
17 Agustus 1945, di Jl. Pegangsaan Timur 56, Cikini. Proklamasi kemerdekaan RI dibacakan. Semua orang larut dalam kebanggaan. Mengelu-elukan Bung Karno dan Bung Hatta.
Tapi siapakah yang memperhatikan pemuda bercelana pendek itu? Ia masih sangat muda, 18 tahun ketika itu. Membawa bendera pusaka jahitan Ibu Fatmawati, dengan tangannya sendiri. Diiringi lagu Indonesia Raya, mengerek hingga sang saka berada di puncak tiang.
Tak banyak orang yang tahu keberadaannya. Ia adalah Ilyas Karim. 31 Desember mendatang, usianya genap 80 tahun. Badannya gempal, uban memenuhi kepalanya. Kini, Si Mbah ini tinggal di salah satu rumah yang berbaris rapat di pinggir rel kereta api dekat Kalibata Mall.
Rumahnya bercat biru kusam. Barangkali tetangga sebelah rumahnya tidak tahu, bahwa dialah yang mengibarkan bendera kebanggaan Indonesia, ketika proklamasi kemerdekaan. Tidak sulit menemukan rumah itu. Tanya saja pada tetangga sekitar atau tukang ojek, pasti mereka tahu rumah Pak Ilyas Karim.
Obrolan kami pagi itu ditemani secangkir teh manis dan pisang goreng. “Pisang goreng ini dimasak isteri saya. Dari pohon yang tumbuh di belakang rumah,” katanya. Pembicaraan kami sesekali disela oleh suara kereta api yang melintas di belakang rumahnya.
“Rumah ini berdiri di atas tanah PJKA. Sewaktu-waktu jika diusir, saya harus pindah,” katanya. Ketika saya bertanya, akan pindah kemana ia jika diusir? Ia menjawab dengan santai. “Saya juga punya rumah di Cakung. Dari hasil kerja dan sumbangan anak-anak saya. Saya akan pindah kesana. Tapi di sana macet, sulit kalau mau pergi-pergi. Saya lebih senang tinggal di sini,” katanya.
Ingatan ayah dari 15 anak ini masih kuat. Ia masih bisa mengingat dengan rinci perjuangan yang pernah menempanya sebagai prajurit TNI Angkatan Darat. Lahir di Padang, Sumatera Barat. Pada usia 9 tahun, tepatnya tahun 1936, ayahnya pindah ke Jakarta dengan membawa seluruh anggota keluarga.
Ia berkisah, tahun 1940 pesawat Jepang sudah mulai membentangkan sayap di langit ibu pertiwi. Dan tahun 1942, tentara bermata sipit ini mendarat di Jakarta. Di tahun yang sama dengan pendaratannya, Jepang mulai menancapkan kukunya di Nusantara. Hal ini ditandai dengan diculiknya tokoh-tokoh yang berseberangan dengan ideologi mereka.
Ayah Ilyas adalah seorang di antaranya. Pekerjaannya sebagai demang Belanda dianggap membahayakan kedudukan pemerintah Jepang. Suatu hari, ayahnya diculik dari rumah. Selama tiga bulan disekap, dan akhirnya dibunuh di Tegal.
Sementara itu, Ilyas yang beranjak remaja tengah aktif di organisasi Islam. Lalu ia memutuskan untuk bergabung dengan Angkatan Pemuda Islam (API) yang bermarkas di Menteng 31. Organisasi ini juga yang akhirnya mengantarkannya untuk mengibarkan bendera RI di detik proklamasi. Bersama prajurit PETA Sudancok Singgih, ia ditunjuk untuk mengibarkan bendera.
“Saat itu dari AMI ada 50 pemuda, saya juga tidak mengerti mengapa pada akhirnya saya yang dipilih untuk mengibarkan bendera. Barangkali ini hanya keberuntungan saya,” katanya sambil terkekeh.
Setelah proklamasi kemerdekaan, rasa nasionalisme Ilyas muda semakin membuncah. Ia memutuskan untuk bergabung dengan tentara yang saat itu masih bernama Badan Keamanan Rakyat (BKR). Selama tergabung di BKR, ia juga turut berperan dalam peristiwa-peristiwa penting. Salah satunya adalah pembentukan Divisi Siliwangi yang saat ini bernama Kodam Siliwangi.
20 Mei 1946, diadakan pertemuan dengan AH Nasution dan Kawilarang di Buah Batu, Bandung. Saat itu, Nasution meminta saran untuk pembentukan divisi baru. “Saya berkata pada Pak Nasution untuk memberikan kami waktu guna berdiskusi dengan tokoh masyarakat setempat,” katanya.
Maka keesokan harinya, ia mendatangi tokoh-tokoh masyarakat Jawa Barat. Berdasarkan perbincangan dengan mereka, didapatkan keterangan bahwa masyarakat Jawa Barat adalah keturunan Prabu Siliwangi. Maka nama ini yang diusulkan untuk diabadikan menjadi nama Divisi. Usulan ini disampaikan pada Nasution, dan ayah dari Ade Irma Suryani ini langsung menyetujuinya.

Sebagian besar karir ketentaraan Ilyas dihabiskan di Divisi Siliwangi. Ketika batalyon 328 dibentuk, ia pun bergabung di batalyon legendaris ini. Beberapa pertempuran seperti penumpasan Darul Islam di Jawa Barat dan Aceh, penumpasan PRRI di Pekan Baru, dan operasi Seroja di Timor Timur telah disambanginya. Untuk misi perdamaian bersama PBB, ia juga telah melanglangbuana ke Kongo, Vietnam dan Lebanon.
Dari semua pertempuran, yang berkesan baginya adalah pertempuran PRRI di Pekanbaru dan operasi perdamaian di Kongo. Di Pekanbaru, ia turut turut berdialog dengan masyarakat agar tak terjadi pertumpahan darah. “Kami mengatakan pada masyarakat untuk ikut pada NKRI. Tapi kalu mau memberontak, silakan pergi ke hutan, jangan di kota. Saya katakan pada mereka, kemerdekaan NKRI telah diperjuangkan. Untuk apa ingin merdeka sendiri?” jelas kakek dari 25 cucu ini.
Tahun 1980, ia pensiun dari dinas militer dengan pangkat terakhir sebagai Letkol. Atas jasa baktinya pada negara, gelar veteran pejuang kemerdekaan golongan A telah disandangnya.
Ia menunjukkan surat yang ditandatangi Panglima TNI Laksamana Soedomo pada 26 Juni 1982 itu. Sebagai veteran, ia berhak menerima uang tunjangan sebesar Rp 500 ribu per bulan. Dan sebagai pensiunan TNI AD, ia menerima Rp 1,5 juta per bulan.
Namun menurutnya, peraturan pemerintah saat ini tidak memperbolehkan para veteran untuk mengambil tunjangan sekaligus dengan uang pensiun. “Kami disuruh memilih, mau mengambil tunjangan veteran atau uang pensiun TNI AD. Saya memilih mengambil uang pensiunan saja,” tambah Ilyas.
Kini, ia aktif dalam Yayasan Pejuang Siliwangi-Indonesia (YAPSI). Di YAPSI, ia telah dua periode terpilih menjadi Ketua Umum. Dari organisasi ini, ia telah beberapa kali bertemu dengan Presiden SBY. “Kemarin saya juga bertemu dengan Panglima TNI untuk bertukar pikiran di Bandung,” katanya.
Mengetahui jumlah anaknya yang demikian banyak, saya iseng menanyakan. "Menikah dengan Ibu tahun berapa pak?" tanya saya. "Tahun 1981." jawabnya.
Saya hampir tak mempercayai pendengaran ini. Bagaimana mungkin 15 anak dan 25 cucu diproduksi dalam waktu yang begitu singkat? pikir saya. Untunglah dia langsung mengerti kebingungan saya.
"Ibu yang sekarang adalah isteri ketiga saya," katanya.
Saya kembali berpikir. Poligami? Bukankan anggota TNI tak boleh berpoligami?
Aha, dia juga tahu pikiran saya.
"Saya tidak pernah poligami. Isteri pertama saya orang Ambon. Saya nikahi ketika bertugas ke sana. Ia meninggal setelah melahirkan anak pertama kami. Lalu saya menikah lagi dengan orang Riau. Kami mendapatkan 8 orang anak lagi, tapi dia meninggal juga. Baru saya menikah dengan Ibu yang sekarang ini, dan kami memiliki 6 orang anak,"
Ow...ternyata kisah cintanya begitu panjang...
Seperti kebanyakan kakek-kakek, ia senang sekali bicara tentang perjuangan di masa lalu. Aku tidak pernah merasakan memiliki kakek kandung. Tapi aku mengenal seseorang yang kuanggap kakek sendiri, yang juga seperti Pak Ilyas.
Ilyas juga bercerita, pejuang veteran Belanda juga pernah mengundangnya ke Den Haag. “Dulu mereka musuh kami, sekarang kami bersahabat,” ujarnya tertawa.
Di hari tuanya, ia berkata, tak mau berdiam diri. Selain berorganisasi, ia juga aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial. “Meskipun uang pensiun habis untuk membayar telepon, listrik dan air, tapi saya masih bersyukur. Setidaknya saya sudah naik haji pada tahun 1999 lalu,” katanya sambil tersenyum.
Orang Indonesia memang selalu bersyukur. Tetaplah demikian.
Tussie Ayu Riekasapti
versi ringkasnya diterbitkan di Jurnal Nasional, 17 Agustus 2007