ini dilakukan agar lawan tidak tahu persis di mana kita memulai politik, ekonomi, keuangan dan ekstradisi. Kami laksanakan dengan tepat agar tidak dikadalin Singapura,” kata Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, Selasa (3/7) lalu di Lembaga Ketahanan Nasional.<br /><br />Juwono yang pagi itu berbicara di hadapan peserta Program Pendidikan Reguler Angkatan 40 Lemhannas mengungkapkan, Singapura sengaja meminta hal yang tidak masuk akal dalam perjanjian pertahanan.<br /><br />“Mereka meminta latihan selama 15 hari setiap bulan. Kan gila itu! Kami mau hanya empat sampai enam kali setahun. Hal ini atas pertimbangan lingkungan, nafkah untuk nelayan dan keamanan bersama,” katanya. Menurutnya, Singapura sengaja meminta hal ini agar perundingan menjadi macet.<br /><br />Macetnya perundingan, kata Juwono, dilakukan agar mereka tidak harus mengakui telah menampung buronan dan aset Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) selama tahun 1997 sampai 2001. “Inilah pertautan antara politik, ekonomi dan keamanan,” tambahnya.<br /><br />Untuk itu, menurutnya Indonesia melakukan pertaruhan otak dan otot. “Kami coba melaksanakan diplomasi terpadu antara Departemen Luar Negeri, Dephan, Mabes TNI, juga melibatkan Kementrian ESDM, Kementerian Lingkungan Hidup dan Departemen Kehutanan,” jelasnya.<br /><br />Ia menceritakan, perjanjian ini berawal pada Oktober 2005. Ketika itu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ditantang oleh PM Lee Hsien Liong untuk membuat perjanjian ekstradisi dan pertahanan secara paralel. Menurutnya, ketika itu pemerintah sepakat untuk menerima tantangan ini.<br /><br />Ketiga perjanjian yang akhirnya ditandatangani pada April 2007 ini saling berkaitan. “Deal dari awal sudah jelas. You give me money, and I will give you space,” ujarnya. Setelah uang dan buronan Indonesia didapatkan, baru Singapura diberikan tempat latihan.<br /><br />“Jika Singapura mengembalikan satu orang buronan Indonesia beserta uang US$ 200 juta, baru Indonesia akan meminjamkan satu daerah untuk latihan tentara. Kita ini sama-sama licik,” kata mantan duta besar Indonesia untuk Inggris ini.<br /><br />Ia menambahkan bahwa pemerintah tidak pernah berilusi bahwa perjanjian akan berjalan mulus, walaupun telah ditandatangani. “Singapura harus mengakui mereka telah menampung uang panas dari Indonesia,” katanya.<br /><br />Berdasarkan sala satu lembaga riset keuangan internasional, menurut Juwono ada 18 ribu orang Indonesia yang memiliki jaringan di Singapura. “Total uang sebanyak US$ 87 Milyar berpangkal di Singapura. dari jumlah itu, tidak semuanya ilegal, dan tidak semuanya buron BLBI. Tapi yang kami minta, adalah buron antara tahun 1997 sampai 2001,” katanya.<br /><br />Untuk persoalan serumit ini, pantas jika pemerintah melakukan total diplomacy layaknya total football. Seperti juga pertandingan sepak bola, tentu sportivitas harus diutamakan. Jangan sampai kena kartu merah, Pak Menteri!<br /><br />Tussie Ayu Riekasapti</div></div>Tussie Ayuhttp://www.blogger.com/profile/01814514491432737413noreply@blogger.com5