Tuesday, May 22, 2007

Kidung Mesra Untuk Indonesia


Aku bosan malu menjadi orang Indonesia. Leherku pegal karena selalu menuduk. Tidak bisakah aku mendongak lagi, seperti cerita yang aku baca di buku sejarah...50 tahun lalu, kita bisa mendongak.

Aku memang pemegang paspor hijau itu. Ada apa denganku? Apakah karena bangsaku? Aku tidak suka bila kau berkata demikian. Salah satu temanku malu menggunakan sarung paspor berwarna hijau. Ia memilih menggantinya jadi bersampul biru, demi tidak disepelekan.

Aku melihat bagaimana pahlawan kita disepelekan. Sang pahlawan devisa, tidak satupun dari perbuatannya dianggap benar. Bahkan ketika mengantri pemeriksaan paspor di bandara. Seandainya sampul paspor mereka bukan hijau, mungkin mereka akan memperlakukan pahlawan kita dengan lebih baik.

Pemerintahku memang tidak selalu benar. Tapi aku juga tidak selalu setuju dengan temen-teman persku yang selalu mendampratnya. Kebusukan memang harus diungkap. Tapi apa benar semua yang ada pada bangsaku selalu busuk? Tak bisakah kita sekali saja bercerita sesuatu yang indah tentang Indonesia? Kita nyanyikan kidung mesra untuk Indonesia?

Beberapa hari lalu, Aku membaca "Berita Harian", salah satu surat kabar terkemuka di Malaysia. Tajuknya mengambil berita dari The Jakarta Post, bahwa di Jawa Tengah tingkat bunuh diri meningkat karena kesengsaraan.

Telingaku sakit. Mataku perih. Kita punya banyak kebanggaan. Mengapa harus sesuatu yang buruk yang selalu ditulis. Kita tidak punya muka manakala berhadapan dengan orang asing. Bagaikan meludah ke langit, akhirnya malah terkena muka sendiri.

Sekali saja, aku ingin mendengar kidung merdu itu. Seperti ketika salah seorang Melayu di Malaysia yang kutemui, ia membaca "Keluarga Gerilya" karya Pramoedya Ananta Toer, dan begitu terkesima karenanya. Tak bisakah kita berkarya, dengan mendongakkan kepala sendiri.

Ulang tahunku memang 17 Agustus, sama dengan ulang tahun Indonesia. Namun itu tidak berarti aku memiliki nasionalisme setinggi langit. Aku selalu malu menjadi orang Indonesia. Namun, baru kali ini...aku ingin...sekali saja mendongak.

Jika pemerintah busuk itu tidak bisa mengerjakan tugasnya dengan baik, biarkan sajalah. Aku -toh tidak bisa berbuat apa-apa. Tapi aku sendiri, aku akan melaksanakan tugasku dengan baik. Karena aku sungguh ingin mendengar kidung mesra itu.

4 comments:

doddi Ahmad Fauji said...

Maka pada suatu hari di September tahun 1995, di kantor migrasi Kota Perth, Australia Barar, aku dan seoarng kawanku diperiksa dengan anjing pelacak yang tingginya se-kuda. Betapa menyedihkan, karena org lain diperiksa cukup dengan pintu detektor. Itu tiada lain karena kami datang dari Nusantara.

Bahkan pesawat yang kami tunggangi, sebelum mendadarat di bandara Kota Perth, disemprot dengan sterilis, semacam oabt bygon pembunuh insektisida.

Tetapi, dunia mulai tahu kalau naskah La Galigo adalah terpanjang dan paling kompleks kandungannya dari seluruh naskah di dunia selama ini, dan Borobudur adalah maha-candi dari tujuh keajaiban karya manusia. Jadi, La Galigo lebih dahsyat dari karya sastra Nobel atau Pulitzer.

Suatu hari nanti, karya Pramoedya bisa jadi diberi label "lain" dan bukan sekadar nominator Nobel oleh masyarakat internasional, dengan suatu harapan pula bahwa suatu hari akan mencul karya Tussie Ayu Riekasapti yang membuatnya tidak merunduk, pula tidak perlu mendongak (sebab mendongak lebih dekat pada congkak), tapi memiliki harga diri dan wibawa yang kukuh, kokoh, keukeuh!

Reza RJ said...

tulisan yang selalu mengundang senyum. kalo buat buku aku minta tanda tangannya ya. kalo bisa buku terbitan pertama untuk aku.sebelum laku bak kacang goreng dan aku keabisan.hehhehehe....

Tussie Ayu said...

RJ, ini tulisan bukan buat ketawa2an...kok malah mengundang senyum siy? harusnya sedih tau bacanya hiks...hiks...sebagai orang Indonesia harusnya punya kebanggaan...

kamu doain aja biar aku bisa nulis buku. Paling ngga, niatnya udah ada. doain biar cepet direalisasikan hihihihi..

zen said...

Nulis buku ya? Jadi inget ada orang yang pernah bilang kalo wartawan baru disebut tulen kalo dah nulis buku.

Oh ya, di Malaysia orang membaca Pramoedya, di sini orang cuma dengerin Siti Nurhaliza dan Salim Iklim.

Masih mau mendongak jika begitu?