Monday, April 02, 2007

Cerita Hujan


Air tak berhenti turun dari langit. Beberapa tempat yang lebih rendah dari tempat lainnya, sudah habis tergenang. Beberapa orang yang tempatnya tergenang, sudah beberapa hari tidak bekerja. Di jalan Sabang, genangan sudah mencapai lutut. Tak terkira banyaknya tempat yang sudah dijalari air mencapai mata kaki.

Aku beruntung disini. Tempat tinggalku masih kering-kering saja. Kalau tahun lalu mungkin tidak. Rumahku di Bandung tepat di pinggir kali. Setahun sekali memang sudah jatahnya untuk menerima tamu tak diundang. Air yang nyelonong tanpa permisi. Tapi tidak separah di Jakarta. Tidak, tidak separah Jakarta.

Jika hujan sehari semalam, rumahku di Bandung dimasuki air yang tingginya tak sampai satu senti meter. Itu saja. Tapi itu sudah cukup membuat aku kelabakan menyelamatkan buku-buku, agar tidak rusak. Sayang sekali kalau rusak.

Orang bilang, beberapa hari ini, hujan di Jakarta sudah keterlaluan. Karena sudah dua hari dan dua malam tak berhenti. Tapi bukankah hujan turun karena kehendak Tuhan? Lalu, adakah yang berani mengatakan Tuhan keterlaluan? Tidak, tentu tidak ada yang berani mengatakan demikian, kecuali orang komunis. Tapi hingga kini tidak ada yang mengatakan begitu, apa karena sudah tidak ada orang komunis?

Hujan cepatlah berhenti. Aku tidak suka hujan pagi, karena membuatku malas bangun. Aku tak suka hujan siang, karena membuat mobilku kotor, dan membuat aku sedikit basah. Aku suka hujan malam, karena membuat tidurku nyenyak. Walau tak tahan dengar bunyi petirnya. Hujan, Tidak bisakah…jika kau hanya menjadi milik malam?

No comments: