Sunday, May 31, 2009

Lamaran

Waktu berlari tanpa disadari. Ternyata sampai juga pada hari itu, Sabtu 9 Mei 2009. Pada hari ini, saya akan dilamar (ehm). Sama sekali tidak ada waktu untuk bersantai. Hingga hari Kamis, saya masih bekerja seperti biasa. Tapi untunglah saya libur pada Hari Jumat.

Pagi buta pada hari Jumat, saya sudah bangun di kosan. Lalu buru-buru mandi dan berangkat ke Kedutaan Jerman untuk mengurus Visa. Pukul 06.00 WIB saya sudah nangkring di atas busway, dan pukul 07.00 WIB sudah ada di Kedutaan Jerman. Sebenarnya urusan di Kedutaan Jerman ini tidak ada urusannya dengan pernikahan. Ini adalah masalah lain.

Untungnya staf konsuler di Kedutaan Jerman sangat tepat waktu dan kooperatif. Sehingga saya tidak perlu terlalu lama menghabiskan waktu disini. Lalu pukul 09.00 WIB saya sudah kembali ke kosan. Pukul 10.00 WIB saya sudah ada di RSCM untuk bertemu Tensi. Tensi adalah teman saya, yang saya minta untuk mengabadikan acara lamaran.

Pukul 11.00 WIB saya ada di kwitang, mau menukarkan uang Euro. Tapi belum beruntung, karena di Ayu Masagung tidak ada uang Euro. Lalu saya meluncur ke Senayan City, ke Dua Sisi. Dua Sisi adalah money changer langganan saya dan RJ. Tapi di Dua Sisi Senayan City juga tidak ada Euro. Mas-mas di Dua Sisi menyarankan saya untuk ke Dua Sisi Plaza Senayan. Akhirnya saya ke Dua Sisi Plaza Senayan, dan memang benar ada beberapa puluh Euro, lumayan!

Ketika pulang ke rumah, Mama, Papa, Papi, Mami, Mbak Ririn, Om Arif, Sasi, Tante Nining sudah menyiapkan semua perlengkapan lamaran. Thanx God I have them! Sorenya saya ke salon untuk luluran. Agh…felt like heaven!

Dan selesailah hari ini.

Hari H, saya bangun tidak terlalu pagi. Lalu mandi dengan santai. Pukul 15.00 WIB Mas Arry, periasku datang. Lalu langsung make over deh. Lalu pukul 16.00 WIB Tensi dan Yudha datang, dan langsung jeprat jepret.



Sekitar pukul 17.00 WIB saya selesai didandanin. Uhmmm…I like the make up very much. Meningkatkan kecantikan hingga 3 level hehehe.



Lalu, sudah tidak ada lagi yang dilakukan. Cuma ngobrol-ngobrol sama teman dan saudara-saudara yang datang. Hingga pukul 19.00 WIB, belum ada tanda RJ akan datang. Mama dan papa mulai resah. Saya lalu menelepon RJ, dan katanya baru berangkat dari rumah. Well, that’s always be a problem.

Akhirnya RJ dan keluarga baru datang pukul 20.00 WIB.



Awalnya suasana tegang, tapi untung Papi adalah MC yang kocak dan bisa mencairkan suasana. Akhirnya malah acara jadi santai sekali. Saya dan RJ sama sekali tidak deg-degan.

Acara cuma berlangsung sekitar 2 jam. Termasuk acara tantingan yang jayus itu.

Tantingan itu, kata papi adalah tradisi Jawa, dimana orang tua menanyakan kesiapan anaknya untuk menikah. Tapi sepertinya papa terlalu banyak bertanya pada saya.

Papa sampai bertanya:
“Dimana pertama kali bertemu Reza?”
“Kenapa mau menikah sama Reza?”

Hihihihi..I was so embarrassed. Tapi ya sudahlah, seumur hidup cuma sekali ini papa membuat saya malu. Lalu tanpa terasa acara selesai. Dan sekarang saya sudah memiliki tunangan.



Wednesday, May 27, 2009

Koper

Beberapa hari lalu, saya dan RJ pergi ke plaza Senayan. Kami mampir di Sogo, dan melihat sale koper-koper yang menggiurkan. Saya dan RJ memang ingin membeli koper bersama. Karena sebentar lagi saya akan pergi ke Berlin, dan koper besar RJ sudah rusak sejak dia kembali dari Vancouver. Jadi kami berencana membeli koper yang bisa dipakai bergantian.

Walaupun sedang sale, harga koper-koper itu tetap selangit. RJ naksir sekali dengan koper Polo abu-abu besar. Meski tambun, tapi koper ini ringan sekali. Saya bahkan bisa mengangkatnya tinggi-tinggi dengan sebelah tangan. Ada empat roda besar di bawahnya yang membuat koper ini bisa berputar 360 derajat. Saya merasa seperti pramugari Singapore Airlines ketika menggeret koper ini.

“Ini ngga pake retsleting. Jadi nanti ngga bisa dirusak orang lagi,” begitu kata RJ. Tapi saya melotot melihat harganya, “It’s too expensive,” kata saya.

RJ bersikeras, karena katanya koper ini akan terus dibutuhkan, terutama kalau kelak dia akan penempatan.

“Sayang, tapi kamu penempatan masih sekitar empat tahun lagi,” kata saya dengan alis terjengkit.
“Yah kan ngga apa-apa dibeli dari sekarang, kita juga butuh dari sekarang,” ujarnya tetap keukeuh.

Saya masih merasa tidak terlalu membutuhkan koper mahal itu. Lalu saya menelepon papa saya.
“Pa, di rumah ada koper ngga? Buat Tussie pake ke Berlin?”
“Ada tuh,” kata papa saya singkat.
“Kopernya kayak gimana?”
“Yah nanti liat aja sendiri. Emang kenapa?”
“Kalo ngga ada, Tussie mau beli niy.”
“Emang Tussie di mana sekarang?”
“Di PS,”
“Berapa harganya?”
“Satu juta,”
Demi mendengar kalimat terakhir saya, papa langsung mengatakan,
“Ngga usah! Liat aja dulu yang di rumah. Kalo ngga bisa dipake, nanti baru beli yang baru.”

Saya lalu menutup telepon dan berkata pada RJ,
“Kata papa ngga usah beli dulu, liat aja koper yang ada di rumah.” RJ lalu menyerah, dan kami tidak jadi membeli koper Polo yang keren itu.

Sambil berjalan meninggalkan Sogo, saya sudah terbayang. Pasti koper yang papa maksud adalah koper hitam persegi panjang yang usang. Dan benar saja. Ketika saya pulang ke rumah, mama sudah menyiapkan koper besar persegi panjang itu.

Sepanjang ingatan saya, koper itu sudah bertengger di atas lemari kamar papa. Sejak kecil, kalau papa akan pergi lama, koper itu yang selalu menemaninya. Saya tidak tau ke mana saja koper itu sudah singgah. Tapi saya yakin, kali ini akan menjadi lawatan pertamanya ke Eropa.

Koper ini tidak memiliki pegangan canggih yang bisa dimasukkan dan dikeluarkan. Hanya ada seutas tali kecil yang akan saya tarik jika ingin membawanya. Ada empat roda mungil di bawahnya, berdiameter tidak lebih besar dari bola pingpong. Jauh sekali dari kesan stylish, apalagi pramugari Singapore Airlines. Dengan koper ini, saya lebih terlihat seperti anak kampung yang akan merantau ke kota.

Saya lalu teringat pada teman saya, Riza Hanafi. Riza adalah bocah perantauan dari Jombang. Entah karena memang pintar atau beruntung, dia mendapatkan beasiswa ADS dari pemerintah Australia. Di hari-hari terakhirnya bekerja di Jurnal Nasional, saya dan Riza duduk di teras gedung belakang Jurnal Nasional. Riza bercerita tentang………koper.

“Tus, aku tuh mau ke Ostrali, tapi ngga punya koper. Aku juga ngga punya uang buat beli koper.”
“Uhmmm..kayaknya gw di rumah punya beberapa koper. Punya bokap siy, tapi lo boleh pinjem kok,”
“Ngga Tuss, aku ngga mau minjem,”
“Lho, kenapa? Daripada lo beli? Lagian lo juga ngga punya duit.”
“Tuss, koper itu harus aku beli sendiri. Karena menurutku, koper itu cerita kita, sejarah kita. Cuma koper itu yang menemani kita selama pergi. Biarpun ngga punya uang, aku harus beli koper sendiri. Aku mungkin bakal nyari koper bekas di Jalan Surabaya,” kata Riza.

Perkataan Riza itu lewat sambil lalu di benak saya. Saya tidak pernah lagi bertanya padanya, koper apa yang akhirnya dia pakai? Di mana dia membeli koper itu? Setelah pembicaraan itu, saya tidak sekalipun mengingat-ingatnya lagi. Sampai hari ini.

Kini saya mengerti, mengapa Naomi Campbell bisa menghajar petugas bandara Heathrow di London karena bagasinya hilang. Naomi akhirnya dipenjara karena ulahnya itu.

Saya kini mengerti, mengapa Riza bersikukuh akan membeli kopernya sendiri. Dan saya mengerti, mengapa RJ ngotot sekali membeli koper Polo yang mahal itu.

Bukan karena koper Polo itu keren sekali. Bukan karena berlimpah materi dan berniat untuk berfoya-foya. Bukan agar terlihat necis.

Tapi karena koper itu adalah satu-satunya teman kita ketika bepergian. Karena koper itu menyimpan semua yang kita butuhkan. Karena koper itu adalah cerita. Koper itu adalah petualang yang telah menjelajah berbagai kota, negara, melalui zona waktu yang berbeda. Dan juga karena koper itu adalah warisan. Koper itu melintasi generasi. Dari papa, lalu kepada saya.

Tuesday, May 05, 2009

Cengeng!

Cengeng!

Karena saya begitu kesepian saat ini. Karena saya selalu mau dia di sini. Walaupun saya sudah sadar sepenuhnya, dia tidak bisa selalu ada buat saya. Dan saya harus selalu kokoh untuk bisa mandiri.

Tapi sekali ini, saya memang ingin menjadi cengeng. Karena saya menginginkannya tanpa alasan. Hanya berharap dia ada disini dan kami melakukan hal-hal yang biasa dilakukan.

Monday, May 04, 2009

Mengapa Menikah?

Mengapa kita menikah? Pasti banyak alasan untuk memutuskan menikah atau tidak menikah. Tapi buat saya, kita menikah karena sudah menemui orang yang tepat. Dan karena saya sudah menemukan orang yang tepat, saya memutuskan untuk menikah.

Tapi keputusan untuk menikah sebenarnya juga tidak sesederhana itu. Di dalam kepala saya selalu ada pikiran-pikiran yang membuat takut. Apakah saya bisa menjadi istri yang baik? Apakah saya akan kehilangan kebebasan saya setelah menikah? Apakah RJ akan menjadi suami yang baik? Apakah saya masih bisa bermanja-manja dengan mama saya setelah menikah?

Tapi ya sudahlah…toh pada akhirnya cepat atau lambat saya akan menikah. Saya mencoba untuk membuang semua pikiran-pikiran buruk dan memberanikan diri untuk menikah.

Kemudian mulailah persiapan pernikahan. Suatu malam, saya dan RJ baru saja pulang jalan-jalan. Kemudian RJ mengantarkan saya pulang. Ketika di rumah, mama menanyakan tentang ‘masa depan’ hubungan kami. Kemudian RJ bicara pada papa dan mama tentang rencana-rencana yang telah kami bicarakan sebelumnya.

Kemudian, persiapan pernikahan mulai disiapkan. Yang paling menguras pikiran dan tenaga adalah proses pencarian gedung. Maret 2009, saya sudah mulai mencari tempat pernikahan. Perburuan dimulai melalui telepon. Hampir semua gedung di Jakarta sudah dihubungi, dan mayoritas tanggal yang kami inginkan sudah dipesan orang lain.

Kami juga sempat melihat venue-venue pernikahan langsung seperti Museum Satria Mandala, Gedung Arsip dan Gedung Smesco. Dari tiga tempat ini, I’m totally in love with Gedung Arsip. Tapi ada beberapa catatan dari RJ, yaitu tempat parkirnya kecil, terus lokasinya macet dan jauh. Ternyata ortu saya dan ortu RJ juga ngga suka dengan Gedung Arsip. Yah…memang ngga semua yang lo mau bisa lo dapet.

Pencarian dimulai lagi. Kami melihat Golf Pondok Indah. Uhm..sebenernya gedungnya biasa aja. Malahan gedungnya kecil buat ukuran resepsi pernikahan. Tapi viewnya benar-benar indah. Hamparan rumput hijau lapangan golf pasti langsung menyita perhatian. Saya, RJ dan ortu saya sudah suka dengan tempat ini, dan kami sudah mau membayar DP.

Tapi pengelola gedung ini menurut saya sungguh tidak professional. Mereka tidak mau menerima DP. Alasannya, mereka akan mengadakan rapat anggaran bulan Mei. Jadi ada kemungkinan harga-harga gedung dan makanan akan naik. Padahal sebenarnya harga yang dipatok saat ini sudah cukup mahal, apalagi ditambah PPn 21%. Tapi oke deh, kami tunggu, karena sudah cape nyari-nyari tempat lagi.

Hingga akhir april, RJ menelepon kembali pengelola gedung. Jawabannya malah semakin tidak jelas. Katanya rapat anggaran ditunda hingga bulan Juni. Mereka malah menyarankan kami mencari gedung lain. Aneh kan?

Kemudian pencarian dimulai lagi. Saya dan RJ menelepon gedung-gedung yang saya suka. Berharap ada orang yang membatalkan pernikahan di tanggal yang kami inginkan. Sebenarnya gedung-gedung ini sudah kami telepon bulan maret lalu. Tapi yah, kita tidak pernah tau kapan rezeki akan dating kalau tidak berusaha.

Saya dan RJ menelepon Balai Sudirman, Bidakara, PTIK dan Manggala Wanabhakti. Ajaib! Ternyata di Balai Sudirman Panti Perwira masih ada untuk tanggal 13 Desember malam. Padahal sebelumnya kami sudah menelepon dan katanya pada tanggal 12 dan 13 Desember sudha penuh. Well, sebenarnya saya dan RJ lebih suka pernikahan pada tanggal 12 Desember. Tapi kalau sudah begini, ambil saja tanggal 13 Desember! Dan kemudian DP dibayar. Selesai urusan gedung!