Friday, September 07, 2007

Aku Memang Pecundang, So What?

*Untuk orang-orang yang senang menghujat kekalahan


Malam ini, adalah malam yang bersejarah. Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku akan menonton secara langsung pertadingan olahraga di Senayan. Yipeee! Ah…norak sekali, tapi hal baru selalu membuat darahku tersirap. Melakukan hal di luar rutinitas adalah sebuah bentuk kemewahan bagiku saat ini.


Sejak pertandingan sepakbola Piala Asia dihelat, aku sudah ingin sekali ikut menonton langsung di Senayan. Melebur bersama ribuan orang lain yang memakai baju berwarna merah, dan meneriakkan “Ini kandang kita, Indonesia!” kalah atau menang tidak masalah. Yang terpenting adalah, bagaimana merasakan semangat menjadi orang Indonesia sampai ke dalam sum-sum.


Tapi keinginan itu tak pernah terlaksana. Pekerjaan tidak pernah ada habisnya. Akhinya aku harus puas menonton kekalahan demi kekalahan melalui layar monitor yang ada di kantor. Ya sudahlah. Ini nasib menjadi budak pekerjaan.


Tapi malam ini, persetan dengan semua pekerjaan. Aku melarikan diri dari kepenatan itu, dan meluncur ke Senayan! Malam ini ada pertandingan voli Asia antara Indonesia dan Jepang. Aku menontonnya bersama RJ, Tono dan ratusan pendukung Indonesia. Tak banyak memang penontonnya, jika dibandingkan penonton sepakbola. Tapi itu tidak masalah, aku hanya ingin merasakan semangat itu saja.


Pertandingan baru akan dimulai. Pemain Indonesia dan Jepang melakukan pemanasan. Wow! Ternyata yang diceritakan RJ sebelumnnya memang benar. Pemain-pemain Jepang itu tinggi-tinggi! Seorang pemain terlihat lebih besar daripada yang lainnya. Aku lupa namanya. Tingginya barangkali mencapai 2 meter.


Tidak hanya tinggi, dia juga besar. Dan tampaknya, karena badannya yang raksasa itu, dia jadi malas bergerak. Mungkin karena harus pemanasan, maka ia dan teman-temannya harus berlari kecil. Alih-alih berlari, ia hanya megal megol di pinggir lapangan.


Gerakannya lebih mirip ulat raksasa yang menggeliat-geliat daripada berlari. Belum lagi wajahnya. Dia selalu nyengir, tapi terlihat seperti menyeringai. Hidungnya seperti hidung bagong. Wahhh…tampangnya lucu sekali…besar tapi dongo. Hihihihi…


Pemain Indonesia saat ini posturnya sudah lumayan. Beberapa dari mereka memang tinggi. Tapi seharusnya mereka lebih banyak diberi makan. Karena badan yang menjulang itu, tidak cukup diisi daging atau otot. Mereka kerempeng-kerempeng, terlihat seperti belalang sembah yang sedang hinggap di atas rumput.


Lalu pertandingan dimulai. Pertama kali yang melakukan serve adalah Jepang. Segala teriakan “Huuuuuuuuuuu” ditujukan pada sang pemukul serve. Toh akhirnya dia tetap bisa melakukan dengan sempurna.

Lain waktu, berbagai celotehan yang berbau mengejek pun dialamatkan pada tim Negara sakura ini.


“Woiii…gantian kerja rodi! Elo aja yang sekarang jadi romusha!” begitu RJ berteriak.

Aku terpingkal-pingkal mendengarnya. Seandainya saja mereka mengerti bahasa Indonesia, mungkin mereka sudah menghampiri RJ dan menampar mulutnya.


Tono tak mau kalah memciutkan nyali lawan, tiap kali Jepang melakukan serve, dia sibuk berteriak-teriak sendiri. “Tai kotok lo!” Hahahha…kasihan sekali pemain-pemain Jepang ini. Apa salah dan dosa mereka? Mengapa mereka disamakan dengan tai kotok?

Penonton yang duduk di belakang kami pun berteriak teriak dengan logat Jawa medok. “Yang nomer 7 kunyuuuuuuuuukkkk” lalu isterinya pun ikut menyahut, “Indonesia Bangkit!” dengan logat Jawa yang tak kalah kental.


Sebaliknya, jika tim Indonesia melakukan serve, teriakan-teriakan memberi semangat membahana. “Indo-ne-sia…tok tok tok tok tok (ada yang bertepuk tangan, ada juga yang memukul drum, ada juga yang memukul dua balon hijau panjang)”


Nama-nama atlet Indonesia dielu-elukan. Ketika Jepang melakukan kesalahan yang menyebabkan bertambahnya angka untuk Indonesia, teriakan mengejek pun dilontarkan pada lawan. “Bagus, bagus, bagus, ulangi lagi ya!” teriak RJ.


Ketika wasit merugikan Indonesia, lain lagi teriakannya. Sebuah koor membahana, “Wasit goblog, wasit goblog, wasit goblog!” tentu saja si wasit tidak peduli. Toh dia berasal dari Arab, yang tidak mengerti apa itu wasit goblog? Ibu Jawa yang duduk di belakangku berteriak, “Jangan bilang wasit goblog, dia ngga ngerti. Bilang aja wasit stupid!” katanya, masih dengan logat Jawa.


Pertandingan sebenarnya berlangsung tidak terlalu seru. Tim Indonesia sejak babak pertama selalu tertinggal dengan tim Jepang. Tapi kekompakan tim, bolehlah dicontoh. Ketika seorang anggota tim melakukan kesalahan, temannya tidak menghujat. Temannya malah memberi tos sebagai tanda pemberi semangat. Walaupun tak terucap, komunikasi nonverbal itu seperti mengatakan, “It’s okay. Cuma kesalahan kecil, nanti kita perbaiki lagi bersama,”


Ahhh…menyenangkan jika semangat olahraga bisa aku dapatkan di lingkungan pekerjaan. Jika salah seorang teman mengalami kesulitan atau kesalahan, bukanlah hujatan yang ditujukan padanya. Melainkan saling menguatkan dan mengatakan, “Hey, hari ini memang kita gagal, tapi kita masih bisa memperbaikinya.”


Namun tampaknya itu sulit sekali terlaksana. Jika ada kesalahan kecil, meskipun masih bisa diperbaiki, yang mendarat biasanya malahan hujatan yang membuat kuping panas. Tak adakan cara bekerja yang lebih sehat?

Hari itu, Kamis 6 September 2007, tim Indonesia dipercundangi dengan telak oleh Jepang. Tidak satu set pun bisa direbut tim merak putih. Jepang melumat habis Indonesia tiga set langsung. But it’s okay. Besok masih ada pertandingan melawan Australia dan Korea Selatan. Masih bisa diperbaiki, toh? Masih ada pintu yang terbuka menuju Olimpiade Beijing.


Tidak mudah menjadi pecundang yang tetap bisa menegadahkan kepala. Toh kekalahan bukan akhir dari segalanya. Dalam hidup, tidak seterusnya kita bisa menang. Apa sulitnya menjadi seorang pemenang? Justru hidup jauh lebih menantang dan bermakna, jika sesekali menjadi pecundang yang masih bisa tertawa.


Aku memang pecundang, lalu kenapa? Tidak selamanya aku menjadi pecundang. Ada kalanya aku yang akan menjadi pemenang, dan Anda yang menjadi pecundang. Biarkan semua orang yang memandang kita sebagai pecundang merasa jengah sendiri.


“Aku adalah pecundang yang masih bisa menengadahkan kepala! Dan aku akan menang karena kekalahan ini!”