
Awal tahun 1949, markas Tan Malaka di Pace, Jawa Timur disergap oleh tentara. Namun karena ada serangan Belanda dari utara, pasukan TNI ditarik untuk menghalau Belanda. Maka dibebaskanlah Tan Malaka dan 60 orang pengikutnya.
Tokoh kontroversial ini bersama pengikutnya melarikan diri ke selatan Jawa Timur. Dalam perjalanan, mereka ditembaki. Kemudian mereka membagi rombongan menjadi empat bagian. Tan Malaka dan empat orang pengikutnya pergi ke Tulung Agung, mengharapkan masih ada batalyon tentara di sana yang masih bersimpati pada mereka.
Untuk menuju Tulung Agung, bukanlah rute yang mudah. Mereka harus melewati lereng Gunung Wilis yang masih berupa hutan rimba. Setelah dua hari berjalan, mereka disergap di suatu desa kecil bernama Selo Panggung. Penyergapnya adalah sebuah satuan kecil yang terdiri dari lima orang. Pemimpinnya hanya seorang berpangkat letnan dua.
Si letnan dua kemudian memerintahkan bawahannya untuk menembak mati Tan Malaka. Pada hari itu, 21 Februari 1949, Tan Malaka gugur. Jasadnya dibenamkan di hutan dalam sebuah desa bernama Selo Panggung. Kini, daerah ini telah menjadi area persawahan. Bahkan ada perumahan juga dekat peristirahatan terakhirnya yang hilang.
Teori kematian Tan Malaka ini diungkapkan oleh Harry A. Poeze. Dalam kunjungannya ke Jurnal Nasional, Selasa (24/7) lalu, ia menguak dengan gamblang peristiwa pembunuhan yang hingga kini masih samar.
Poeze menulis buku berjudul “Verguisd en Vergeten, Tan Malaka, de linkse beweging en de Indonesiche Revolutie, 1945 – 1949” setebal 2200 halaman, dalam tiga jilid. Dalam bahasa Indonesia, ini berarti Dihujat dan Dilupakan, Tan Malaka Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia 1945 – 1949.
“Saya yakin 99 persen bahwa versi ini adalah benar,” katanya dalam bahasa Indonesia. Menurutnya, ia telah berkeliling ke empat benua untuk mengumpulkan data dalam buku ini. Sejumlah tokoh partai Murba seperti Bambang Singgih telah diwawancarainya. Ia juga mewawancarai dua orang pengikut Tan Malaka yang mengantarnya hingga menjemput ajal.
Lalu siapakah Letnan Dua yang memerintahkan penembakan itu? Menurut Poeze, ia adalah Letnan Dua Soekotjo. Pangkat terakhirnya sebelum pensiun dari keanggotaan TNI adalah Brigadir Jenderal. Soekotjo pernah menjabat sebagai Walikota Surabaya. Ia meninggal dunia pada tahun 1980-an.
Namun sayang, buku yang akan diluncurkan pada 30 Juli mendatang ini masih ditulis dalam bahasa Belanda. Bagi yang tidak bisa berbahasa Belanda, harus menunggu hingga dua tahun lagi untuk membacanya dalam bahasa Indonesia.
Tussie Ayu Riekasapti
Tokoh kontroversial ini bersama pengikutnya melarikan diri ke selatan Jawa Timur. Dalam perjalanan, mereka ditembaki. Kemudian mereka membagi rombongan menjadi empat bagian. Tan Malaka dan empat orang pengikutnya pergi ke Tulung Agung, mengharapkan masih ada batalyon tentara di sana yang masih bersimpati pada mereka.
Untuk menuju Tulung Agung, bukanlah rute yang mudah. Mereka harus melewati lereng Gunung Wilis yang masih berupa hutan rimba. Setelah dua hari berjalan, mereka disergap di suatu desa kecil bernama Selo Panggung. Penyergapnya adalah sebuah satuan kecil yang terdiri dari lima orang. Pemimpinnya hanya seorang berpangkat letnan dua.
Si letnan dua kemudian memerintahkan bawahannya untuk menembak mati Tan Malaka. Pada hari itu, 21 Februari 1949, Tan Malaka gugur. Jasadnya dibenamkan di hutan dalam sebuah desa bernama Selo Panggung. Kini, daerah ini telah menjadi area persawahan. Bahkan ada perumahan juga dekat peristirahatan terakhirnya yang hilang.
Teori kematian Tan Malaka ini diungkapkan oleh Harry A. Poeze. Dalam kunjungannya ke Jurnal Nasional, Selasa (24/7) lalu, ia menguak dengan gamblang peristiwa pembunuhan yang hingga kini masih samar.
Poeze menulis buku berjudul “Verguisd en Vergeten, Tan Malaka, de linkse beweging en de Indonesiche Revolutie, 1945 – 1949” setebal 2200 halaman, dalam tiga jilid. Dalam bahasa Indonesia, ini berarti Dihujat dan Dilupakan, Tan Malaka Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia 1945 – 1949.
“Saya yakin 99 persen bahwa versi ini adalah benar,” katanya dalam bahasa Indonesia. Menurutnya, ia telah berkeliling ke empat benua untuk mengumpulkan data dalam buku ini. Sejumlah tokoh partai Murba seperti Bambang Singgih telah diwawancarainya. Ia juga mewawancarai dua orang pengikut Tan Malaka yang mengantarnya hingga menjemput ajal.
Lalu siapakah Letnan Dua yang memerintahkan penembakan itu? Menurut Poeze, ia adalah Letnan Dua Soekotjo. Pangkat terakhirnya sebelum pensiun dari keanggotaan TNI adalah Brigadir Jenderal. Soekotjo pernah menjabat sebagai Walikota Surabaya. Ia meninggal dunia pada tahun 1980-an.
Namun sayang, buku yang akan diluncurkan pada 30 Juli mendatang ini masih ditulis dalam bahasa Belanda. Bagi yang tidak bisa berbahasa Belanda, harus menunggu hingga dua tahun lagi untuk membacanya dalam bahasa Indonesia.
Tussie Ayu Riekasapti