Friday, November 30, 2007

Go Round Captain!

7 Maret 2007, pukul 06.00 WIB. Matari baru saja beranjak dari timur. Sebanyak 126 orang penumpang bergegas memasuki perut pesawat Boeing 737-400 berstempel Garuda Indonesia, bernomor penerbangan GA 200. Tujuh orang awaknya sudah bersedia mengantarkan penumpang dari Bandara Soekarno Hatta Jakarta, menuju Bandara Adi Sucipto Yogyakarta.

Sebagian penumpang adalah tokoh-tokoh masyarakat. Diantaranya adalah Ketua Muhammadiyah Dien Syamsuddin, Kriminolog Adrianus Meliala, juru bicara Kedutaan Besar Australia Elizabeth O’Neill dan mantan Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Dr Koesnadi Harjosoemantri.

Angkasa biru dan awan berarak seadanya. Pertanda langit sedang bersahabat. Pilot yang bertugas kala itu adalah Marwoto Komar, pilot senior yang telah 20 tahun mengabdi pada Garuda Indonesia. Semua terlihat baik-baik saja. Siapa sangka, satu jam kemudian, malaikat maut sudah menanti.

Penerbangan tidak mengalami hambatan yang berarti, hingga saat pendaratan tiba. Berdasarkan analisa yang dikumpulkan dari KNKT dan Kepolisian, pengamat penerbangan Captain Pilot Rendy Sasmita Adji Wibowo mengatakan, pesawat yang dikemudikan Marwoto ini terlalu cepat mengarah pada landasan.

“Pesawat GA 200 terbangnya masih terlalu tinggi. Waktu turun seharusnya dia mengikuti sudut tertentu, namun dia melewatinya. Seharusnya ketinggian di bawah 10.000 kaki dan kecepatannya 250 knot, tetapi dia 60 persen lebih dari itu,” kata Rendy kepada Jurnal Nasional beberapa waktu lalu.

Co-pilot Gagam Saman Rahmana ketika itu telah menyadari, telah terjadi kesalahan pendaratan. Ia berteriak-teriak, “Go round, Captain! Go round, Captain!Maksud Gagam, ia meminta captain pilot untuk terbang kembali dan mengulangi pendaratan.

Tak hanya Gagam, sistem pesawat pun tak kalah meraung. “Dalam posisi seperti ini, komputer di pesawat akan teriak ‘Too low…flaps’ (terlalu rendah, buka sirip pesawat). Jika didiamkan, maka suaranya akan lebih kencang ‘Whoop…whoop…pull up!’ (naik lagi). Tetapi hal itu diacuhkan oleh pilot,” jelas Rendy.

Hal terburuk pun terjadi. Ketika mendarat, burung besi itu menukik kencang dengan roda depan yang pertama kali menghunus landasan. Menurut Rendy, hal ini karena hidung pesawat mendarat dalam posisi 3 derajat. Akibatnya pesawat mental ke atas dan sekali lagi pilotnya menyerukan kepada pilot “Go round, Captain!”.

Saran co-pilot tetap tidak diindahkan. Pilot kembali memaksa pesawat untuk mendarat. Pesawat semakin tidak terkontrol karena hidrolik pesawat sudah bocor. Pesawat yang terpental meninggalkan landasan dengan kecepatannya di atas 200 knot.

Pagar berduri yang menjadi pembatas akhir landasan dilompati pesawat ini, tanpa ada bekas bahwa pagar roboh. Akhirnya pesawat ini berhenti untuk terakhir kalinya. Kepulan asap hitam memenuhi Bandara Adi Sucipto, tujuan akhir si burung raksasa. Api berkobar melahap bagian ekornya.

Dalam kabin pesawat, gelap gulita menyergap. Lampu emergency tidak menyala. Menurut saksi mata hanya kepala pramugari dan pramugara yang melakukan penyelamatan terhadap penumpang hingga akhirnya dia sendiri meninggal dunia.

“Saya tidak mau berpolemik. Tapi gambar di televisi saat itu memperlihatkan pesawat masih berkobar-kobar dilalap api, penumpang masih berlarian keluar, tetapi pramugarinya sudah di luar,” kata Rendy.

Co-pilot Gagam Saman Rahmana juga sudah keluar dari lambung pesawan naas itu. Dia membantu evakuasi dari luar pesawat tanpa alat evakuasi yang memadai. Penumpang berloncatan bagai ikan yang diangkat dari kolam dan berlomba mencari air.

Dengan ketinggian kabin pesawat dua meter dari tanah, semua berusaha menyelamatkan diri. Para manula menjadi martir, kondisi fisik mereka tidak memungkinkan untuk melakukan lompatan penyelamatan diri.

Mantan Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Dr Koesnadi Harjosoemantri yang berusia 80 tahun, adalah salah satunya. Ia akhirnya menghembuskan napas terakhir dalam pesawat yang membawanya terbang pada Sang Pemilik Jagad. Bersama Profesor Koesnadi, 21 orang lainnya juga tewas, termasuk juru bicara Kedutaan Besar Australia Elizabeth O’Neill.

Lantas bagaimana dengan Captain Pilot Marwoto Komar? Saat itu, dia sudah lari dengan taksi menuju rumah sakit. Ia kemudian dirawat di Rumah Sakit TNI AU Yogyakarta. Go Round, Captain!

Tussie Ayu Riekasapti / Wahyu Utomo

(Jurnal Nasional, 27 Nopember 2007)


Pilot Bukan Penyebab Tunggal

Awal Nopember lalu, Kepolisian RI (Polri) telah menetapkan Marwoto Komar, pilot pesawat Garuda Indonesia Boeing 737-400, sebagai tersangka dalam kasus kecelakaan pesawat di Yogyakarta, 7 Maret 2007 lalu. Sedangkan co-pilot Gagam Saman Rahman hingga kini masih terus menjalani penyidikan oleh Polda DIY.

Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen (Pol.) Sisno Adiwinoto, mengungkapkan, pilot Garuda, Marwoto Komar, kemungkinan besar bisa dipidanakan karena telah memenuhi unsur melakukan kelalaian (human error) yang menyebabkan hilangnya nyawa orang lain (Jurnal Nasional, 3 Nopember 2007)

"Sesuai KUHP sudah terpenuhi adanya unsur kelalaian yang menyebabkan nyawa orang lain, namun secara materiil, kan untuk memproses hukum seseorang harus memiliki bukti dan saksi yang kuat, rekomendasi KNKT bisa dijadikan tambahan (penyelidikan)," ujar Sisno ketika itu.

Pengamat penerbangan yang juga pilot senior di Garuda Indonesia, Captain Pilot Rendy Sasmita Adji Wibowo berpendapat, memang terjadi human error dalam kasus ini. namun demikian, menurutnya kesalahan tidak bisa dilimpahkan pada pilot dan co-pilot semata.

“Yang menarik dari GA 200, sebetulnya ada beberapa jaring yang terlewati. Dalam bahasa penerbangan sering disebut keju Swiss. Dimana potensi kecelakaan itu berupa anak panah melewati lubang-lubang seperti keju Swiss,” katanya kepada Jurnal Nasional beberapa waktu lalu.

Ia menjelaskan, kemungkinan pertama yang terlewati adalah lubang visi dari manajemen perusahaan. Visi manajemen yang pertama, menurutnya adalah keselamatan. “Garuda harus belajar dari Lufthansa yang memiliki teknisi jago-jago dan memang hebat. Kalau service diutamakan mengalahkan safety jadinya seperti di Garuda,” ujarnya.

Selain itu, direksi saat ini, menurutnya melewatkan sebuah investasi penting, yaitu pendidikan dan maintenance (pemeliharaan). Dari kasus GA 200, menurutnya terlihat sekali ada komunikasi tidak benar antara captain pilot dan co-pilot.

Padahal, menurut dia, pilot di era manapun diajari yang namanya Crew Resource Management (CRM). “Jadi dalam dunia penerbangan ada aturan yang mengacu pada International Civil Aviation Organization (ICAO ), bahwa semua penerbang harus mengikuti CRM, dimana kerjanya pilot berinteraksi dengan co-pilot dan teknisi pesawat. Ketiga orang ini dalam emergency tahu apa yang harus dikerjakan” jelasnya.

Menurut Rendy, di Garuda sebenarnya juga diajarkan CRM, namun implementasinya tidak berjalan dengan baik, sampai-sampai antara captain pilot dan co-pilot terjadi komunikasi yang tidak tuntas. “Ada satu training yang tidak dilakukan oleh Garuda,” katanya.

Training yang sudah dilakukan Garuda, kelupaan mengajarkan co-pilot untuk merebut kendali ketika pilot bermasalah. “Padahal efeknya akan sangat fatal. Landasan di Yogya itu agak sedikit bergelombang bentuknya agak parabolic sehingga ada kesulitan sendiri bagi pilot untuk mendarat di Yogya. Jadi kalau kecepatannya tidak tepat maka akan keluar landasan,” jelasnya.

Ia melanjutkan, jika pilot tidak melakukan tindakan apa-apa saja padahal pesawat dalam keadaan bahaya, maka dia co-pilot harus mengambil tindakan. “Saya tidak mengerti dengan manajemen Garuda, sebenarnya training itu ada. Hanya saja, co-pilot di Indonesia terpengaruh dengan budaya, karena dia masih muda dan belum banyak pengalaman, sehingga tidak dianggap oleh pilot. Dalam kondisi tertentu dimana co-pilot harus mengambil alih maka harus diambil alih,” ujarnya.

Rendy melihat, kelalaian pilot bukanlah penyebab tunggal kecelakaan ini. “Pilot dalam hal ini adalah jaring terakhir. Marwoto Komar sedang dalam misi menjalankan tugas dari Garuda. Kasus GA 200 memperlihatkan manajemen mencoba untuk cuci tangan,” katanya.

Padahal menurut Rendy, dalam kasus ini sebenarnya Perusahaan wajib membela karyawannya. “Penyebab kecelakaan ini tidak bisa dilimpahkan pada pilot saja. Tapi juga harus ditarik mata rantai ke belakang. Manajemen juga turut bersalah,” tandasnya.

Wahyu Utomo/Tussie Ayu Riekasapti

(Jurnal Nasional, 27 Nopember 2007)


Thursday, November 08, 2007

Terima Kasih

Hari ini ada sesuatu yang terjadi. Tapi aku senang sekali, karena teman-temanku selalu ada di sekelilingku.

Ikot mengatakan : “Dia itu ngga bgt deh. ***** banget!”
Meita mengatakan : “Gamparin aja Tus! Dia **** banget!”
RJ mengatakan : “Kok kamu bisa sabar ya? Aku aja jadi panas!”
Dodi mengatakan : “Kok dia bisa begitu ya?”
Agus mengatakan : “Sabar aja ya Tuss”
Turyanto mengatakan : “Siap-siap terbang, Tuss!”

Hihihihi…lucu-lucu temanku ini

Tapi ada satu kalimat yang diucapkan Bonnie Triyana, dan ini yang paling aku sukai.

Bonnie mengatakan:

“Pohon kelapa (kalau) semakin tinggi, banyak diterpa angin. Kalau takut jadi pohon kelapa, jadi rumput saja. Tidak diterpa angin dan disambar petir, tapi diinjak-injak kerbau!”

Aaawww…mas Bonnie, hmmm…mungkin ini kalimat yang aku ingat sepanjang hidupku.

Tapi ada lagi satu orang yang begitu berarti. Dia mengatakan,

“Tussie, kamu harus berani! Kamu jangan takut!”

Dulu, orang ini pernah membelai kepalaku sambil mengatakan, “Tussie, kamu tahu?...Suatu hari nanti, kamu akan menjadi orang hebat!”

Dan butiran air-air yang hangat membasahi pipiku ketika itu. “Terima kasih,” jawabku.

Terima kasih teman-teman.