Monday, April 02, 2007

Menteri, Selebritis, Wartawan, dan Pengamen

Jakarta, 22 Februari 2007

Malam itu, aku, Syifa dan Didot meliput di Cofee Bros Lounge. Ada pertemuan Menteri Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar dan duta lingkungan hidup. Duta lingkungan hidup, jangan bayangkan seperti B. Lynn Pascoe atau Bill Farmer. Duta lingkungan hidup yang ini adalah para selebritis.

***
Bukan keterlibatan selebritis dalam sosialisasi lingkungan hidup yang aku gugat. Kementerian Lingkungan Hidup sudah melakukan cara yang cukup efektif untuk mensosialisaskan perlunya sumur resapan di tiap rumah. Masyarakat memang senang melihat selebritis. Apapun yang mereka katakan, pasti didengarkan. Tidak salah melibatkan selebritis dalam kegiatan memperbaiki lingkungan.

Aku dan Syifa, temanku, mengerjakan rubrik Sosok di koran kami. Maka malam itu, kami bisa panen besar. Banyak sekali selebritis yang bisa dijadikan sosok. Kami mulai membagi tugas. Aku mau mewawancarai Menteri Lingkungan Hidup dan Rieke Dyah Pitaloka. Sedangkan Syifa, ia memilih Rano Karno, Dian Sastro dan Abdee Slank.

Ketika bertemu dengan Pak Menteri Rachmat Witoelar, aku menyampaikan maksudku untuk mewawancarainya. Ia pun menjawab dengan ramah,”Oh, boleh. Tapi setelah acara ini saja ya,” katanya.

Kemudian aku duduk diam-diam dan mendengarkan para duta lingkungan hidup (artis-artis itu) bercuap cuap, bicara mengenai lingkungan hidup. Temanku Syifa, mulai terlihat resah. Ia takut kehilangan buruannya. Dia bertanya padaku,

“Tus, apa gw wawancara si Dian Sastro sekarang aja ya?”
“Terserah, kalo dia mau siy, sekarang aja juga ga papa,” kataku.

Kemudian, Syifa menghampiri Bintang Lux yang emang manis itu.

“Mbak, saya dari Jurnal Nasional. Boleh ngobrol-ngobrol bentar?”

Dian Sastro mengatakan,
“Ntar dulu ya, abis acara ini aja,”

Syifa pun kembali duduk di sebelahku. Kami kembali mengikuti acara. Mendengarkan para duta lingkungan hidup bercuap cuap.

***

Ketika acara selesai, Syifa yang benar-benar tidak mau kehilangan buruannya, kembali menghampiri Dian Sastro.

“Mbak, bisa ngobrol-ngobrol sekarang,”
Aku hanya mengamati Syifa dari jarak sekitar dua meter. Tapi aku masih ingat ekspresi Dian Sastro ketika itu. Dia hampir tidak memandang pada Syifa. Tidak ada pandangan. Tidak ada ekspresi di wajahnya, tapi ia mengatakan,

“Ntar dulu ya, mau pamitan sama Pak Menteri,”

Kemudian si pemeran utama dalam Dunia Tanpa Koma ini berpamitan pada Rachmat Witoelar. Setelah itu? Dia langsung ngeloyor pergi. Tanpa mengucapkan apapun pada Syifa, dan Syifa tidak pernah mewawancarainya.

Aku memperhatikan. Tapi aku diam saja. Kemudian aku dan Didot menghampiri Rieke Dyah Pitaloka, dan kami mewawancarinya selama beberapa menit. Kemudian aku menghampiri Menteri Lingkungan Hidup.

Kami berbicara banyak sekali. Berbicara mengenai musik favoritnya, mengenai sepak bola. Pele. Frank Lampard. Francesc Fabregas. Chelsea. Seal. Bon Jovi. Slank. Brazil. Broery. PSSI.

Kami tergelak-gelak. Dengan malu-malu ia mengakui, bahwa ia pernah pingsan gara-gara kurang istirahat. Bukan karena dia tidak menjaga kesehatan. Bukan. Tapi karena tidak tidur semalaman akibat nonton piala dunia. Orang yang menyenangkan. Menteri yang menyenangkan. Itu sebabnya, mengapa aku lebih suka ngobrol bersama menteri daripada selebritis.

***

Besok malamnya, aku dan pacarku makan di dekat Arion Mall, dekat terminal Rawamangun. Kami makan nasi goreng di kaki lima. Aku makan nasi goreng sea food, dia makan nasi goreng kambing.

Banyak sekali pengamen berseliweran. Yang satu pergi, yang lain datang. Suaranya tidak bisa kunikmati, malah mengganggu selera makan.

Aku tidak melihat pada mereka. Tidak ada pandangan. Aku biarkan mereka bernyanyi sampai bosan, dan kuharap mereka segera pergi. Malam itu, aku dan pacarku tidak punya uang receh.

Tapi, beberapa menit kemudian, pacarku mengeluarkan uang seribuan. Dia memberikannya pada pengamen itu.

“Kalau ngga punya uang receh, ga usah dikasi juga ngga apa-apa,” kataku.
“Ga pa pa lah,” jawabnya.

Tiba-tiba aku ingat. Pandanganku pada pengamen itu, sama seperti yang dilakukan Dian Sastro pada Syifa. Aku tidak suka temanku diperlakukan seperti itu. Tapi aku sudah melakukannya pada pengamen itu. Pay it forward, tapi di tempat yang tidak semestinya.

Aku tidak mau diperlakukan seperti itu. Dian Sastro memang pernah berperan sebagai wartawan dalam Dunia Tanpa Koma. Tapi actingnya jelek sekali, dia sama sekali tidak mendekati wartawan dalam realitas. Dia hanya menjadi wartawan sekali itu saja, tidak pernah benar-benar menjadi wartawan. Karena itu, dia tidak pernah memahami bagaimana menjadi wartawan yang dicuekin narasumber.

Aku pernah sekali saja menjadi pengamen di Dago. Waktu kuliah, mengumpulkan dana untuk kegiatan kampus. Tapi nyanyianku jelek sekali, gayaku juga. Sama sekali tidak mendekati pengamen dalam realitas. Aku hanya menjadi pengamen sekali itu saja, tidak pernah benar-benar menjadi pengamen. Karena itu, aku tidak pernah memahami bagaimana menjadi pengamen yang dicuekin orang lain.

Pandangan itu….
aku ingat. Dan aku tidak mau meneruskannya pada orang lain. Cukup pengamen itu saja. Kita toh sama-sama manusia. Apa bedanya menteri dengan selebritis? selebritis dengan wartawan? Wartawan dengan pengamen? Pengamen dengan menteri?

1 comment:

doddi Ahmad Fauji said...

Seiring waktu, akhirnya kamu mengalami juga peristiwa seperti itu. Kalau tidak salah, aku juga menulis dalam puisiku, soal selebritis dan pengamen, atau soal politikus dan pengemis...

Berhadapan dengan mereka, memberi aku jengkel karena seperti katamu, aku tidak mendidik, hanya melanggengkan kemalasan, tapi tidak memberi juga aku jengjel, sebab aku selama ini aku suka berkoar-kaor seperti Nabi: Wahai kamu sekalian, berdermalah sebagaimana Nabi berderma!