Friday, August 17, 2007

17 Agustus




The Country Celebrate Our Day

Tuesday, August 14, 2007

Ilyas Karim, Sang Pengibar Bendera Pusaka

17 Agustus 1945, di Jl. Pegangsaan Timur 56, Cikini. Proklamasi kemerdekaan RI dibacakan. Semua orang larut dalam kebanggaan. Mengelu-elukan Bung Karno dan Bung Hatta.

Tapi siapakah yang memperhatikan pemuda bercelana pendek itu? Ia masih sangat muda, 18 tahun ketika itu. Membawa bendera pusaka jahitan Ibu Fatmawati, dengan tangannya sendiri. Diiringi lagu Indonesia Raya, mengerek hingga sang saka berada di puncak tiang.

Tak banyak orang yang tahu keberadaannya. Ia adalah Ilyas Karim. 31 Desember mendatang, usianya genap 80 tahun. Badannya gempal, uban memenuhi kepalanya. Kini, Si Mbah ini tinggal di salah satu rumah yang berbaris rapat di pinggir rel kereta api dekat Kalibata Mall.

Rumahnya bercat biru kusam. Barangkali tetangga sebelah rumahnya tidak tahu, bahwa dialah yang mengibarkan bendera kebanggaan Indonesia, ketika proklamasi kemerdekaan. Tidak sulit menemukan rumah itu. Tanya saja pada tetangga sekitar atau tukang ojek, pasti mereka tahu rumah Pak Ilyas Karim.

Obrolan kami pagi itu ditemani secangkir teh manis dan pisang goreng. “Pisang goreng ini dimasak isteri saya. Dari pohon yang tumbuh di belakang rumah,” katanya. Pembicaraan kami sesekali disela oleh suara kereta api yang melintas di belakang rumahnya.

“Rumah ini berdiri di atas tanah PJKA. Sewaktu-waktu jika diusir, saya harus pindah,” katanya. Ketika saya bertanya, akan pindah kemana ia jika diusir? Ia menjawab dengan santai. “Saya juga punya rumah di Cakung. Dari hasil kerja dan sumbangan anak-anak saya. Saya akan pindah kesana. Tapi di sana macet, sulit kalau mau pergi-pergi. Saya lebih senang tinggal di sini,” katanya.

Ingatan ayah dari 15 anak ini masih kuat. Ia masih bisa mengingat dengan rinci perjuangan yang pernah menempanya sebagai prajurit TNI Angkatan Darat. Lahir di Padang, Sumatera Barat. Pada usia 9 tahun, tepatnya tahun 1936, ayahnya pindah ke Jakarta dengan membawa seluruh anggota keluarga.

Ia berkisah, tahun 1940 pesawat Jepang sudah mulai membentangkan sayap di langit ibu pertiwi. Dan tahun 1942, tentara bermata sipit ini mendarat di Jakarta. Di tahun yang sama dengan pendaratannya, Jepang mulai menancapkan kukunya di Nusantara. Hal ini ditandai dengan diculiknya tokoh-tokoh yang berseberangan dengan ideologi mereka.

Ayah Ilyas adalah seorang di antaranya. Pekerjaannya sebagai demang Belanda dianggap membahayakan kedudukan pemerintah Jepang. Suatu hari, ayahnya diculik dari rumah. Selama tiga bulan disekap, dan akhirnya dibunuh di Tegal.

Sementara itu, Ilyas yang beranjak remaja tengah aktif di organisasi Islam. Lalu ia memutuskan untuk bergabung dengan Angkatan Pemuda Islam (API) yang bermarkas di Menteng 31. Organisasi ini juga yang akhirnya mengantarkannya untuk mengibarkan bendera RI di detik proklamasi. Bersama prajurit PETA Sudancok Singgih, ia ditunjuk untuk mengibarkan bendera.

“Saat itu dari AMI ada 50 pemuda, saya juga tidak mengerti mengapa pada akhirnya saya yang dipilih untuk mengibarkan bendera. Barangkali ini hanya keberuntungan saya,” katanya sambil terkekeh.

Setelah proklamasi kemerdekaan, rasa nasionalisme Ilyas muda semakin membuncah. Ia memutuskan untuk bergabung dengan tentara yang saat itu masih bernama Badan Keamanan Rakyat (BKR). Selama tergabung di BKR, ia juga turut berperan dalam peristiwa-peristiwa penting. Salah satunya adalah pembentukan Divisi Siliwangi yang saat ini bernama Kodam Siliwangi.

20 Mei 1946, diadakan pertemuan dengan AH Nasution dan Kawilarang di Buah Batu, Bandung. Saat itu, Nasution meminta saran untuk pembentukan divisi baru. “Saya berkata pada Pak Nasution untuk memberikan kami waktu guna berdiskusi dengan tokoh masyarakat setempat,” katanya.

Maka keesokan harinya, ia mendatangi tokoh-tokoh masyarakat Jawa Barat. Berdasarkan perbincangan dengan mereka, didapatkan keterangan bahwa masyarakat Jawa Barat adalah keturunan Prabu Siliwangi. Maka nama ini yang diusulkan untuk diabadikan menjadi nama Divisi. Usulan ini disampaikan pada Nasution, dan ayah dari Ade Irma Suryani ini langsung menyetujuinya.



Sebagian besar karir ketentaraan Ilyas dihabiskan di Divisi Siliwangi. Ketika batalyon 328 dibentuk, ia pun bergabung di batalyon legendaris ini. Beberapa pertempuran seperti penumpasan Darul Islam di Jawa Barat dan Aceh, penumpasan PRRI di Pekan Baru, dan operasi Seroja di Timor Timur telah disambanginya. Untuk misi perdamaian bersama PBB, ia juga telah melanglangbuana ke Kongo, Vietnam dan Lebanon.

Dari semua pertempuran, yang berkesan baginya adalah pertempuran PRRI di Pekanbaru dan operasi perdamaian di Kongo. Di Pekanbaru, ia turut turut berdialog dengan masyarakat agar tak terjadi pertumpahan darah. “Kami mengatakan pada masyarakat untuk ikut pada NKRI. Tapi kalu mau memberontak, silakan pergi ke hutan, jangan di kota. Saya katakan pada mereka, kemerdekaan NKRI telah diperjuangkan. Untuk apa ingin merdeka sendiri?” jelas kakek dari 25 cucu ini.

Tahun 1980, ia pensiun dari dinas militer dengan pangkat terakhir sebagai Letkol. Atas jasa baktinya pada negara, gelar veteran pejuang kemerdekaan golongan A telah disandangnya.

Ia menunjukkan surat yang ditandatangi Panglima TNI Laksamana Soedomo pada 26 Juni 1982 itu. Sebagai veteran, ia berhak menerima uang tunjangan sebesar Rp 500 ribu per bulan. Dan sebagai pensiunan TNI AD, ia menerima Rp 1,5 juta per bulan.

Namun menurutnya, peraturan pemerintah saat ini tidak memperbolehkan para veteran untuk mengambil tunjangan sekaligus dengan uang pensiun. “Kami disuruh memilih, mau mengambil tunjangan veteran atau uang pensiun TNI AD. Saya memilih mengambil uang pensiunan saja,” tambah Ilyas.

Kini, ia aktif dalam Yayasan Pejuang Siliwangi-Indonesia (YAPSI). Di YAPSI, ia telah dua periode terpilih menjadi Ketua Umum. Dari organisasi ini, ia telah beberapa kali bertemu dengan Presiden SBY. “Kemarin saya juga bertemu dengan Panglima TNI untuk bertukar pikiran di Bandung,” katanya.

Mengetahui jumlah anaknya yang demikian banyak, saya iseng menanyakan. "Menikah dengan Ibu tahun berapa pak?" tanya saya. "Tahun 1981." jawabnya.

Saya hampir tak mempercayai pendengaran ini. Bagaimana mungkin 15 anak dan 25 cucu diproduksi dalam waktu yang begitu singkat? pikir saya. Untunglah dia langsung mengerti kebingungan saya.

"Ibu yang sekarang adalah isteri ketiga saya," katanya.

Saya kembali berpikir. Poligami? Bukankan anggota TNI tak boleh berpoligami?

Aha, dia juga tahu pikiran saya.

"Saya tidak pernah poligami. Isteri pertama saya orang Ambon. Saya nikahi ketika bertugas ke sana. Ia meninggal setelah melahirkan anak pertama kami. Lalu saya menikah lagi dengan orang Riau. Kami mendapatkan 8 orang anak lagi, tapi dia meninggal juga. Baru saya menikah dengan Ibu yang sekarang ini, dan kami memiliki 6 orang anak,"

Ow...ternyata kisah cintanya begitu panjang...

Seperti kebanyakan kakek-kakek, ia senang sekali bicara tentang perjuangan di masa lalu. Aku tidak pernah merasakan memiliki kakek kandung. Tapi aku mengenal seseorang yang kuanggap kakek sendiri, yang juga seperti Pak Ilyas.

Ilyas juga bercerita, pejuang veteran Belanda juga pernah mengundangnya ke Den Haag. “Dulu mereka musuh kami, sekarang kami bersahabat,” ujarnya tertawa.

Di hari tuanya, ia berkata, tak mau berdiam diri. Selain berorganisasi, ia juga aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial. “Meskipun uang pensiun habis untuk membayar telepon, listrik dan air, tapi saya masih bersyukur. Setidaknya saya sudah naik haji pada tahun 1999 lalu,” katanya sambil tersenyum.

Orang Indonesia memang selalu bersyukur. Tetaplah demikian.

Tussie Ayu Riekasapti

versi ringkasnya diterbitkan di Jurnal Nasional, 17 Agustus 2007

Wednesday, August 08, 2007

Kemewahan

8 Agustus 2007. Hari ini akan tercatat sebagai sejarah baru Jakarta. Untuk pertama kalinya, warga Jakarta berpesta demokrasi.

***

Tadi malam, aku sedang duduk-duduk di ruang tamu bersama pacarku. Kami terbiasa ngobrol ngalor ngidul. Maka aku bercerita tentang obrolanku bersama Pak Suhaelly, ajudan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono beberapa hari lalu.

Kami, para wartawan sedang menunggu Menteri Pertahanan. Namun, beberapa Humas Departemen Pertahanan sudah mengultimatum, “Jangan bertanya tentang DCA (Defense Cooperation Aggrement),” kata mereka.

Kami pun berceloteh pada Pak Suhaelly, “Pak, mengapa kami ngga boleh bertanya tentang DCA?”

Ia menjawab, “Apa lagi yang mau ditanya tentang DCA? Toh ngga ada yang baru. Masih begitu-begitu saja,”

Maksud Pak Suhaelly dengan begitu-begitu saja adalah masih belum ada perkembangan. Masih macet! Belum ada kesepakatan baru.

Lalu aku menyambung, “Pak, PM Senior Singapora Lee Kuan Yew kan baru datang. Memangnya Pak Juwono ngobrol apa dengan Lee?”

Pak Suhaelly pun berkisah. Pak Juwono memang sempat bertemu dengan Pak Lee di sebuah hotel (saya lupa di hotel apa?). Katanya, PM Lee yang meminta untuk bertemu dengan Pak Juwono.

Saat itu, Pak Juwono mengatakan, “Ada apa lagi ini? Pak Lee mengajak saya bertemu. Kita lihat sampai sejauh mana Pak Lee ini. Saya layani sampai manapun,” begitu kira-kira kata pak Juwono.

Setelah itu, pembicaraan mereka masih belum menghasilkan kesepakatan apapun. Pak Juwono bersikeras pada pendiriannya. Jika Singapura ingin mendapatkan tempat latihan di Indonesia, mereka harus mengembalikan uang dan buronan Indonesia selama tahun 1997-2001. Barter antara perjanjian pertahanan dan ekstradisi.

Konon Lee keberatan dengan permintaan itu. Dengan mengembalikan uang dan burunan Indonesia, maka secara tidak langsung mereka mengakui telah bermain dengan uang haram. Namun dalam pertemuan itu, Lee berharap Pak Juwono tidak berbicara kepada media sesuatu yang akan membuat situasi panas lagi.

***
Pacarku mendengarkan ceritaku. Lalu dia berkisah, betapa Singapura adalah negara yang demokrasinya payah sekali. Situasinya mirip orde baru di Indonesia. Negara seiprit ini memiliki beberapa partai, namun hanya ada satu partai besar, yaitu People Action Party (PAP).

Partai oposisi dibungkam habis-habisan. Kedudukan mereka di parlemen hanya sebagai penggembira. Pemilu hanya formalitas, karena mereka tahu. Pada akhirnya yang menang pastilah PAP.

Media massa adalah milik pemerintah. Hanya menyiarkan kabar sesuai keinginan penguasa. Dan yang paling konyol menurutku adalah, ketika akhirnya Lee Hsien Loong, anak kandung dari Lee Kuan Yew diangkat menjadi Perdana Menteri menggantikan ayahnya. Sedangkan ayahnya, diangkat menjadi Senior Prime Minister.

Senior Prime Minister? Sungguh jabatan yang diada-adakan. Di benakku, ini seperti si anak papa yang belum disapih, masih ingin menyusu pada orang tuanya. Namanya Republik Singapura, ngakunya negara demokrasi, sistemnya parlementer…ealah…kok sistem pergantian kekuasaannya seperti monarchy hihihihi…

Namun menurut pacarku, rakyat Singapura tidak terlalu peduli dengan situasi politik negerinya. “Karena kesejahteraan mereka sudah terjamin. Yang penting kan itu. Apapun yang terjadi pada politik, yang penting rakyat sejahtera,” katanya.

***

Indonesia memang negeri besar yang menyedihkan. Negeri yang melarat. Untuk diperhatikan kesejahteraannya saja, rakyat sibuk berkoar-koar dan merancang separatisme yang nanggung. Bupati-bupati di daerah berteriak agar daerahnya diperhatikan. “Ini karena kesejahteraan mereka belum mencukupi,” kata Pak Juwono beberapa bulan lalu.

Berbeda jauh dengan Singapura, negeri kecil yang makmur. Rakyatnya dimanjakan dengan kemewahan sejak 20 tahun lalu, yang bahkan belum dimiliki Indonesia hingga kini.

Bagi Indonesia, demokrasi adalah kemewahan. Di Negara melarat ini, kebebasan berekspresi, kebebasan berpendapat, dan memilih sendiri pemimpinnya adalah berkah hasil perjuangan.

Indonesia kaya dengan caranya sendiri. Pada akhirnya pemikiran yang terbuka adalah panglima.