Wednesday, May 27, 2009

Koper

Beberapa hari lalu, saya dan RJ pergi ke plaza Senayan. Kami mampir di Sogo, dan melihat sale koper-koper yang menggiurkan. Saya dan RJ memang ingin membeli koper bersama. Karena sebentar lagi saya akan pergi ke Berlin, dan koper besar RJ sudah rusak sejak dia kembali dari Vancouver. Jadi kami berencana membeli koper yang bisa dipakai bergantian.

Walaupun sedang sale, harga koper-koper itu tetap selangit. RJ naksir sekali dengan koper Polo abu-abu besar. Meski tambun, tapi koper ini ringan sekali. Saya bahkan bisa mengangkatnya tinggi-tinggi dengan sebelah tangan. Ada empat roda besar di bawahnya yang membuat koper ini bisa berputar 360 derajat. Saya merasa seperti pramugari Singapore Airlines ketika menggeret koper ini.

“Ini ngga pake retsleting. Jadi nanti ngga bisa dirusak orang lagi,” begitu kata RJ. Tapi saya melotot melihat harganya, “It’s too expensive,” kata saya.

RJ bersikeras, karena katanya koper ini akan terus dibutuhkan, terutama kalau kelak dia akan penempatan.

“Sayang, tapi kamu penempatan masih sekitar empat tahun lagi,” kata saya dengan alis terjengkit.
“Yah kan ngga apa-apa dibeli dari sekarang, kita juga butuh dari sekarang,” ujarnya tetap keukeuh.

Saya masih merasa tidak terlalu membutuhkan koper mahal itu. Lalu saya menelepon papa saya.
“Pa, di rumah ada koper ngga? Buat Tussie pake ke Berlin?”
“Ada tuh,” kata papa saya singkat.
“Kopernya kayak gimana?”
“Yah nanti liat aja sendiri. Emang kenapa?”
“Kalo ngga ada, Tussie mau beli niy.”
“Emang Tussie di mana sekarang?”
“Di PS,”
“Berapa harganya?”
“Satu juta,”
Demi mendengar kalimat terakhir saya, papa langsung mengatakan,
“Ngga usah! Liat aja dulu yang di rumah. Kalo ngga bisa dipake, nanti baru beli yang baru.”

Saya lalu menutup telepon dan berkata pada RJ,
“Kata papa ngga usah beli dulu, liat aja koper yang ada di rumah.” RJ lalu menyerah, dan kami tidak jadi membeli koper Polo yang keren itu.

Sambil berjalan meninggalkan Sogo, saya sudah terbayang. Pasti koper yang papa maksud adalah koper hitam persegi panjang yang usang. Dan benar saja. Ketika saya pulang ke rumah, mama sudah menyiapkan koper besar persegi panjang itu.

Sepanjang ingatan saya, koper itu sudah bertengger di atas lemari kamar papa. Sejak kecil, kalau papa akan pergi lama, koper itu yang selalu menemaninya. Saya tidak tau ke mana saja koper itu sudah singgah. Tapi saya yakin, kali ini akan menjadi lawatan pertamanya ke Eropa.

Koper ini tidak memiliki pegangan canggih yang bisa dimasukkan dan dikeluarkan. Hanya ada seutas tali kecil yang akan saya tarik jika ingin membawanya. Ada empat roda mungil di bawahnya, berdiameter tidak lebih besar dari bola pingpong. Jauh sekali dari kesan stylish, apalagi pramugari Singapore Airlines. Dengan koper ini, saya lebih terlihat seperti anak kampung yang akan merantau ke kota.

Saya lalu teringat pada teman saya, Riza Hanafi. Riza adalah bocah perantauan dari Jombang. Entah karena memang pintar atau beruntung, dia mendapatkan beasiswa ADS dari pemerintah Australia. Di hari-hari terakhirnya bekerja di Jurnal Nasional, saya dan Riza duduk di teras gedung belakang Jurnal Nasional. Riza bercerita tentang………koper.

“Tus, aku tuh mau ke Ostrali, tapi ngga punya koper. Aku juga ngga punya uang buat beli koper.”
“Uhmmm..kayaknya gw di rumah punya beberapa koper. Punya bokap siy, tapi lo boleh pinjem kok,”
“Ngga Tuss, aku ngga mau minjem,”
“Lho, kenapa? Daripada lo beli? Lagian lo juga ngga punya duit.”
“Tuss, koper itu harus aku beli sendiri. Karena menurutku, koper itu cerita kita, sejarah kita. Cuma koper itu yang menemani kita selama pergi. Biarpun ngga punya uang, aku harus beli koper sendiri. Aku mungkin bakal nyari koper bekas di Jalan Surabaya,” kata Riza.

Perkataan Riza itu lewat sambil lalu di benak saya. Saya tidak pernah lagi bertanya padanya, koper apa yang akhirnya dia pakai? Di mana dia membeli koper itu? Setelah pembicaraan itu, saya tidak sekalipun mengingat-ingatnya lagi. Sampai hari ini.

Kini saya mengerti, mengapa Naomi Campbell bisa menghajar petugas bandara Heathrow di London karena bagasinya hilang. Naomi akhirnya dipenjara karena ulahnya itu.

Saya kini mengerti, mengapa Riza bersikukuh akan membeli kopernya sendiri. Dan saya mengerti, mengapa RJ ngotot sekali membeli koper Polo yang mahal itu.

Bukan karena koper Polo itu keren sekali. Bukan karena berlimpah materi dan berniat untuk berfoya-foya. Bukan agar terlihat necis.

Tapi karena koper itu adalah satu-satunya teman kita ketika bepergian. Karena koper itu menyimpan semua yang kita butuhkan. Karena koper itu adalah cerita. Koper itu adalah petualang yang telah menjelajah berbagai kota, negara, melalui zona waktu yang berbeda. Dan juga karena koper itu adalah warisan. Koper itu melintasi generasi. Dari papa, lalu kepada saya.

1 comment:

Unknown said...

cerita yang sangat indah kak tusi..sangat menyentuh..walaupun hanya cerita sebuah koper..