Wednesday, August 08, 2007

Kemewahan

8 Agustus 2007. Hari ini akan tercatat sebagai sejarah baru Jakarta. Untuk pertama kalinya, warga Jakarta berpesta demokrasi.

***

Tadi malam, aku sedang duduk-duduk di ruang tamu bersama pacarku. Kami terbiasa ngobrol ngalor ngidul. Maka aku bercerita tentang obrolanku bersama Pak Suhaelly, ajudan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono beberapa hari lalu.

Kami, para wartawan sedang menunggu Menteri Pertahanan. Namun, beberapa Humas Departemen Pertahanan sudah mengultimatum, “Jangan bertanya tentang DCA (Defense Cooperation Aggrement),” kata mereka.

Kami pun berceloteh pada Pak Suhaelly, “Pak, mengapa kami ngga boleh bertanya tentang DCA?”

Ia menjawab, “Apa lagi yang mau ditanya tentang DCA? Toh ngga ada yang baru. Masih begitu-begitu saja,”

Maksud Pak Suhaelly dengan begitu-begitu saja adalah masih belum ada perkembangan. Masih macet! Belum ada kesepakatan baru.

Lalu aku menyambung, “Pak, PM Senior Singapora Lee Kuan Yew kan baru datang. Memangnya Pak Juwono ngobrol apa dengan Lee?”

Pak Suhaelly pun berkisah. Pak Juwono memang sempat bertemu dengan Pak Lee di sebuah hotel (saya lupa di hotel apa?). Katanya, PM Lee yang meminta untuk bertemu dengan Pak Juwono.

Saat itu, Pak Juwono mengatakan, “Ada apa lagi ini? Pak Lee mengajak saya bertemu. Kita lihat sampai sejauh mana Pak Lee ini. Saya layani sampai manapun,” begitu kira-kira kata pak Juwono.

Setelah itu, pembicaraan mereka masih belum menghasilkan kesepakatan apapun. Pak Juwono bersikeras pada pendiriannya. Jika Singapura ingin mendapatkan tempat latihan di Indonesia, mereka harus mengembalikan uang dan buronan Indonesia selama tahun 1997-2001. Barter antara perjanjian pertahanan dan ekstradisi.

Konon Lee keberatan dengan permintaan itu. Dengan mengembalikan uang dan burunan Indonesia, maka secara tidak langsung mereka mengakui telah bermain dengan uang haram. Namun dalam pertemuan itu, Lee berharap Pak Juwono tidak berbicara kepada media sesuatu yang akan membuat situasi panas lagi.

***
Pacarku mendengarkan ceritaku. Lalu dia berkisah, betapa Singapura adalah negara yang demokrasinya payah sekali. Situasinya mirip orde baru di Indonesia. Negara seiprit ini memiliki beberapa partai, namun hanya ada satu partai besar, yaitu People Action Party (PAP).

Partai oposisi dibungkam habis-habisan. Kedudukan mereka di parlemen hanya sebagai penggembira. Pemilu hanya formalitas, karena mereka tahu. Pada akhirnya yang menang pastilah PAP.

Media massa adalah milik pemerintah. Hanya menyiarkan kabar sesuai keinginan penguasa. Dan yang paling konyol menurutku adalah, ketika akhirnya Lee Hsien Loong, anak kandung dari Lee Kuan Yew diangkat menjadi Perdana Menteri menggantikan ayahnya. Sedangkan ayahnya, diangkat menjadi Senior Prime Minister.

Senior Prime Minister? Sungguh jabatan yang diada-adakan. Di benakku, ini seperti si anak papa yang belum disapih, masih ingin menyusu pada orang tuanya. Namanya Republik Singapura, ngakunya negara demokrasi, sistemnya parlementer…ealah…kok sistem pergantian kekuasaannya seperti monarchy hihihihi…

Namun menurut pacarku, rakyat Singapura tidak terlalu peduli dengan situasi politik negerinya. “Karena kesejahteraan mereka sudah terjamin. Yang penting kan itu. Apapun yang terjadi pada politik, yang penting rakyat sejahtera,” katanya.

***

Indonesia memang negeri besar yang menyedihkan. Negeri yang melarat. Untuk diperhatikan kesejahteraannya saja, rakyat sibuk berkoar-koar dan merancang separatisme yang nanggung. Bupati-bupati di daerah berteriak agar daerahnya diperhatikan. “Ini karena kesejahteraan mereka belum mencukupi,” kata Pak Juwono beberapa bulan lalu.

Berbeda jauh dengan Singapura, negeri kecil yang makmur. Rakyatnya dimanjakan dengan kemewahan sejak 20 tahun lalu, yang bahkan belum dimiliki Indonesia hingga kini.

Bagi Indonesia, demokrasi adalah kemewahan. Di Negara melarat ini, kebebasan berekspresi, kebebasan berpendapat, dan memilih sendiri pemimpinnya adalah berkah hasil perjuangan.

Indonesia kaya dengan caranya sendiri. Pada akhirnya pemikiran yang terbuka adalah panglima.

4 comments:

Anonymous said...

oh tidak.. tussie sudah punya pacar.. hiks hiks hiks.

-adi-

Reza RJ said...

begitulah Singapura!! Negara makmur berjarak tembakan meriam zaman kompeni masih pake mesiu bubuk yang dimasukin lewat moncong.
Hal itu aku tau karena skripsiku ngomongin Singapura.
Mereka miskin air bersih, tapi berbekal kesepakatan dengan negara bagian Johor saat masih berada di bawah Malaysia, Singapura menikmati air dengan harga hanya 45 sen Ringgit/1000 m3 air dari Sungai Skudai, Tebrau, dan Johor River sampai tahun 2061. Harga yang mereka ingin terus pertahankan, padahal Malaysia ingin merevisi.
Kalo Malaysia jahat, putusin aja aliran air ke Singapura. Singapura bisa bangkrut karena harus menyuling air laut agar siap minum bagi warganya dengan biaya produksi air sulingan yang selangit.
Itulah si Singa yang ternyata rapuh (vulnerable).
Buat aja peristiwa 911 di Singapura, langsung lewat tuh Singapura bin Temasek.

Okky Madasari said...

Singapura telah memilih bahwa demokrasi bukan sesuatu yang penting selama masalah ekonomi dan kesejahteraan terjamin. Tentu konsep seperti ini sangat bertentangan bagi orang2 seperti kita yang menomorsatukan "kebebasan". Kalau ingat bagaimana tertekan nya berjalan2 di Singapura karena begitu banyaknya larangan & betapa takutnya warga negaranya dengan tentara&aparat, aku lebih memilih setapak demi setapak meraih demokrasi dan kesejahteraan ekonomi di Indonesia meski hasilnya nggak akan "mewah-mewah" banget.

doddi Ahmad Fauji said...

Ada kabar Daeng Rusman sudah mengirim komentar di blog tussie, karena katanya, blog tussie bagus isinya, membuat orang ingin berdebat. Apa yang namanya adi ini pengejawantahan dari daeng rus... hihiii